Bab 2. Hamil?

1133 Words
"Mendingan Om pergi dari sini, ini bukan urusan Om," pinta Kaila wajahnya semakin memerah karena menahan rasa malu. "Tidak! Saya gak akan pergi dari sini sebelum kamu menjelaskan semuanya sama saya. Kamu beneran hamil? Itu sebabnya kamu menolak saya?" Bima kembali bertanya merasa penasaran. Dia menatap wajah Kaila dengan tatapan mata sayu. Perasaan seorang Bima yang memang sudah terluka semakin merasa kecewa setelah mendengar hal yang sangat tidak terduga. Jadi ini alasan Kaila menolak cintanya? Rasa penasarannya pun terobati, tapi menyisakan luka yang begitu dalam di hati seorang Abimanyu. Bagaimana tidak, wanita yang dia kejar cintanya ternyata tengah mengandung anak dari pria lain. Hati Bima seakan di sayat beribu-ribu pisau tajam dan rasa sakit yang dia rasakan tidak main-main. Sementara pria yang di duga kekasih Kaila seketika tersenyum menyeringai seraya menatap wajah Kaila dan Bima secara bergantian. Pria itu akhirnya memiliki alasan untuk lari dari tanggung jawabnya. "Sudah cukup, jangan berdebat di depan saya," decaknya santai. "Sekarang udah jelas, 'kan? Kalau kamu main gila di belakang saya dengan laki-laki ini! Bayi di dalam kandungan kamu ini juga pasti anaknya dia, 'kan?" Bima seketika mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang mengeras. Sedetik kemudian, kepalan tangannya pun melayang ke udara lalu mendarat di wajah pria itu keras dan bertenaga membuatnya terjungkal lalu mendarat di atas aspal. "Haaaa! Apa yang Om lakukan?" teriak Kaila seketika berteriak histeris. Bima mengabaikan teriakan Kaila. Dia berjalan menghampiri pria tersebut lalu kembali menghantam wajahnya secara berkali-kali. Darah segar pun keluar dari mulut juga hidung pria tersebut. "Dasar laki-laki gak tau diri. Enak banget kau ngomong kayak gitu, hah? Saya tidak pernah menyentuh dia sedikit pun, kau yang membuat Kaila hamil seharusnya kau bertanggung jawab. Dasar b******k!" umpat Bima seraya mencengkram krah pakaian yang dikenakan oleh pria itu juga mendaratkan bogem mentah di wajahnya. Jika saja Irfan tidak segera keluar dari dalam mobil dan menenangkan Tuannya, mungkin nasib pria yang masih belum diketahui namanya itu akan berakhir di tangan Bima. "Sudah cukup, Tuan Bos. Dia bisa mati kalau terus-terusan di pukuli kayak gini," pinta Irfan segera menahan pergelangan tangan Bima dan memintanya untuk berhenti. "Dasar b******k!" umpat Bima berdiri tegak lalu memejamkan kedua matanya sejenak mencoba untuk mengendalikan diri. Kaila berlari menghampiri kekasihnya dan berjongkok tepat di sampingnya. "Kamu baik-baik aja, Johan? Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Kaila merasa khawatir. Pria bernama Johan itu seketika menatap sinis wajah Kaila. "Kita putus sekarang juga, Kaila! Jangan pernah merengek lagi sama saya buat nikahi kamu. Saya nggak sudi punya istri kayak kamu!" bentaknya kasar. "Tidak! Aku gak mau putus dari kamu, Johan! Bagaimana nasib bayi di dalam kandunganku kalau kita putus? Aku gak mau melahirkan anak haram," rengek Kaila lemah dan bergetar. Johan mencoba untuk berdiri tegak. Tubuhnya pun terasa remuk dengan wajah yang babak belur akibat pukulan yang baru saja dia terima dari pria bernama Bima. Sementara Kaila terlihat memelas dan memohon seraya meraih telapak tangan Johan. "Aku mohon jangan putusin aku, Johan. Aku gak ada hubungan apa-apa sama laki-laki ini. Aku berani bersumpah demi apapun, Johan," lemahnya terlihat putus asa. "Kau pikir saya percaya sama kamu, hah? Buktinya udah jelas, Kaila!" Johan kembali membentak dengan bola mata yang membulat lalu berjalan menuju motor miliknya. "Jangan pergi, Johan! Aku mohon jangan putusin aku!" pinta Kaila memohon dengan sangat seraya mengikuti Johan lalu berdiri tepat di samping motor miliknya. Pria itu mengabaikan rengekan Kaila, dia segera menyalakan mesin motor lalu melesat meninggalkan Kaila saat itu juga. Kaila berteriak memanggil dan memintanya untuk berhenti, tapi hasilnya sia-sia tentu saja. Hubungannya dengan Johan harus berakhir padahal gadis yang memiliki lesung pipi itu tengah mengandung darah daging Johan. "Sudah cukup, laki-laki kayak gitu jangan ditangisi," pinta Bima menatap wajah Kaila dengan tatapan mata sayu penuh rasa iba. "Seharusnya Om gak usah ikut campur tadi. Gara-gara Om, Johan jadi mutusin aku!" teriak Kaila penuh emosinya dengan berderai air mata. "Seharusnya kamu bersyukur karena si Johan itu mutusin kamu, Kaila. Dia itu laki-laki kasar, bagaimana jadinya kalau kamu sampai menikah sama dia!" Bima balas berteriak seraya menatap wajah Kaila dengan bola mata memerah. "Lalu bagaimana nasib bayi di dalam kandungan aku ini, Om? Aku bakalan lahirin anak haram, aku juga bakalan jadi cemoohan orang-orang karena hamil di luar nikah bahkan melahirkan tanpa seorang suami!" Kaila mulai menurunkan nada suaranya seraya memegangi perut datarnya di mana si jabang bayi bersarang di dalam sana. Bima mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata yang terpejam. Dia pun menatap sekeliling tidak ingin kalau sampai ada orang yang mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Kaila. Walau bagaimanapun, hamil di luar nikah adalah hal yang memalukan. Bima tidak ingin Kaila jadi bahan gunjingan tetangga yang tinggal disekitar rumah gadis itu. "Lebih baik kamu masuk, Kai. Muka kamu pucat banget, kamu perlu istirahat," pinta Bima lemah penuh rasa iba. "Saya akan mengantarkan kamu ke dalam." Kaila diam seribu bahasa, dia berjalan dengan langkah kaki gontai menuju kediamannya. Tiga tahun menjalin hubungan dengan Johan dan berakhir dengan diputuskan di saat dirinya tengah mengandung bukanlah hal yang bisa diterima begitu saja. Hati dan perasaan seorang Kaila benar-benar hancur dan terluka, dia pun menyesalkan mengapa dirinya bisa melakukan hal terlarang dengan iming-iming cinta dan kasih sayang palsu yang dijanjikan oleh Johan. Kaila duduk di kursi yang berada di teras rumah dengan wajah datar. Suara isakan itu memang sudah tidak lagi terdengar, tapi buliran bening tidak berhenti bergulir dari kedua matanya yang mulai membengkak. "Mana kunci rumahnya? Kamu harus masuk dan istirahat, Kai," pinta Bima berdiri tepat di depan pintu. Kaila merogoh tas yang melingkar di bahu sebelah kirinya lalu meraih kunci dari dalam sana. Bibirnya masih diam seribu bahasa, tatapan matanya pun nampak kosong menatap lurus ke depan. Dia menyerahkan kunci tersebut kepada Bima tanpa menoleh sedikit pun. Bima menerima kunci tersebut lalu memasukannya ke lubang kunci dan memutarkan pelan. Pintu pun di buka lebar, tapi Kaila masih bergeming di tempatnya. Wajah seorang Kaila pun kian memucat dan terlihat putus asa. "Masuklah, saya akan segera pergi setelah kamu masuk ke dalam," pinta Bima lembut. Kaila tiba-tiba saja memukul perutnya sendiri secara berkali-kali membuat Bima merasa terkejut. "Apa yang kamu lakukan, Kaila? Astaga!" decak Bima segera menahan pergelangan tangan Kaila juga berjongkok tepat di hadapannya. "Aku gak mau melahirkan anak haram. Lebih baik aku dan bayi ini mati aja sekali, dari pada aku harus menanggung malu seumur hidup aku!" teriak Kaila kembali memukuli perutnya sendiri. Namun, Bima segera menahan kedua pergelangan tangan Kaila. "Bayi ini tidak salah, Kaila. Dia tak bisa memilih ingin dilahirkan dari rahim siapa. Saya mohon jangan kayak gini, pasti akan ada jalan keluar buat masalah kamu ini," pinta Bima lemah dan bergetar. Kaila menatap sayu wajah Bima yang saat ini berada tepat di hadapannya. Bola matanya benar-benar memerah dan putus asa. Wajahnya yang pucat pasi terlihat begitu mengenaskan. "Apa Om mau menikahi aku? Aku gak mau melahirkan anak haram, Om Bima. Aku gak mau!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD