Penolong

974 Words
Kevin terus membuntuti Niana dari belakang sampai Niana menaiki angkutan umum dan berhenti di depan rumah sakit. Mengernyit bingung, ada apa gadis itu ke rumah sakit? Kevin yang terlanjur penasaran mengikuti Niana sampai masuk ke bangunan serba berwarna putih itu. Berjalan santai dengan jarak aman. Tidak mau ketahuan Niana. Keningnya makin berlipat saat gadis yang diikutinya berbelok ke arah ruang gawat darurat. Menundukkan kepala dan dengan segera memohon maaf pada wanita tua yang wajahnya menjelaskan segalanya. Ada sesuatu yang tengah menimpa keluarga Niana. “Ibu, maaf. Aku enggak dapat pinjaman. Jumlahnya terlalu besar Bu. Niana bingung harus mencari ke mana lagi,” ucap Niana. Terisak hebat. Niana merasa gagal menjadi anak sulung. Tidak bisa diandalkan. Kevin bisa mendengarnya dari sini. Dari balik dinding tempat persembunyiannya. Menyadari, mungkin tadi Niana mencari Laura untuk meminjam uang guna menutupi biaya perawatan yang entah siapa. Dua orang beda usia itu menangis bersama. Diikuti dua anak kecil yang menghampiri dan ikut menangis. Perasaan Kevin tergelitik melihat pemandangan di depannya. Iba melihat lima orang itu menangis sambil saling memeluk. “Apa yang harus Gue lakukan? Bisa saja Gue menutup mata, tapi enggak tega. Harus mulai dari mana? Enggak mungkin kan, tiba-tiba datang terus menawarkan bantuan,” gumam Kevin. Bingung apa yang harus dia lakukan. “Mikir dong otak. Lo itu ada gunanya. Keberadaan Lo itu buat mikir. Bukan cuman buat pelengkap saja.” Kevin menepuk kepalanya pelan. Memaksa otaknya untuk berpikir. Merutuki dirinya sendiri yang memang terlambat jika harus berpikir. “Bodo amat deh. Pura-pura enggak sengaja ketemu, terus ngobrol sebentar, terus tawarkan bantuan. Gampang kan,” ucap Kevin. Mulai keluar dari persembunyiannya. Berjalan senormal mungkin menghampiri Niana dan keluarganya. Jantung Kevin berdetak kencang, talut aktingnya ketahuan. Bisa malu. “Sebentar lagi sampai,” gumam Kevin dalam hati. Bersiap untuk melakukan rencananya. “Sial,” desis Kevin. Bukannya berhenti tepat di dekat Niana, Kevin yang bingung malah jalan melewati gadis itu. “Sekali lagi.” Tidak menyerah, Kevin balik lagi melewati jalur tadi. Kali ini, harus berhasil. Bantuan Kevin pasti sangat dibutuhkan keluarga Niana. “Hm.” Kevin berdehem menyadarkan mereka yang masih larut dalam tangis. “Oh, bang Kevin?” Niana terkejut melihat keberadaan Kevin. Ditandai dengan gadis itu yang membelalakkan matanya. Tidak lama, langsung menyesuaikan diri. “Mm, bisa bicara sebentar?” tanya Kevin. Tersenyum sopan pada wanita yang diyakini ibu dari Niana. Sepertinya kurang sopan jika langsung menyampaikan tujuannya. Niana mengangguk ragu. Mengikuti Kevin dari belakang. Berhenti di kursi yang tidak jauh dari lokasi pertama. Niana menunduk, memilin jarinya. Penasaran dan cemas akan keadaan adiknya. “Lo, butuh bantuan?” tanya Kevin ragu. Niana mendongak. Menatap Kevin tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba menawarkan sebuah bantuan yang sebenarnya memang Niana harapkan kedatangannya? “Tadi, Gue enggak sengaja dengar pembicaraan Lo sama nyokap Lo. Lo butuh bantuan?” jelas Kevin. Bertanya mengenai bantuan yang kedua kalinya. Terlihat ragu, ingin menolak. Namun saat matanya menatap keberadaan ibu dan dua adiknya yang masih terisak, Niana mengurungkannya. “Aku, butuh bantuan. Aku butuh pinjaman untuk membayar biaya operasi Radit,” bisik Niana. Menunduk malu. Bagaimana tidak malu, Niana hanya sekedar tahu bahwa Kevin kakak dari Laura, temannya. Tidak pernah mengobrol atau bertegur sapa. Dan sekarang dipertemukan dalam kondisi menyedihkan. “Berapa?” tanya Kevin langsung. “Dua puluh delapan juta bang,” cicit Niana. Apa Kevin akan mengurungkan niatnya untuk membantu? Itu yang Niana takutkan. “Ya sudah. Ayo antar Gue ke bagian administrasi. Biar Gue bayar,” kata Kevin. Niana mendongak. Menyampaikan beribu terima kasih atas bantuan yang Kevin beri. Keduanya berjalan dengan Niana memimpin. Hatinya plong, lega saat sudah ada yang mau memberinya pinjaman tanpa jaminan. Kevin bahkan tidak bertanya lebih lanjut mengenai itu semua. Pria itu langsung saja meminta antar ke bagian administrasi. Saat inilah, perasaan Niana makin diliputi rasa bersalah. Lihat, bahkan kakak dari Laura tetap mengulurkan tangannya meski Niana pernah berbuat kesalahan besar. “Sus mau melakukan p********n pasien atas nama Raditya yang masih di ruang gawat darurat,” ucap Niana. Kalau tadi untuk mengetahui jumlahnya, sekarang untuk melunasi semua tagihan. Pembayaran selesai tidak lama kemudian. Kevin benar-benar menutupi semua tagihan. “Terima kasih bang. Terima kasih banget. Nanti kalau sudah ada uangnya, akan segera dikembalikan,” ucap Niana tulus. “Iya tenang saja. Gue balik dulu. Salam buat nyokap sama bokap Lo,” pamit Kevin. Tidak memedulikan wajah Niana yang sempat keruh. Melenggang pergi dengan perasaan lega. Rasa penasaran Kevin untuk mengikuti Niana ternyata bisa menyelamatkan nyawa satu orang. Bersyukur dalam hati. Setidaknya Kevin berguna juga. Niana kembali dengan senyum terpatri di wajah. Dokter sudah masuk dan mulai mengoperasi Radit. Niana sebenarnya agak bingung. Apa prosedur semua rumah sakit memang seperti ini? Administrasi terselesaikan baru akan ditangani? Apa hanya rumah sakit ini? Andai saja Niana banyak uang, akan membangun rumah sakit gratis bagi siapa saja. Huh, sayangnya itu hanya angan yang tidak mungkin berubah menjadi kenyataan. “Na, kenapa dokter pada masuk?” todong Rani bingung. Takut ada sesuatu buruk terjadi pada anak keduanya. “Bu, Radit mau ditangani sama dokter. Niana sudah menyelesaikan pembayarannya. Ibu tahu laki-laki tadi? Dia bang Kevin, abang Laura. Dia yang membantu melunasinya Bu,” ucap Niana penuh haru. Memeluk ibunya. “Yang benar? Ya Tuhan, Engkau sungguh baik dengan mengirimkan pria itu kemari.” “Oh iya, bang Kevin titip salam buat ibu,” beri tahu Niana. Menyampaikan pesan yang Kevin sampaikan tadi. “Dan ayah,” lanjut Niana dalam hati. Dalam keadaan seperti ini, tidak mau menambah rasa sakit ibunya dengan menyinggung lelaki yang keberadaannya tidak tahu di mana. “Waalaikumsalam. Nanti kalau ada waktu, ibu mau ketemu. Mau bilang terima kasih secara langsung.” Niana hanya tersenyum menanggapi. Niana melupakan satu hal. Bagaimana bisa menghubungi Kevin untuk masalah uang ini, dirinya tidak memiliki nomor ponsel pria itu. Jalan satu-satunya, Niana harus datang ke rumahnya. “Terima kasih, sudah membantu biaya dan menerbitkan senyum ibu dan adik-adik,” gumam Niana.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD