“Lhaaa, iku kan Simbak sing wingi motore tek terke to?” tanyanya pada Angga.
Baron, pria yang mengantarkan motor sewaan Andari kemarin itu datang menghampiri usai turun dari motor yang dibawa seorang pria yang lebih muda.
Pria itu tentu saja kaget karena melihat Andari ada di sana bersama sang sahabat tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Kuwi motore,” unjuk Angga pada sebuah motor matic warna putih dengan livery biru itu.
“Kok iso? Njuk sing ditabrake ndi?” tanyanya lagi.
Baron mencari-cari siapa yang sudah ditabrak Angga sesuai cerita singkat yang dikirimkan Angga padanya tadi.
Angga pun menjawab pertanyaan sahabatnya itu dengan mengendikkan dagunya ke arah Andari.
“Ladalah. Piye to? Tak kira kowe malah ngedate karo Simbake. Jebule kok malah tabrakan.”
“Ngawur!” dengus Angga.
Apanya yang ngedate. Padahal sore ini ia ada pertemuan penting. Namun terpaksa dibatalkan karena tak tega pada Andari.
“Terus piye saiki karepe?”
Tentu saja Angga meminta Baron datang dengan maksud meminta bantuan pria itu lagi untuk membawa motor yang Andari kendarai tadi.
Seharunya pesan yang ia kirimkan sudah cukup menjelaskan tentang apa yang diinginkannya sekarang. Tapi sahabatnya itu malah bertanya lagi.
“Terno nang bengkel anaknya Koh Acong. Kandani, mengko tagihane kon kirim nang aku.”
“Njuk?”
Angga sudah ingin memukul kepala sahabatnya itu ketika Baron lanjut berkata,
“Ojo nesu sek to. Maksudku, nang tempat sewaane piye ngomonge?”
“Yo kandani podo to, Mas Baron. Yo pora Mas Esa?” timpal pria yang mengantar Baron sebelumnya.
Angga memang memiliki panggilan khusus di antara teman-teman sekumpulannya. Pria itu menggeleng jengah pada Baron sambil mendesis,
“Kandani Mas mu iki kon mikir sing rodo banter, Nang.” Lalu pria itu melengos menghampiri Andari lagi.
Pria yang rupanya adik Baron itu terkekeh melihat per-sengitan antara sang kakak dengan sahabatnya yang sudah biasa ia lihat.
“Dasar kulkas mbatu!” umpat pria gondrong itu.
“Ayo Mas! Tambah kesuwen bengkel sela tutup.”
Sang adik meminta kakaknya itu untuk bergegas sebelum bengkel yang mereka tuju tutup sebab motor sewaan Andari harus segera dibetulkan sebelum dikembalikan ke tempat penyewaannya nanti.
Baron lalu menaiki motor sewaan Andari yang rupanya tidak bisa distater itu.
“Lha piye iki? Ora iso distater, Nang. Mlayune piye?”
Pria muda bernama asli Nanang itu lagi-lagi hanya menggelengkan kepala sambil mendesah panjang dan berat.
Padahal dalam pesan yang dikirim Angga sebelumnya, Nanang juga ikut membaca dengan jelas kalau Angga mengatakan motor yang ditabraknya memang tidak bisa distater.
Karena itu ia meminta Baron mengajak orang lain agar bisa membawa motor yang disewa Andari dengan cara disetep atau didorong dengan bantuan motor lain hingga bengkel.
“Tak setep kene!” Baron lalu menoleh ke belakang dan berteriak,
“Sa, budal yo!”
Membuat Andari juga Angga menoleh dan balas melambaikan tangan pada kedua pria itu.
“Makasih, Mas.” Andari berseru kencang.
“Yo!” sahut Baron lalu melaju meninggalkan keduanya.
“Nanti tagihannya kasih saya, ya,” imbuh Andari.
Angga mendesah pelan karena ucapan gadis itu. Bukan memikirkan keadaannya, Andari malah memikirkan bagaimana motor yang disewanya.
Tapi siapa yang tidak seperti itu. Andari tentu saja tak ingin ada masalah sebab memang ia yang salah. Apalagi ia juga sedang di kota orang. Tak ada yang membantunya sama sekali.
“Kita pulang sekarang?” alih-alih pria itu menjawab.
Andari mengangguk patuh saja. Angga pun meminta salah seorang warga yang masih menemani mereka untuk membukakan pintu samping pengemudi mobilnya sementara pria itu menggendong Andari dan mendudukkannya di bangku.
“Suwun nggih, Pak.”
“Tiati. Ndang dipijet sikil Mbak ne.”
