Hati Abimanyu Wibowo seketika luluh saat melihat buliran bening mulai mengalir dari sudut mata seorang Kaila. Apa dirinya terlalu keras kepada istrinya? Meskipun hal itu wajar saja dia rasa karena suami mana yang tidak murka ketika mendapati istrinya masih berhubungan dengan mantan kekasihnya? Tapi tetap saja melihat Kaila terisak membuat hati Bima merasa terluka.
Bima menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, dia pun meraih telapak tangan Kaila lalu menggegam erat jemarinya. Tatapan mata seorang Bima pun kian sayu dalam menatap wajah sang istri.
"Mas minta maaf kalau Mas terlalu keras sama kamu, Kai. Maaf," lemah Bima lalu mengusap kedua sisi wajah Kaila yang benar-benar membanjir.
"Jawab dulu pertanyaan aku, Mas. Apa yang udah dilakuin sama si Johan sama kamu? Apa dia ngejelek-jelekin aku? Apa dia mengatakan hal buruk tentang aku?" lemah Kaila balas menatap wajah suaminya dengan bola mata memerah.
Bima bergeming. Dia merasa bingung harus menjawab apa atas pertanyaan istrinya ini. Jika dirinya berkata jujur bahwa Johan mengancam akan menyebarkan foto-foto mes*m mereka, maka sudah dapat dipastikan kondisi mental Kaila pasti akan terganggu, sedangkan istrinya ini sedang dalam keadaan hamil muda.
"Kenapa Mas Bima diam aja?" rengek Kaila dengan nada suara manja.
"Hmm! Kami hanya berkelahi sedikit, Kai. Mas hanya ingin memberi dia pelajaran, seenaknya aja dia gangguin rumah tangga kita," jawab Bima memaksakan diri untuk tersenyum. "Mas rasa wajar aja Mas ngehajar dia, udah lama lho Mas pengen kasih dia pelajaran kayak gini."
"Beneran? Mas gak bohong 'kan sama aku?"
Bima menggelengkan kepalanya seraya mengusap satu sisi wajah istrinya lembut.
"Muka kamu babak belur kayak gini, Mas Bima. Pasti rasanya sakit banget, aku obati lagi ya. Biar cepat sembuh lukanya."
Bima kembali menganggukkan kepalanya pelan.
Perlahan, telapak tangan Kaila kembali bergerak mengoleskan obat luka ke setiap lebam dan luka lecet di bawah Bima. Pria itu seketika memejamkan kedua matanya, rasa perih kembali dia rasakan saat cairan merah itu mulai menyentuh permukaan kulit wajahnya.
"Nah udah selesai, sekarang kamu istirahat, Mas," pinta Kaila hendak berdiri.
"Tunggu, Kaila," pinta Bima membuat Kaila sontak mengurungkan niatnya dan kembali duduk di tempat semula. "Sekali lagi Mas minta maaf karena udah bersikap kasar dan membentak kamu, Kai. Mas hilang kendali tadi," lemah Bima merasa bersalah.
"'Kan Mas sendiri yang pernah bilang sama aku, apapun masalah yang menerpa rumah tangga kita ini harus diselesaikan dengan kepala dingin," rengek Kaila menunduk seraya memainkan jari kuku jempolnya sendiri.
"Iya, Mas minta maaf ya."
Kaila menganggukkan kepalanya dengan wajah datar. Dia pun kembali berdiri lalu berjalan ke tempat di mana kotak P3K berada lalu meletakan obat yang dia gunakan untuk mengobati luka suaminya.
***
Keesokan harinya tepat pukul 07.00 pagi, Bima dan Kaila tengah berjalan di tangga menuju lantai satu. Bima memutuskan untuk melupakan apa yang terjadi kemarin. Seperti apa yang pernah dia katakan di dalam hatinya, menikahi Kaila adalah pilihannya sendiri, sejak awal pun dia sudah tahu bahwa bayi di dalam kandungan istrinya adalah benih pria lain. Jadi, Bima akan menanggung resikonya seberat apapun itu, dia pun sudah bertekad akan menerima masa lalu Kaila seburuk apapun.
''Masa lalu tetaplah masa lalu, Kaila berhak bahagia dengan saya. Semua hal buruk yang pernah dilakukan oleh istri saya akan saya kubur dalam-dalam sampai ke dasar jurang,'' batin Bima menoleh dan menatap wajah istrinya sejenak lalu kembali menatap lurus ke depan.
Mereka berdua akhirnya tiba di ujung tangga dan hendak melanjutkan langkah kakinya menuju dapur untuk menyantap sarapan pagi. Namun, keduanya terpaksa menahan langkah kaki masing-masing tatkala mendengar suara ketukan di pintu utama.
"Ada tamu, Mas," seru Kaila menoleh dan menatap ke arah pintu.
"Aduh! Siapa sih pagi-pagi begini udah bertamu ke rumah orang? Mana saya ada meeting penting lagi," decak Bima merasa kesal.
"Mas sarapan duluan aja, biar aku yang buka pintu," pinta Kaila tersenyum kecil.
"Baiklah, Mas tunggu kamu di meja makan ya."
Kaila menganggukkan kepalanya lalu mengambil langkah yang berbeda dengan suaminya. Bima berbelok menuju ruang makan sedangkan Kaila melangkahkan kakinya ke arah kiri berjalan menuju pintu utama seraya mengusap perutnya sendiri.
Wanita itu segera membuka pintu kayu berukuran raksasa itu sesaat setelah dia tiba di sana. Dua orang nampak berdiri tepat di depan pintu. Kaila seketika merasa canggung karena yang datang adalah orang tua Bima, yaitu Adiwiguna Subroto serta Farida Hartanti istrinya.
"Da-ddy, Mo-mmy," sapa Kaila canggung karena dia memang tidak terlalu dekat dengan mertuanya ini.
Bukannya menanggapi sapaan menantunya, yang dilakukan oleh Farida adalah menatap tubuh Kaila dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dress bermotif bunga yang dikenakan oleh Kaila memperlihatkan perutnya yang sedikit membulat. Sebagai seorang wanita yang pernah mengandung, dengan hanya sekali melihat saja dia sudah dapat menebak bahwa Kaila tengah berbadan dua.
Kaila tersenyum kecil lalu menyalami mereka berdua ramah dan sopan. Sebenarnya, dia merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Farida yang kian tajam menatap wajahnya dengan kening yang dikerutkan.
"Mommy apa kabar?" tanya Kaila menyalami Farida lalu melakukan hal yang sama kepada Adiwiguna. "Daddy juga apa kabar? Silahkan masuk."
"Apa Bima masih ada di rumah?" tanya Adiwiguna seraya berjalan memasuki rumah sang putra diikuti oleh Farida istrinya.
"Mas Bima ada di belakang lagi sarapan, Dad," jawab Kaila mencoba untuk bersikap biasa saja.
Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya lalu berjalan memasuki lebih dalam lagi area rumah tersebut. Sedangkan Farida berhenti tepat di ruang tamu membuat Kaila terpaksa melakukan hal yang sama. Dia berdiri tidak jauh dari tempat di mana Farida berada. Telapak tangannya pun secra reflek mengusap perutnya sendiri, hal yang memang biasa dilakukan oleh wanita yang tengah mengandung.
"Sudah berapa lama kamu menikah sama Bima?" tanya Farida dingin.
"Eu ... sekitar satu bulan, Mom," jawab Kaila terbata-bata merasa gugup.
"Lalu, berapa usia kandungan kamu itu, Kaila? Kalian baru satu bulan menikah, tapi ko perut kamu udah agak besar gitu?" tanya Farida membuat Kaila semakin merasa gugup tentu saja.
"Eu ... itu, Mom. Usia kandungan aku udah memasuki ti-ga bulan le-bih," jawab Kaila seketika menunduk sedih.
"Sudah saya duga. CK! CK! CK!" decak Farida seraya menggelengkan kepalanya merasa tidak habis pikir. "Saya heran, selama ini Bima nggak pernah dekat dengan wanita manapun, eh ... tiba-tiba dia menikahi kamu. Saya curiga jangan-jangan bayi di dalam kandungan kamu itu bukan anaknya Bima lagi."
Bersambung