3~ Ayo Menikah

1163 Words
Di dalam kamar mandi, Mita bukannya membersihkan diri. Ia berdiri di depan cermin sambil melamun. "Aku gak tau harus senang atau sedih setelah aku berhasil memaksa Wira menikahiku," gumamnya. Ingatan wanita itu kembali ke beberapa hari yang lalu. "Wira Wira Tolong tolong tolong gawat ini ... ada yang gawat. Tolong aku, Ra!" panik seorang wanita yang tiba-tiba membuka pintu ruang kerja pria bernama Argawira. Duduk di kursi panjang yang sama, sedikit berjauhan. "Apanya yang gawat, Mita?" Argawira yang biasa disapa Wira—bertanya dengan santai tanpa menoleh sedikit pun, seperti tidak terpengaruh dengan kepanikan wanita bernama Paramitha Ayudia yang terlihat cemas. Masih fokus menatap layar laptop. "Orangtua aku, Ra." "Ada apa dengan mereka?" Sang pria masih belum tertarik untuk menoleh. "Mereka mau jodohin aku." "Ya bagus, dong." "Bagus apanya?" "Bagus. Biar kamu gak nyusahin aku terus," jawab Wira dengan sarkas. "Justru itu." "Apa?" "Tolongin aku, Ra. Aku gak mau dijodohin." "Terima aja." "Aku gak mau!" "Kenapa?" Meski bertanya, Wira sama sekali tidak tertarik untuk mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menampilkan gambar design sebuah bangunan. ''Memangnya kamu mau sahabat kamu yang cantik dan pintar ini menikah dengan laki-laki tidak jelas?" "Laki-laki tidak jelas apa? Aku yakin om dan tante sudah menyiapkan calon suami terbaik buat kamu," sahut Wira sambil meraih botol air minum lalu meneguk isinya. "Ayo kita nikah!" Wira tersedak air yang sedang ia minum kemudian menoleh pada Mita yang duduk di sampingnya. Tidak mengatakan apa pun, hanya melayangkan tatapan penuh tanya. "Lebih baik aku nikah sama kamu daripada nikah sama cowok itu," ujar Mita, seakan tahu arti tatapan sahabatnya sejak kecil itu. "Masalahnya, aku justru berpikir sebaliknya. Mending aku nikah sama cewek lain daripada nikah sama kamu," balas Wira. Mita memukul lengan sahabatnya dengan cukup kuat hingga pria itu mengaduh kesakitan. "Tuh! Kamu mah belum apa-apa aja udah KDRT apalagi udah nikah. Ih! Ogah aku!" Wira menolak mentah-mentah ajakan Mita yang menurutnya aneh itu. "Wira ... ayo, dong ... please ... please ... please!" Wanita itu menyatukan kedua tangan di depan dadda. "Ya, mau, ya? Nikah sama aku. Kita Nikah bohongan juga gak apa-apa," mohonnya lagi. "Nikah bohongan gimana caranya, Mita? 'Kan kalau kamu nikah yang menikahkan pasti papa kamu, wali kamu. Mana bisa nikah bohongan. Jangan ngaco kamu!" "Ya maksud aku kita nikahnya beneran." "Tadi kamu bilang kita nikah bohongan. Gimana sih kamu ini? Yang jelas dong kalau ngomong," omel Wira. "Maksud aku, kita nikahnya beneran tapi kita bikin perjanjian aja gitu." Mita memperjelas maksud ucapannya. "Kamu mau pernikahan seperti Icha dan Barra?" "Ya enggak gitu juga. Beda dong ceritanya. Kalau mereka, awalnya Barra yang bohongin Icha, jebak Icha. Kalau kita, bikin kesepakatan di awal, yang penting aku gak harus nikah sama cowok pilihan orang tua aku," jelas Mita. "Enggak! Aku gak mau. Nikah gak sebercanda itu, Mita." Wira tetap menolak. "Aku gak bercanda!" "Pokoknya aku gak mau! Buat aku nikah bukan hanya sekedar permainan, Mita. Lebih baik kamu terima aja perjodohan itu. Jangan libatkan aku dalam masalah ini." "Aku tahu, Wira, buat aku juga nikah itu bukan permainan." "Lalu? Kenapa kamu ngajak aku begini? Pakai acara nikah kontrak segala," sungut pria tiga puluh satu tahun itu. "Anggap aja kamu lagi menyelamatkan hidup aku." Wira menyentil pelan kening Mita yang tertutup kain kerudung hingga wanita itu memejamkan mata untuk beberapa detik. "Gak usah lebay. Pakai bilang menyelamatkan hidup kamu segala. Memangnya dengan kamu menikah, hidup kamu bakalan berakhir?! Ngaco aja!'' "Ya bisa aja 'kan?" "Memangnya kalau nikah, kamu mau menghilangkan nyawa diri kamu sendiri apa gimana?" "Enak aja!" "Itu tadi kamu sendiri yang bilang." "Maksud aku ... 