“Nggih!”
Angga mengangguk dan pamit pada warga yang membantunya dan Andari.
Mobil pun melaju menuju hotel tempat Andari menginap.
Angga turun sendirian lalu memanggil petugas hotel untuk meyakinkan bahwa ia memang diminta Andari mengambil semua barang-barangnya di kamar.
“Iya, Mas. Saya kecelakaan. Jadi kayaknya nggak bisa nginep sendirian di sini. Saya mau ke rumah sodara saya ini.”
“Oh, gitu. Tapi kami nggak bisa kembalikan uang yang sudah dibayar untuk hari ini, Mbak.”
“Nggak papa, Mas. Yang besok juga nggak usah dikembalikan,” terang gadis itu.
Untung saja Andari baru mem-booking hotel yang ia tempati untuk tiga hari pertama. Jadilah gadis itu tak terlalu rugi.
Toh, ia tetap bisa tidur di rumah Angga nantinya. Jadi anggap saja sewa meski uangnya juga tak masuk kantong saku Angga.
Ya, awalnya Angga menawari gadis itu untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi karena Andari menolak, pria itu memaksanya ikut ke rumah agar kaki Andari yang keseloa bisa dipijat.
“Tolong kalau ada staf wanita minta dibantu, ya?! Ada barang pribadi yang saya jemur di dalam kamar mandi,” sambungnya.
Petugas hotel itu pun mengangguk paham. Sementara Angga sendiri seolah tak peduli dengan ekspresi Andari yang tampak kikuk dan malu.
Apalagi kalau bukan pakaian dalam yang dimaksud gadis itu tadi. Andari tentu tak ingin Angga yang membereskan barang-barang pribadinya.
Lalu ….
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, Angga pun kembali dengan membawa barang-barang Andari dan langsung memasukkanya ke dalam bagasi.
Gadis itu jelas ingin bertanya dan memastikan apa yang membereskan barang-barangnya adalah petugas hotel wanita atau bukan.
Namun rasa malu yang membentang membuatnya urung membuka mulut dan mengeluarkan suara.
Perjalanan menuju kediaman Angga itu pun terasa sepi dan senyap. Tak ada yang bersuara satupun selama mereka duduk di bangkunya masing-masing.
Andari sendiri memilih melemparkan tatapannya ke luar jendela. Memperhatikan jalanan kota Yogya yang ramai di sore menjelang malam itu.
Perlahan, kelopak mata gadis itupun mengatup-ngatup pelan. Tanda ia mulai mengantuk dan akhirnya ketiduran.
Andari bahkan tak sadar kalau ia sudah sampai di kediaman Angga dua puluh menit yang lalu.
Angga sengaja tak membangunkannya karena kasihan. Pria itu memilih turun lebih dulu dan membawakan barang Andari ke kamar yang akan ditempatinya nanti.
Sambil menunggunya bangun, Angga pun menghubungi tukang pijat yang pernah membantu Ibunya saat jatuh untuk datang ke rumah.
Andari sendiri terbangun saat tubuhnya merasakan cukup segar usai tidur nyenyak sebentar.
“Lho kok?”
“Kak Andari udah bangun?”
“Astagfirullohaladzim!”
Gadis itu menjenggit. Galuh cukup mengagetkannya dari celah bangku. Galuh memang sengaja duduk menemaninya di belakang sambil bermain game.
Gadis manis itu terbahak cukup keras. “Aku ngagetin ya? Mau dilanjut bobonya? Eh udah magrib tapi. Ndak baik kata Simbah juga,” ujarnya bermonolog.
Langit memang sudah berubah jingga. Suara orang mengaji dari langgar dan masjid mulai bersautan kencang.
“Turun yuk!”
Andari mengangguk saat Galuh membukakan pintu untuknya. Gadis itu menurunkan kaki dan mencoba berdiri sambil berpegangan pada pintu.
Namun, begitu Galuh memintanya bergeser, tubuh Andari pun oleng dan hampir saja jatuh.
“Aduh!”
“Eh … eh … eh …. Tak gendong aja, ya Kak?”
“Eh? Emang kamu bisa?”
Tubuh Andari memang lebih tinggi dibanding Galuh. Karenanya mana mungkin Galuh bisa menggendonya. Pikir Andari.
“Ayo naik saja. Ndak papa. Aku bisa kok gendong Kak Andari.” Galuh berjongkok membelakangi Andari. Memberikan punggungnya untuk tempat Andari bersandar jika mau digendong.
“Tapi Kak Andari pasti berat, Galuh.”
“Ndak. