Part 5

1042 Words
"Kamu jangan macam-macam, Via! Mama sudah bilang lupakan Dio! Demi Tuhan laki-laki bukan dia saja!"  Aku masih acuh memakan sarapan pagiku. Mengabaikan omelan Mama seolah tak mendengarnya. "Via! Jawab Mama. Kamu semakin kurang ajar sama Mama Via!" Suapan terakhir dan aku akan bebas dari omelan Mama. "Via!" Aku tersentak saat Mama melempar sendok dan mengenai piringku. "Ma! Tolong, jangan buat ribut di ruang makan. Biar Via memakan makanannya dulu,” ujar Papa. Aku masih mengabaikan semuanya. Kembali menggeser sendok yang tadi Mama lempar dan menyuap suapan terakhir. "Anak itu semakin kurang ajar, Pa! Liat! Dia bahkan gak bisa diajak ngomong!" Mengabaikan semuanya, aku bangkit dan berjalan ke kamarku. Lalu berhenti saat tiba-tiba Kak Oliver yang selama lima bulan ini tak berbicara kepadaku, mendadak memegang pergelangan tanganku. "Tolong, hargai kami sebagai keluargamu." Aku tertawa sinis ke arahnya kemudian memandang tangan Kak Oliver yang masih memegang pergelangan tanganku. Aku belum lupa bahwa Kak Oliver pernah bilang bahwa ia jijik memegang tangan yang sudah pernah membully orang. "Jadi, apa yang mau keluargaku bicarakan disini?" Aku kembali duduk tenang di kursiku dan menatap mereka satu persatu. "Yang sopan, Olivia!" bentak Mama. Aku mengacuhkannya. "Mama tidak mau kamu kuliah di sana. Mama sudah cukup malu saat kamu membully pacarnya Dio. Jangan seperti perempuan murahan, Via! Dio Jelas-jelas membenci kamu. Buat apa kamu mengikutinya sampai kesana?" Aku masih diam mendengarkan omelan Mama yang aku tahu tentang ketidak setujunya karena aku ingin kuliah di Bandung. Di kampus Adio. "Via tetap akan kuliah di sana. Dan untuk Adio, kalau pun di kiri Via jurang, dan Adio di kanan, Via akan memilih lewat jurang."   [*__*]   Banyak hal yang berubah pada diriku selama lima bulan ini. Perubahan yang sangat kontras dengan perubahanku sewaktu SMP dulu. Meski keduanya disebabkan oleh orang yang sama. Dulu, aku berubah menjadi begitu pendiam dan tak ingin berkomunikasi dengan orang lain. Sampai Cinta dan Raka hadir dalam hidupku. Lalu aku kembali menyesal mengabaikan dua orang itu sehingga aku kehilangan salah satunya. Raka. Sekarang, bukan aku yang tak ingin berkomunikasi dengan orang-orang. Tapi orang-orang yang tidak ingin berbicara denganku. Berbicara pada perempuan gila yang sudah melakukan dua kali pembullyan karena satu orang laki-laki s****n. Yang semakin s****n karena sampai sekarang aku tidak bisa membencinya. Banyak yang orang katakan bahwa selain sakit, cinta juga bisa membawa kebahagiaan. Namun selama hidup aku mencintai Adio, tidak ada kebahagiaan yang mampir kedalam hidupku. Jadi, apa yang salah disini? Cinta? Atau Orang yang kucinta? Persetan dengan keduanya. Dua-duanya terbukti melakukan tindak kejahatan kepadaku. Tidak, maksudku adalah, mengubahku menjadi seorang penjahat. Ouch! Ternyata seperti ini rasanya menjadi tokoh antagonis dalam sinetron yang sering di tonton Bik Min. Dulu, saat pertama kali aku memasuki peranku, aku tidak begitu mengerti. Yang aku tahu, aku merasa tersakiti. Ternyata hanya pandanganku yang seperti itu. Pandangan orang lain adalah aku yang menyakiti. Lalu, aku mencoba mendalami peranku menjadi orang yang sering menyakiti. Aku banyak menerima laki-laki yang manyatakan cintanya kepadaku dan menyakiti mereka karena aku tidak bisa membalas perasaannya. Lihatla, hidupku se-dramatis itu.     From : Fathan Malik Averos Gue udah di depan.   Aku tersenyum setelah membaca pesan dari Fathan dan segera bergegas keluar. Lalu saat di ruang TV, aku mengabaikan ketiga orang yang melihatku penasaran. Orang jahat tidak perlu pamit untuk keluar bukan? "Mau kemana Via?" Itu suara Kak Oliver yang menghentikan langkahku. "Keluar." "Tampa pamit?" Lalu aku menatapnya. Kakak yang dulu merasa bersalah dan menjadi sangat menyayangiku kini kembali ke habitat asalnya menjadi acuh. Lalu sekarang, apa peran yang akan dipilihnya? "Via pamit." Aku kembali melanjutkan langkahku tanpa melihat Ke belakang lagi. Orang-orang itu yang mengajariku untuk tidak melihat ke belakang jika sedang berjalan bukan? Oh s**l! Tolong, aku tidak mau melihat ke belakang. Jadi siapapun tangan yang sedang menahanku saat ini, aku harap mau dengan senang hati melepasnya. "Mau kemana Princess? Kamu gak mungkin lupa pamit sama pangeran bukan?" Itu suara Papa. Aku sempat melupakan bahwa dulu, sebelum aku masuk pertama kali dalam peranku, aku pernah menjadi Princess kecil Papa. Lalu peran itu lenyap saat aku melakukan kejahatan pertama kali. Ternyata Pangeran tidak mau bersama Putri jahat. Dengan menahan entah rasa sesak apa yang hadir ini, juga air mata s****n yang mau jatuh hanya dengar Papa kembali memanggilku seperti itu, aku berbalik. Menatap matanya yang ternyata tengah menatapku sendu. "Mau pergi sama Fathan. Dia udah ada di depan." Hanya itu yang dapat aku katakan sebelum melepas tangan hangat Papa dan pergi dari sana secepat yang aku bisa. "Hey! Lo Kenapa?" Itu suara Fathan yang kuabaikan. Aku hanya butuh seseorang memelukku saat ini. "Tenang, oke? Lo naik sekarang terus kita akan senang-senang malam ini." Aku menurutinya. Melepas pelukanku kemudian naik ke atas motornya. Fathan, aku berharap tidak ada perasaan s****n diantara kita berdua atau aku akan kembali sendiri. *__* "Feel better?" Aku mengangkat kepalaku dari punggungnya. Lalu merasakan angin malam yang membelai perlahan wajahku. Memejamkan kedua mataku, dan mengabaikan bising kendaraan yang melaju. "Thanks, Than. Benar kata lo. Angin malam buat gue membaik." Setelah entah berapa lama aku duduk dalam boncengan Fathan, berkeliling Jakarta dan merasakan angin malam, kini motor itu berhenti di depan taman yang penuh dengan sepasang manusia. "Ngapain? Lo gak mau nembak gue, kan?" Aku bertanya sangsi. Lalu mengaduh saat Fathan berhasil menyentil keningku. "Gausah geer!" Lalu tangannya menarik tanganku mengikutinya. "Tadinya gue pengen ajak lo ngopi. Tapi kayaknya taman lebih baik buat lo sekarang." Aku tersenyum menatapnya. "Gue gak tau gimana kalau lo juga menjauh, Than. Kayaknya gue bakalan jadi pasien rumah sakit jiwa." "Cinta kangen lo," ujar Fathan tiba-tiba. Aku hanya diam. Sejujurnya aku juga merindukannya. "Janji satu hal sama gue, Liv." Fathan terdiam sebentar. Ikut melihat air mancur di depan kami yang terlihat indah dengan lampu warna warninya. "Ganti peran lo, Liv." Aku tertawa. Lebih tepatnya meringis mengejek diriku sendiri. Tokoh jahat sudah mendarah daging dalam diriku. "Saat kuliah nanti. Lupain semuanya. Jadi diri lo yang baru. Sebagai Olivia yang gue kenal pertama kali." Olivia yang pertama kali kenal dengan Fathan. Aku mengingatnya. Ketika aku masih TK. Tidak ada yang tahu kalau ternyata aku sudah mengenal dan berteman dengan Fathan saat masih kanak-kanak. Termasuk Cinta. Olivia saat TK. Princess manja dan cengeng. Ceria, baik hati dan.. Ketergantungan Adio. "Gue akan jadi Kak Dio lo liv." Aku menatap Fathan semakin sangsi saat ini. Tolong, aku tidak mau ada perasaan s****n yang terjadi antara aku dengan Fathan atau aku akan kembali sendiri. "Gue akan jadi Kak Oliver lo. Papa lo, Mama lo, sahabat lo, ibu peri—“ Fathan terdiam dengan kalimatnya yang menggantung. "Kembaran yang gak gue punya." Fathan menyengir lebar. Aku ingat, dia pernah bilang kalau ingin memiliki kembaran perempuan. "Lo punya segala sesuatu yang lo butuhkan di gue."   [*__*]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD