Pukul 09.00 WIB. Azam memperhatikan Maya yang tengah terlelap di dalam kamar pengantin mereka. Tidak ingin Maya kelaparan, Azam memesan berbagai jenis makanan, lalu meninggalkan Maya seorang diri di dalam kamar.
*****
Mentari sebagai sahabat hari, senantiasa menyambut waktu pergantian malam, kini sudah mulai menampakan wajah sumringah karena kegelapan masih belum mampu meraup kemenangan apalagi keuntungan dalam jumlah banyak.
Seperti pemenang yang tangguh, sorak sorai dari langit terdengar sebagai gemuruh ditengah ketenangan cahaya yang tampaknya tidak ingin terganggu akan hujan. Namun tidak dengan rumah mewah di tengah kota. Berpagar putih besar, berlantai keramik mengkilat, bertiang tinggi besar dan banyak, dengan warnanya nan menawan yang tampak sunyi.
Tiba-tiba dari arah dalam sebuah rumah megah tersebut, melengking suara teriakan wanita yang lembut, namun tajam dan terdengar tidak terkendali.
"Papa ... Papa ... Papa ... Papa ... Papa ... Papa ... Pa ...!" teriak Mama sambil berlari dari arah kamar Azam dan ke semua ruangan di dalam rumah.
Napasnya mulai berantakan, degub jantungnya mulai tidak karuan, langkah kakinya mulai gemetaran. Wanita cantik paruh baya itu kehilangan sosok anak laki-laki dan suaminya dalam waktu yang bersamaan. Di dalam hati ia bertanya, ada apa dan kenapa aku ditinggal sendirian di dalam rumah ini? Ia menatap dengan mata yang sudah kabur karena kelelahan.
Seperti seseorang yang hilang akal, bahkan ponselnya pun terlupakan olehnya. Ia hanya memegang kepalanya seperti orang yang frustasi berat. Pikiran buruknya bercampur aduk, siapakah yang akan kembali pulang dengan selamat pagi ini, suami atau putra satu-satunya yang ia miliki? Tanya mama sambil terus mencari.
Tak lama, terdengar suara klakson mobil mewah nan halus, namun terdengar jelas di telinga mama dari jarak yang cukup jauh. Hati, mata dan pikirannya tertuju pada halaman depan rumah yang ia yakini mampu memberikan jawaban untuk semua pertanyaannya.
"Pa, Papa dari mana Pa? Dimana Azam? Kenapa Papa pulang sendirian?" Mama bertanya dengan bibir yang gemetaran saat melihat sang suami tercinta turun dari mobil hanya seorang diri.
"Papa lelah, Ma. Ingin istirahat sebentar."
"Tapi apa yang Papa lakukan pada Azam?!" bertanya sekaligus berteriak dengan bulir-bulir air matanya yang menetes tidak terkendali, tepat di pintu depan rumah ukuran besar berwarna coklat mengkilap.
Papa yang tidak ingin bertengkar, langsung menerobos masuk ke dalam rumah tanpa menjawab setiap pertanyaan dari istri tercinta. "Papa, tolong jawab Mama, Pa! Apa yang Papa lakukan pada Azam. Ingat ya Pa! Jika terjadi sesuatu yang buruk pada anakku, aku akan mengutukmu dan membeci dirimu seumur hidupku," tukas Mama dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
Papa membalik tubuhnya dan menatap Mama dari jarak yang tidak terlalu jauh. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Laras?" tanya Papa dengan nada suara yang lemah dan memang tampak sangat lelah. "Aku mencintai kamu lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Begitupula dengan Azam, aku mencintai anakku lebih dari apapun termasuk nyawaku sendiri."
"Mas ... ." sahutnya penuh sesal.
"Aku juga tidak ingin semua ini terjadi di dalam hidupku. Sejak awal, aku juga hanya korban dari keserakahan leluhur ku," ungkap Papa sambil berjalan mendekati Mama yang sudah tampak sangat kacau. "Laras, sekali lagi aku memohon maaf kepadamu karena aku sudah menyeret kamu di dalam hidupku yang hitam, seharusnya aku ... ." Belum selesai Papa berbicara, Mama sudah meletakkan jari telunjuk kanannya pada ujung bibir Papa.
"Mas, aku sama sekali tidak pernah menyesal sudah mencintai kamu dan menjadi bagian di dalam hidupmu. Aku juga tidak keberatan berbagi dosa besar bersamamu. Yang aku takutkan hanya satu, kehilanga putraku Azam dengan cara yang tidak wajar. Dia masih muda, jika bisa diganti, aku mohon, tumbal kan saja diriku!"
"Tidak mungkin, lebih baik aku saja yang tiada dari pada aku harus kehilangan kamu Laras, begitu juga dengan Azam. Kamu dan Azam adalah alasan ku untuk hidup hingga detik ini. Jika tanpa kalian, maka aku sama saja seperti malam tanpa bulan, siang tanpa matahari. Apa kamu sudah memahaminya?" tanya Papa sambil memegang samping kepala kanan dekat areal telinga Mama dengan tangan kanannya.
"Maafin aku, Mas!"
"Sejak semalam, sebelum pukul 00.00 WIB, Azam sudah meninggalkan rumah. Makanya Papa harus melakukan sesuatu untuk mencari pengganti tumbal tadi malam. Sekali lagi, Papa harus mengorbankan nyawa karyawan terbaik Papa, Ma."
"Ya ampun, Pa ... ."
"Padahal pengorbanan seperti ini tidak perlu terjadi jika rencana kita berjalan lancar. Papa yakin Azam ada di hotel bersama gadis itu saat ini. Papa sama sekali tidak mengerti, mengapa Azam rela melindunginya padahal dia bukan siapa-siapa?"
"Tadinya Azam juga berpikir sama seperti Papa. Tapi firasat dan rasa kemanusiaan membimbing Azam pada gadis itu. Dan Papa harus tau, bahwa gadis itu adalah satu-satunya wanita yang Azam inginkan di atas dunia ini."
"Azam, kamu sudah pulang?"
"Apa? Tapi kamu bilang, kamu sudah memiliki gadis idaman bahkan kamu menolak pernikahan ini Azam," ucap Mama yang kaget dengan kenyataan ini.
"Mama benar, dan ternyata mereka adalah orang yang sama. Untung saja Azam cepat Ma, jika tidak. Azam pasti akan menyesal seumur hidup Azam."
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?"
"Azam sudah mendengarkan semua ucapan Papa dan Mama barusan. Azam ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua rasa cinta, kasih sayang, dan perlindungan Papa Mama terhadap Azam. Selama ini Azam tidak pernah tahu tentang kebenaran dari sisi hitam keluarga kita. Selama ini Azam berpikir bahwa Papa tidak menyayangi Azam karena Papa tidak pernah meluangkan waktu untuk Azam, bahkan kita tidak pernah berbicara."
"Papamu memang tidak boleh melakukannya, Azam. Papamu harus menjaga jarak dengan dirimu. Jika kalian sering berinteraksi, maka iblis itu akan semakin cepat mengambilmu," jawab Mama sambil menangis dan menutup mulut dengan tangan kanannya.
"Maaf karena Azam tidak tau, bahkan Azam sempat membenci Papa selama ini," ujar Azam sambil menghapus bulir-bulir air matanya yang sudah terlanjur tumpah.
"Tidak, bukan kamu yang harusnya meminta maaf Azam, tapi Papa. Maafkan Papa Azam, Papa juga tidak ingin hidup seperti ini. Lebih baik hidup sederhana, tapi penuh dengan ketenangan dan kedamaian serta cinta kasih. Tapi Papa tidak bisa menolaknya. Ini adalah takdir buruk yang harus Papa tanggung," ujar Papa sambil menahan air matanya.
"Mas ... ." keluh Mama yang hanya bisa menangis dengan tubuhnya yang lemah.
"Maafkan Papa, Azam." Lalu Papa dan Azam saling berpelukan. Ini adalah pelukan pertama bagi Papa dan anaknya. "Maafkan Papa ... ." sambungnya sembari terus memeluk tubuh Azam yang sudah setengah gemetaran dan menepuk-nepuknya perlahan punggungnya.
"Maafkan Azam juga, Pa. Azam tidak tahu." Kemudian Mama pun memeluk keduanya dari arah samping. Saat ini, rumah Azam penuh dengan air mata, cinta dan kasih sayang. Ini kali pertama bagi Azam merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.
Selama ini Azam hidup hanya sekedar menjalani rutinitas dan kebiasaan seorang manusia. Ia seperti tidak memiliki ayah, sekarang Azam mengerti alasannya. Semua ini juga pasti sangat berat bagi papa, namun beliau terus bertahan dari kejauhan, demi menjaga putranya.
Azam sangat menyesali diri karena selama ini ia sudah salah paham terhadap papanya sendiri. Ternyata orang yang ia pikir sangat membencinya, malah begitu mencintai dirinya. Itulah misteri pertama di dalam hidup Azam.
Bersambung.