'kan bisa aja dia itu orang gak bener terus menyiksa aku sampai aku krek ...." Mita menggerakkan tangan di depan leher seakan sedang memotongnya. "Jangan ngawur! Kamu menguasai ilmu bela diri. Kalau seandainya kamu diapa-apain sama dia, tinggal lawan aja." "Tapi bisa aja 'kan dia lakukan diam-diam. Kita gak tahu sifat orang itu kayak gimana. Aku juga gak kenal dengan baik cowok yang mau mereka jodohin sama aku. Ya mending aku nikah sama kamu yang seluk beluknya aku udah tau." Mita masih saja memberi alasan. "Saling mengenal dulu. Biar saling tahu satu sama lain." "Aku gak suka sama dia. Dulu pernah ketemu, dia orangnya aneh." "Itu dulu. Siapa tahu sekarang dia udah berubah." "Aku tetep gak mau." "Tapi aku juga tetap ogah nikah sama kamu!" Wira tetap bersikukuh menolak tawaran sang teman. "Ayo lah, Ra .... please ... aku mohon ... bantu aku ...." Mita sekali lagi memohon dengan raut wajah memelas, kedua tangan ia satukan di depan dadda, sama seperti tadi. "Enggak!" "Mau!" "Pokoknya aku bilang enggak, ya, enggak!" "Pokoknya aku bilang mau, ya, kamu harus mau!" balas Mita, tidak mau kalah. "No!" "Sembilan puluh sembilan hari aja." "Apanya?" "Nikahnya." "Tanggung amat. Kenapa gak seratus hari aja biar kayak peringatan orang meninggal," sahut Wira, menyindir. "Boleh. Seratus hari!" Mita tersenyum karena mengira Wira setuju. Sang pria menatap aneh pada wanita yang sedang duduk bersamanya. Maksud hati ingin menyindir tetapi justru dianggap serius oleh wanita dewasa yang seringkali bersikap kekanakan jika sedang bersamanya itu. "Nanti kita nikah, terus abis itu kita pisah. Pura-pura berantem. Aku aja deh nanti yang pura-pura punya selingkuhan jadi di mata mama dan papa juga ibu, aku yang salah," ujar Mita lagi. Diamnya sang pria ia anggap sebagai persetujuan. "Aku gak mau!" sahut Wira. "Harus mau pokoknya. Aku kasih kamu beberapa pilihan deh." "Apa?" tanya Wira seraya menatap wanita itu. "Pertama, kita nikah. Kedua, aku nikah sama kamu. Ketiga, kamu yang nikahin Aku. Keempat, kamu jadi suami aku. Kelima, kamu jadikan aku istri. Keenam aku jadi istri kamu. Ketujuh, kamu nikah sama aku. Kedelapan—" "Dasar cewek sableng!" potong Wira sebelum wanita itu bicara lebih ngawur. "Pulang sana, ah! Aku males ngeladenin maunya kamu yang aneh-aneh," usirnya sambil kembali fokus pada layar laptop yang masih menyala. "Gara-gara kamu, kerjaan aku jadi gak kelar-kelar," omel Wira tanpa menoleh lagi pada Mita yang masih duduk di tempatnya. "Tunggu apa lagi? Kenapa kamu masih di sini?" Mita cemberut. "Kamu beneran gak mau bantu aku?" "Enggak. Kamu terima aja. Nikah sama calon pilihan orangtua kamu," jawab Wira dengan tegas dan enggan menoleh. "Kamu tega banget, sih, Ra!" "Biarin. Daripada aku harus ngikutin ide konyol kamu yang gak masuk akal itu." Dengan menghentakkan kaki karena kesal, Mita akhirnya keluar dari ruang kerja Wira. Berdiri di depan ruangan itu sambil berpikir. "Enggak! Gak bisa! Aku harus melakukan sesuatu. Aku gak mau nikah sama cowok itu." Sementara di dalam ruangan, setelah Mita meninggalkannya, Wira disibukkan dengan pekerjaan yang harus segera ia selesaikan karena batas waktu yang sudah mendekati. "Perasaan tadi aku bawa pulpen dari kamar. Mana, ya? Kok gak ada?" Ia mencari alat tulis tetapi tidak menemukannya. "Ada-ada aja. Orang lagi deadline juga." Dengan tergesa pria itu keluar dari ruangan dan pergi menuju kamar. Membuka pintu yang tertutup tetapi di detik berikutnya ia melompat terkejut ketika menyadari ada seseorang yang sedang duduk manis di atas tempat tidur miliknya. "Mita? Apa yang kamu lakukan di sini?" Membulat bola mata Wira saat melihat Mita ada di kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD