Her Savior 13 - Kena Razia

2222 Words
“Rabi itu apa, Mbah?” tanya Andari penasaran. “Rabi itu nikah, Nduk.” “Eh?” Andari memekik lebih keras lalu menoleh ke arah Angga yang sibuk menghabiskan Lenjongan yang diberikan Andari. Wajah pria itu masih datar dan acuh. Seolah bukan hal penting apa yang dibicarakan Andari dan Simbah penjual makanan itu. “Nggak, Mbah. Kami belum nikah.” “Yo ndang nikah kalau gitu.” Salah! Harusnya Andari mengatakan kalau mereka tidak menikah dan memang bukan pasangan. Andari tahu maksud perkataan simbah sebelumnya adalah menyuruhnya untuk cepat menikah. Namun kata belum yang terucap begitu saja membuat celetukan simbah penjual makanan kaki lima itu kembali berucap, “Ojo ditunda. Ndak baik nunda-nunda  hal yang harus disegerakan itu.” Tanpa disadari Andari, Angga mendengkuskan tawa kecil melihat gadis itu kelabakan. “Aduh, Mbah. Kami nggak ada rencana nikah. Kami juga nggak pacaran kok,” kukuh Andari. “Yo ndang direncanakan to. Pacaran dulu saja kalau gitu. Nanti terusan nikah.” “Doakan saja, Mbah,” sahut Angga santai. Mulai bete, gadis itu lantas menghabiskan sisa teh hangat tawar di dalam gelas yang dipegangnya sebelum pergi lebih dulu. Angga sendiri kembali mendengkus. Menahan tawa sambil membayar makanan yang dipesannya sebelum berlari menyusul Andari. Gadis itu berjalan sambil merungut kesal. Mengacuhkan kendaraan di belakangnya yang hampir menyerempet. “Awasss!” Angga berseru sambil bergerak cepat menghampiri. Untunglah gerakan Angga menarik gadis itu lebih cepat membuat Andari selamat dari senggolan dengan pengendara motor tersebut. “Ahhhh!” Sayangnya, Andari yang oleng membuat Angga terdorong ke arah bangku jalan dan terduduk di sana. Pun dengan Andari yang jatuh menyusul ke atas pangkuan pria itu. “Hey! Jangan lawan arah! Begok!” umpatnya kesal. “Sepurane, Mbak!” teriak sang pengendara motor sambil terus melaju. Entah karena masih terbawa kesal dengan candaan di tempat jajanan sebelumnya, ditambah kelakuan pengendara motor barusan, Andari seperti belum menyadari situasinya saat ini. Gadis itu masih menatap ke arah pengendara motor yang semakin menghilang dari pandangannya. Jalanan memang masih sepi. Pengendara motor nakal itu sepertinya malas memutar sehingga memilih jalan lawan arah dengan masuk ke jalanan yang tidak diperuntukkan untuk kendaraan. Angga hanya diam, mentap gadis yang tampaknya masih betah berada di atas pangkuannya sambil marah-marah lucu dan merungut kesal itu. Barulah, begitu pria itu berdeham Andari menoleh dan tatapan mereka bertemu. Tangan Angga reflek menahan lengan Andari agar gadis itu tak jatuh lagi dari posisinya. Alih-alih memberontak untuk memisahkan diri, Andari malah kembali mendumal di depan pria itu. “Mas apa-apaan sih becandanya tadi?” “Memangnya apa yang salah?” “Pake nanya lagi. Tadi tuh apa doain aja.” “Salah ya kalau saya mengaminkan doa Simbah tadi?” “Ya salah.” “Apanya yang salah? Saya hanya bilang doakan saja. Memangnya kamu nggak mau menikah?” “Sama Mas Angga gitu?” “Kamu mau menikah dengan saya?” “Eh?” “Kenapa?” “Kok jadi ngawur.” Peletak …. “Awssshh!” Pria itu dibuat gemas dan berakhir menjentikkan jarinya di kening Andari. “Kamu yang pikirannya ngawur. Saya hanya mendoakan kamu bisa menikah seperti keinginan dan rencana kamu yang sebelumnya gagal. Terlepas dengan siapapun nantinya. Ngerti?” Andari terdiam. Paham karena candaan mereka tadi tak seharusnya diambil seserius itu. “Lagipula kamu juga belum tentu ketemu lagi dengan Simbah penjual tadi.” “Ya siapa tahu kalau aku ke sini lagi ketemu. Terus Simbahnya inget dan tanya kok cowoknya beda lagi. Kan malu.” “Ya sudah, nanti saya temani lagi kalau ke sini atau berdoa saja kalau memang mau berjodoh dengan saya dan kembali ke sini.” “Ih! Apaan sih?” Andari melipat tangan di dadanya. Angga terkekeh. Kekehan yang membuat Andari takjub dan seketika menoleh lagi. “Kenapa?” “Aneh aja.” “Apanya?” “Liat Mas ketawa.” “Siap yang tertawa.” “Ssssshhhh!” Andari kesal. Hendak bangun tapi kembali di tahan pria itu lagi. “Semua hal tidak perlu kamu tanggapi dengan serius.” “Tapi perkataan tuh kan doa.” “Kalau doanya baik kenapa harus kamu tolak?” ujar pria itu dengan beraninya memainkan sisi rambut Andari dan mengaitkannya ke belakng telinga. Tatapan teduh nan lembut itu berhasil menyihir Andari yang seketika membeku karena perlakuan Angga. “Bangku sebelah saya ini masih kosong loh? Atau kamu memang lebih suka dipangku begini?” Andari membeliak kaget menyadari kebodohannya. Padahal sejak tadi beberapa orang yang lewat sudah melirik sambil berbisik-bisik. Gadis itu langsung bangun dan berlari ke arah hotel dengan wajah memerah malu. Meninggalkan Angga yang akhirnya tergelak sendirian. Menyadari kalau gadis itu tidak akan bisa masuk kamar karena keypass yang ada padanya. Sementara itu …. Andari yang baru saja tiba di hotel langsung masuk dan menuju lift untuk naik ke lantai tujuh. Sambil menunggu lift turun, gadis itu mengirimkan pesan pada Galuh. Berencana mengadukan kelakuan ayahnya yang menyebalkan. Andari : [Ayah kamu nakal] Namun, Galuh yang mendapat pesan seperti itu langsung menghubungi Andari melalui sambungan telepon. “Kak Andari diapain sama Ayah?” Tanpa salam atau sapaan, pertanyaan gadis itu langsung terdengar berseru heboh. “Diapain gimana maksudnya?” “Ya itu tadi Kak Andari bilang Ayah nakal. Ayah nakal apa? Ayah ngajak bobo bareng ya?” “Eh? Kamu kok tahu?” Galuh menahan tawanya di sana. “Bukan. Bukan. Bukan gitu. Kita nggak ngapai-ngapain kok walau tidur sekasur.” Hahahahahahaha …. Galuh rasanya sudah ingin terbahak kencang mendengar dengan polosnya gadis itu malah mengatakan kalau ia dan sang Ayah tidur di satu ranjang yang sama. “Tuh, apalagi tidur seranjang. Kak Andari diapain? Bilang aja. Nanti Galuh bakal suruh Ayah tanggungjawab nikahin kakak.” “Eh? Ini kenapa sih dari tadi bahas nikah mulu orang-orang tuh,” rungut Andari. “Lho, ya mana aku tahu. Kak Andari ngomongnya juga ndak jelas sih. Coba jelasin dulu.” “Kamu juga nyerocos aja lagi.” Galuh terkekeh. “Ya maaf. Aku kan sayang Kak Andari. Takut Kak Andari kenapa-kenapa makanya panik habis baca chat kakak,” kilanya. Andari menenangkan diri. Menghela dan membuat napas beberapa kali sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. “Owalah, Ayah nih nakal emang. Terus Kak Andari di mana ini?” “Di hotel.” “Ayah?” “Aku tinggal.” Galuh terbahak. Rasanya lega karena sejak tadi ia tak tahan ingin melepaskan tawa. Kelakuan Ayah Duda dan calon Bunda barunya itu membuat Galuh merasa geli sendiri. “Kak Andari udah sarapan?” Gadis itu mengalihkan topik pembicaraan. “Sudah.” “Beli apa aja? Ayah bayarin kan?” “Kenapa memangnya kalau Kak Andari bayar sendiri?” tanyanya balik, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Andari berjalan melewati lorong untuk menuju kamarnya yang berada di ujung lorong hotel tersebut. “Yo isin lah. Mosok juragan ayam sama sayur dibayarin cewek. Malu-maluin aku.” Kali ini Andari yang terkekeh. “Ayah kamu yang bayar kok. Makanannya juga murah-murah dan enak. Kak Andari kalau tinggal di sini bisa gendut lama-lama,” guraunya sambil menarik handel pintu dan mendorongnya. “Eh?” “Kenapa lagi, Kak?” “Kamarnya dikunci.” “Lho, kuncinya di mana?” Andari meraba saku celana dan jaketnya. “Kok nggak ada ya?” “Coba cari lagi yang bener. Jangan-jangan jatuh.” Andari seketika menepuk jidatnya. Tersadar kalau yang memegang keypass kamar mereka adalah Angga. “Ayah kamu yang pegang.” “Ya udah. Telepon Ayah dulu kalau gitu.” Namun karena Angga tak kunjung mengangkat telepon, Andari pun kembali menghubungi Galuh. “Ayah kamu marah kayaknya.” “Lho, mosok sih? Sek! Tak telepon dulu Ayah-nya kalau gitu.” Klik …. Andari berbalik dan langsung menjenggit mundur hingga punggungnya menempel di pintu. Pria yang dicarinya ternyata sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Aduh!” Andari menepuk-nepuk dadanya yang kaget. Kemudian awas. “Mas mau apa?” Pria itu hanya diam menatap Andari sambil terus melangkah maju, dan Andari semakin tersudut sebab Angga terus berjalan dan mendesak tubuhnya. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat begitu hembusan napas Angga terasa menampar wajahnya. Dan …. Tap tnit …. Ceklek …. Terdengar suara keypass dan handel pintu yang terbuka diikuti tubuh Andari yang limbung jatuh ke belakang mengikuti pintu yang terbuka. “Ahhh!” Plop …. “Ceroboh sekali,” desis pria itu sambil memegangi tangan Andari agar tubuh gadis itu tak jatuh. “Salah Mas sih. Buka pintu aja kayak mau …. “ Andari mendumal pelan sekali sampai-sampai Angga tak bisa mendengar apa yang diucapkan gadis itu. “Kamu mau berdiri terus menghalangi jalan masuk saya?” Andari berdecak. “Konon kalau berdiri di depan itu nanti jodohnya susah.” “Nggak lucu!” Delikan tajam diikuti desisan kesal meluncur dari mulut gadis itu begitu saja.  “Saya nggak sedang melawak.” “Sssshhh! Nyebelin banget sih!” Angga mengendikkan bahu. Meski di dalam hatinya terkekeh senang karena berhasil membuat gadis itu merajuk kesal. Seperti mendapat hiburan baru. Mereka pun bersiap pergi bersama karena Angga harus menemui rekan bisnisnya untuk menyelesaikan kesepakatan bisnis mereka. Andari duduk menyendiri di bangku lain sementara pria itu sibuk dengan urusannya. Gadis itu memeriksa email yang masuk juga membalas pesan-pesan penting yang berkaitan dengan beasiswanya. “Mau makan siang di sini?” Andari mendongak. “Iya. Di sini aja.” “Tapi saya ada perlu sebentar ke kafe di seberang sana.” Angga menunjuk arah kafe itu dengan tangannya. Andari ikut menoleh. “Kamu pesan saja duluan.” “Bareng aja pesannya.” “Kalau begitu kamu pesankan punya saya.” “Mas mau makan apa?” “Apa saja. Saya tidak pemilih kok.” Andari mengangguk paham lalu membuka buku menu sementara pria itu berjalan ke arah kafe yang ditujunya. Namun, seperempat jam menunggu, Angga tak kunjung datang. Andari pun berusaha menghubungi pria itu. “Sepuluh menit lagi,” katanya dalam pesan voice note yang dikirimnya. Andari lantas meminta pelayan untuk menandai mejanya lebih dulu sementara ia pergi ke kamar mandi karena tiba-tiba saja perutnya mules. Bugh …. Tubuh Andari tak sengaja berpapasan dengan seorang saat akan keluar kamar mandi. “Maaf.” Orang itu hanya mengangguk tipis sebelum berlalu ke arah kamar mandi. Tapi kemudian Andari dibuat kaget karena makanan yang dipesannya malah dibungkus untuk dibawa pulang oleh Angga begitu samapi di mejanya. “Lho, kenapa?” “Kita pergi dari sini saja. Makan di mobil kalau kamu lapar,” sahut pria itu tak berniat menjelaskan kenapa alasannya. Andari juga tak ingin banyak bertanya mengingat Angga memang sepertinya banyak urusan. Tak ada gelagat mencurigakan karena setelahnya pria itu malah berhenti di sebuah taman kota lalu mengajak Andari makan di sana sebelum melanjutkan perjalanan. “Jadi Mas ngajak aku pergi cuma karena pengen makan di taman?” “Kenapa? tidak suka?” Andari menggeleng. “Aneh aja.” “Aneh apanya?” “Aneh aja. Tinggal makan malah dibungkus cuma karena pengen makan di sini aja.” “Tidak boleh? Di sini lebih nyaman bukan?” Andari terpksa mengangguk setuju. Karena suasana taman yang memang teduh dan menyenangkan. Mereka pun menghabiskan sisa waktu siang itu dengan makan siang di atas bangku taman kota. Angga lantas membereskan semua bungkus dan peralatan bekas makan mereka. “Aku cari toilet dulu ya, Mas?” Angga mengangguk lalu berjalan ke arah berlawanan dengan gadis itu. Menunggu sekian belas menit namun Andari yang pamit ke toilet itu tak kunjung muncul hingga dua puluh berlalu sudah. Angga pun berusaha menelepon Andari namun tak ada jawaban yang di dapat meski terdengar nada sambung ke nomer yang dihubungi itu. “Ke mana Andari?” Angga mulai mencari ke sekitaran taman dan luar taman namun tak satupun keberadaan gadis itu di sana. Pria itu pun berpindah mencari ke parkiran. Siapa tahu saja Andari menuggu di dekat mobilnya. Namun, tanda-tanda itupun nihil.   Angga pun mulai merasakan ada hal yang tidak beres. Ia lantas kembali menghubungi Andari dan mendapati bunyi ponselnya terdengar dari dalam mobil. “Nggak bawa hp. Ke mana dia?” lirihnya sambil terus lirik kanan kiri mencari keberadaan gadis itu. Tak lama seorang petugas satpol PP menghampirinya dan bertanya, “Selamat siang! Apa benar Bapak yang bernama Angga?” “Iya, betul. Saya Angga. Ada apa ya, Pak?” “Bapak bisa ikut kami ke kantor? Teman anda yang bernama Andari ada di sana.” “Apa? Kok bisa?” “Nanti kami jelaskan di kantor. Sebaiknya Bapak datang saja ke kantor kami di jalan …. “ Petugas Satpol PP itu menyebutkan sebuah alamat yang harus Angga tuju. Tanpa kesulitan yang berarti, mobil yang dikendarai Angga pun tiba di lokasi yang dituju.  Pria itu buru-buru turun, masuk dan mencari keberadaan Andari ke dalam gendung berlantai tiga itu. Namun lagi-lagi nihil. Angga tak menemukan keberadaan Andari sama sekali. Hampir saja Angga juga marah karena merasa dikerjai. Tapi begitu mendapat penjelasan lanjutan, pria itu buru-buru melajukan mobilnya ke Kantor Polres terdekat. Ya, gadis itu akhirnya di temukan di unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres yang Angga datangi. “Mas Angga?!” “Kenapa bisa sampai ke sini? Tadi bukannya cari toilet?” “Ceritanya panjang. Intinya aku kena Razia tadi. Aku dikira nyulik bayi.” Bola mata pria itu membulat lebar. Seorang polisi wanita berpangkat AKP lantas memerintahkan anak buahnya yang berada di ruangan itu keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Polisi wanita yang sedang mengenakan seragam lapangan kasual itu lantas menghampiri keduanya dan berkata, “Bojomu ta iki, Ngga?” Bersambung …. Hayo! Dialog ending barusan artinya apa? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD