"Rasa adalah pengeja hal-hal yang tidak akan sempurna bila ditampung oleh kata-kata. Seperti halnya rasaku padamu yang tidak akan rampung walau ditulis dalam ribuan bait puisi."
-----
Nathania merapikan rambut coklat auburn miliknya dari balik cermin toilet kantor sebelum naik ke lantai lima belas tempat ruangannya berada. Setelah merasa penampilannya sempurna, ia melangkahkan kaki masuk ke dalam lift. Namun, belum sempat pintu lift tertutup, Richard dan Edward terlihat ikut masuk ke dalamnya.
Seperti biasa, Richard yang jarang bertegur sapa hanya terlihat diam berbeda dengan Edward yang dengan ramah menyapa Nathania.
"Blazermu bagus, pasti keluaran merk ternama." ucapan itu terlontar begitu saja dari mulut Edward.
Yang Nathania tahu, pria berdarah skotlandia itu sekarang menduduki posisi kepala direksi dari divisi perencanaan. Meskipun banyak yang bilang Playboy, pria itu terbukti piawai menghandle pekerjaannya. Selain itu, untuk ukuran ekspatriat yang memiliki kedudukan, Edward juga cukup ramah sehingga para pekerja lainnya semakin segan dan menghormatinya walau ia masih terhitung baru di Blackhorse.
Nathania menoleh lalu melempar senyum ke arah Edward. "Ini hanya Blazer merk biasa, mister. Mungkin karena saya cantik maka semua pakaian yang saya kenalan terlihat mewah," jawab Nathania santai.
Nathania bukan berucap omong kosong. Dirinya memang cantik. Bertubuh ramping, tinggi semampai, rambutnya berwarna cokelat auburn, matanya sedikit sipit. Perpaduan sempurna yang sering membuat kaum adam menatap penuh takjub.
Mendengar jawaban Nathania yang terbilang cukup percaya diri, Edward sontak terkekeh. Baginya, sekretaris Richard itu terbilang wanita yang unik, pandai bergaul dan sedikit ceplas ceplos. Tapi itulah nilai lebihnya. Jika di luaran sana banyak wanita menjaga image agar terlihat sempurna, berbeda dengan Nathania. Ia selalu bersikap apa adanya.
"Iya, ku akui kau memang sekretaris yang cantik. Kalau tidak cantik, mana mungkin Richard memilihmu. Bukan begitu, Mr.Richard?" tanya Edward seraya mengalihkan pandangannya ke arah Richard. Sementara pria yang ditanya hanya diam tanpa ekspresi.
"Ngomong-ngomong, bagaimana perasaanmu menjadi sekretaris Richard? Apa kau betah? Karena kalau tidak betah, kau bisa ikut denganku nanti saat aku kembali ke Inggris." tanya Edward tanpa basa-basi kepada Nathania.
Richard yang awalnya hanya diam menatap tajam ke arah Edward. Menyadari akan hal itu, Edward terkekeh kecil menanggapinya.
Nathania melempar senyum sebelum akhirnya menjawab.
"Seperti yang semua orang tahu, Mr.Richard terlalu kaku dan dingin sedingin es batu, mister. Tapi tidak masalah saya akan tetap setia menjadi sekretarisnya." bisik Nathania sejurus kemudian mengerlingkan matanya seakan menggoda. Tepat saat pintu lift terbuka, wanita itu menganggukan kepala. Lalu ia melenggang keluar begitu saja meninggalkan Edward yang masih tertawa mendengar ucapan Nathania yang jelas-jelas menyindir Richard.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Edward saat mereka sudah berada didalam ruang kerja Richard.
"Bagaimana apanya maksudmu?" jawab Richard seraya menyalakan laptop di meja kerjanya.
"Sekretarismu, bagaimana? Kau sama sekali tidak tertarik sedikitpun dengannya?" cecar Edward.
Masih memandangi tampilan grafik dari balik laptopnya, Richard menjawab. "Sudah ku katakan, aku tidak tertarik menjalin hubungan percintaan di kantor, Ed."
Edward tertawa mendengar jawaban Richard.
"Oh ayolah, Rich. Sebenarnya kau normal apa tidak? Kalau kau tidak ingin maju, maka aku yang akan mengejarnya. Sayang sekali wanita secantik Nathania dibiarkan begitu saja."
Normal? Jelas Richard lelaki normal pada umumnya. Tapi tidak sedikit juga karyawan di kantor yang menuduh nya seorang gay karena ia selama ini tidak pernah sedikitpun menggandeng atau membawa seorang wanita. Di Indonesia sendiri, satu-satunya wanita yang dia ajak bicara dengan nyaman hanya Alya -istri Kenzie-.
Richard mengalihkan pandangannya ke arah Edward. "Sebenarnya kau dipanggil ke Indonesia untuk bekerja atau mengejar wanita? Kenzie pasti marah kalau tahu kelakuanmu seperti ini."
Edward mengangkat kedua tangannya. "Baiklah..baiklah, aku akan kembali bekerja. Tapi kalau boleh aku sarankan dari pada kau bingung mencari pendamping, lebih baik kau perhatikan sekretarismu, entah kenapa feelingku mengatakan dia wanita yang berbeda." Edward beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Richard yang masih terlihat serius dengan pekerjaannya.
Tak lama berselang kembali terdengar ketukan pintu sebanyak dua kali. Terlihat Nathania masuk dengan membawakan beberapa berkas di tangannya.
"Mister ini beberapa ber---"
"Taruh saja di meja, setelah itu silahkan keluar," potong Richard tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya.
"Baik mister," sahut Nathania tanpa sadar mencebikkan bibirnya karena kesal akan sikap ketus atasannya.
Setelah pintu terdengar ditutup, Richard menarik napas begitu dalam lalu mencoba mengembuskannya dengan perlahan. Sebenarnya Richard sangat sadar jika sekretarisnya tersebut sering memperhatikan atau mungkin memang sengaja ingin menarik perhatiannya. Karena itu, ia selau bersikap dingin atau bahkan menunjukkan sikap penolakan karena mengantisipasi sumber sakit hati selain Claire, mantan tunangannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri masih ada sedikit rasa cinta itu di hatinya.
Sekali lagi Richard hanya tidak ingin perasaannya kembali jatuh pada wanita yang salah. Ia tidak ingin ketika kembali menaruh perasaan yang lebih, wanita itu mengkhianati cintanya lagi. Itu sebabnya ia mendirikan dinding penghalang yang begitu kokoh. Tanpa menyadari ketika Tuhan sang pemilik hati berkehendak, maka dengan mudah ia membolak-balikkan perasaan manusia.
Menjalin hubungan dengan rekan sekantor? Yang benar saja.
Richard kemudian menutup laptop yang ada di hadapannya.
Tidak..tidak..
Tanpa sadar pria itu menggelengkan kepalanya sendiri.
Aku tidak ingin menjatuhkan diriku pada lubang yang sama.
Ingat Richard, wanita itu makhluk yang berbahaya. Kau lihat Kenzie? kadang ia menangis terkadang ia tertawa, bahkan terkadang bersikap seperti orang gila hanya karena seorang wanita.
Apa kau ingin seperti itu?
Apa kau yakin?
Separah itu efek sakit hati yang dirasakannya sehingga mendikte diri sendiri bahwa wanita adalah makhluk yang harus diwaspadai. Bahkan sekarang ia bersikap tidak perduli dengan segala pandangan orang kepadanya. Toh menurutnya, mereka yang mencibir tidak sedikitpun paham bagaimana rasa sakitnya dikhianati.
****
Ruangan divisi keuangan tampak ramai ketika Nathania singgah mengunjungi sahabatnya Keyra dan Alex di sana. Para karyawan pria dan wanita tampak berkerumun sedang membicarakan sesuatu.
"Apa yang sedang mereka bicarakan? Bukannya bekerja malah ribut," komentar Nathania seraya mendudukkan dirinya pada kursi di depan kubikel milik Alex.
"Pasti mereka membahas gosip yang sedang hangat di televisi," sahut Keyra yang saat itu sedang menyantap makan siangnya.
"Bagaimana Nath dua bulan ini?" tanya Alex yang baru datang entah darimana tiba-tiba langsung memberikan pertanyaan.
Nathania mengangkat salah satu alis matanya.
"Bagaimana apanya?"
"Ya progress mu, apa kau sudah berhasil menaklukkan hati Mr.Cool?"
Tanpa sadar Nathania mendesah malas ke arah para sahabatnya. "Sepertinya bos kita yang satu itu memang sangat sulit ditaklukkan."
Alex mencibir dengan melantukan salah satu bait lirik lagu yang beberapa hari ini sering didengarnya. "Sudah ku bilang hapus airmata, cintaku hilang meninggalkanmu. Kamu tlah berbeda, setengah gila. Hidupku terasa, terasa hampa."
"What the hell, Lex. Kenapa malah menyanyikan lagu Charlie Van Houten segala! it's not funny," protes Nathania.
Alex dan Keyra kompak tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan Nathania.
"Aku sudah mempertingatkanmu kalau Mr.Richard itu pria yang susah ditakhlukkan. Kau sendiri yang bersikeras ingin mencoba untuk menjadi kekasihnya. Mimpimu terlalu tinggi, Nath!" Alex kembali mencibir.
"Aku bukan mimpi, Lex. Tapi memang merasa percaya diri bisa membuat tuan es batu itu menyukaiku. Lagi pula ini masih permulaan, kan?"
"Kau memang begitu percaya diri hingga terlalu overconfidence. Awas kalau jatuh, sakit!" ucap Alex memperingatkan.
"Kalau kalian tidak ingin melihatku jatuh, tolong awasi aku. Agar aku tidak merasa sakit," sahut Nathania.
Sambil menyesap minuman dihadapannya, Keyra ikut berbicara. "Aku dan Alex jadi penonton saja, yang pasti jangan sakit hati kalau pada akhirnya Mr.Richard tetap menolakmu."
"Pokoknya aku tidak akan menyerah, lihat saja pada akhirnya dia pasti jatuh cinta denganku. Mana mungkin wanita secantik aku tidak bisa membuat hati si tuan es batu itu mencair." sungut Nathania.
Keyra hanya bisa geleng-gelang sendiri mendengar ucapan Nathania yang masih saja bersikeras berusaha mendekati Richard.
Ketika si pemilik nama yang baru saja keluar dari ruang meeting dan melintasi area divisi keuangan. Seolah terhipnotis, para pekerja yang sedang ribut sebelumnya tiba-tiba terperanjat kaget. Lalu mereka semua langsung kembali ke tempat duduk masing-masing seraya memandang CEO mereka yang sedang lewat.
Merasa diperhatikan, pria tinggi besar itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke dalam ruangan. Sontak para pekerja yang awalnya memperhatikan langsung berpura-pura sibuk. Di saat bersamaan Nathania yang sedang berada di sana memalingkan wajahnya hingga manik mata mereka saling bertemu satu sama lain.
"Ada yang bisa saya bantu, Mister?"
Richard terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Ruanganmu ada disebelah, bukan? Lantas apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Nathania menggigit bibir bawahnya gugup, ia lupa kalau saat ini jam istirahat kerja telah habis. Jelas saja Richard mempertanyakan dirinya yang terlihat seperti karyawan yang sedang keluyuran.
"Saya makan siang di sini, mister," jawab Nathania dengan raut wajah sebiasa mungkin.
"Cepat kembali ke ruanganmu, jangan lupa sebentar lagi kita harus ke gedung arsip yang ada di tower dua." perintah Richard di jawaban anggukan oleh Nathania.
Wanita itu bangkit lalu berjalan mengekori atasannya yang sudah lebih dulu melangkah maju menuju ruangannya. Sementara Nathania mengambil buku dan pena di atas meja kerjanya, Richard terlihat masuk ke dalam ruangan lalu tak berapa lama kembali keluar. Nathania mengikuti ke mana kaki atasnya itu melangkah.
Tiba di gedung arsip yang letaknya berada di tower dua, Nathania mengedarkan padangan matanya ke sekeliling ruangan yang berada di lantai dua. Di sana, banyak orang yang di d******i oleh para pekerja bangunan. Mereka memang di tugaskan untuk membenahi gedung yang kelak akan beralih fungsi menjadi gedung operasional.
Menemani Richard yang turun langsung memeriksa dan mengecek proses renovasi tanpa sadar hari sudah semakin gelap. Cepat-cepat Nathania mengingatkan Richard untuk cepat kembali ke gedung utama.
"Mister, sudah jam enam lewat. Sebaiknya kita kembali ke gedung utama mengingat penerangan di sini tidak menyala secara keseluruhan. Ini bisa saja menyusahkan kita untuk keluar gedung nantinya."
Richard yang awalnya masih terlibat pembicaraan dengan salah seorang pengawas proyek menganggukkan kepalanya setelah mendengar ucapan Nathania. Tak berselang lama, mereka pun memutuskan untuk turun ke lantai dasar.
Di dalam perjalanannya menuju turun ke lantai dasar, listrik di gedung arsip tiba-tiba saja mati. Keadaan menjadi sangat gelap. Nathania yang menyadari hal itu berteriak histeris lalu mencengkeram tangan Richard dan tanpa sadar memeluk erat tubuh atasannya.
Richard terkejut akan sikap tiba-tiba Nathania yang memeluk tubuhnya dengan erat. Ia yakin saat itu sekretarisnya dalam keadaan sangat ketakutan. Lantas masih dengan posisi dipeluk, Richard berusaha meraih ponsel yang ada di saku celana dan dengan segera menyalakannya.
"Hei, Nathania. Lihat aku!" pinta Richard seraya mencoba mengendurkan pelukan Nathania.
Nathania masih menutup erat matanya. Tak mengidahkan apa yang di perintahkan Richard kepadanya. Lantas pria itu kemudian memberanikan diri meraih dagu Nathania dan mengangkat wajahnya agar tidak kembali menunduk.
"Nath, hei. Jangan takut, Ada aku di sini. Aku janji akan membawamu keluar dari sini." Nathania menggelengkan kepala nya kuat-kuat. Masih saja belum yakin dengan apa yang di ucapkan Richard kepadanya.
"Buka matamu pelan-pelan, di sini tidak gelap seperti yang kau bayangkan," bujuk Richard.
Perlahan Nathania membuka kedua matanya. Menatap sekeliling, lantas menyadari jika ruangan tidak begitu gelap seperti sebelumnya. Ini semua berkat pencahayaan dari ponsel yang dipegang oleh Richard. Melihat Nathania yang masih merasa takut dan ragu untuk melangkah, Richard menatap wajah Nathania begitu dalam.
"Jangan takut, aku akan membawamu keluar. Sekarang ikuti langkahku dengan perlahan."
Richard menggenggam erat tangan Nathania yang basah akibat keringat dingin yang bercucuran di tubuhnya. Ya wanita itu memang benar-benar ketakutan saat ini. Entah menurut Richard mungkin saja sekretarisnya ini mengidap phobia akan kegelapan. Ia juga belum bisa menarik kesimpulan sekarang.
Pelan tapi pasti, Nathania mulai mengikuti Richard yang mulai melangkah maju. Menuruni satu persatu anak tangga darurat dengan perlahan, mereka pun akhirnya sampai di lantai dasar.
"Kita sudah sampai. Tunggu sebentar, aku akan menghubungi security untuk segera menyalakan mesin generator." ucap Richard pada Nathania yang masih berdiri kaku di sebelahnya.
Baru saja Richard selesai menghubungi para security, tiba-tiba saja Nathania ambruk tak sadarkan diri. Susah payah Richard mencoba untuk membangunkan Nathania. Hingga pilihan terakhir jatuh yaitu membawa segera wanita itu menemui dokter.
****
"Jadi bagaimana keadaannya dok?" tanya Richard pada pria paruh baya berseragam putih di hadapannya.
"Apa dia kekasih anda?"
Belum lagi sempat Richard menyanggah, dokter paruh baya itu kembali berbicara. "Kekasih anda mengidap nyctophobia, Sir." jawab sang dokter.
Richard mengerutkan keningnya bingung.
"Boleh jelaskan kepada saya dengan detail?"
"Jadi kekasih anda memiliki gangguan psikologis di mana seseorang memiliki rasa takut yang berlebihan terhadap kegelapan. Orang yang memiliki gangguan ini bisa merasakan panik atau gangguan cemas ketika berada di tempat tak bercahaya, bahkan di kamar tidurnya sendiri. Takut akan kegelapan kerap dialami oleh anak-anak usia 2-8 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan orang dewasa atau remaja juga memilikinya. Sejauh ini, penyebab munculnya fobia gelap belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang memiliki fobia kegelapan mungkin pernah mengalami kejadian traumatis di tempat yang gelap, sehingga ia merasakan rasa takut yang hebat ketika kembali berada di tempat yang gelap."
"Apa ini bisa disembuhkan dok?" Richard kembali bertanya.
Seraya menulis resep, dokter tersebut kembali menjawab. "Saya sarankan kekasih anda untuk segera di terapi, karena ketakutan yang berlebihan pada keadaan gelap bisa membuat penderita fobia gelap merasa tertekan dan tidak nyaman. Lebih jauh lagi, fobia gelap bahkan dapat menyebabkan seseorang mengalami insomnia dan parahnya mengganggu kesehatan jiwanya."
Richard terkesiap mendengar penjelasan dokter kali ini. Ia benar-benar tidak menyangka kalau wanita yang selama ini terlihat bar-bar dan berani di hadapannya, ternyata mengidap ketakutan yang berada di level tinggi.
"Ini resep yang harus anda tukar untuk kekasih anda, saya harap nona Nathania bisa segera sadar dan pulih dari sakitnya." Richard mengangguk sejurus kemudian meraih kertas yang berisi resep dari sang dokter.
Sementara itu di atas tempat tidur, Nathania mengerjapkan matanya dengan perlahan. Mencoba mengumpulkan tenaganya hanya untuk sekedar membuka mata.
Ketika matanya terbuka dengan sempurna, ia memandang sekitar dengan perasaan bingung. Ada yang tidak biasa dengan apa yang sedang ia lihat saat ini.
Aku ada dimana?
Ini bukan kamarku, kan?
.
.
Judul : Love You My Secretary
Link : https://m.dreame.com/n****+/e4dBiwMowIW7kT9yWOI18w==.html
.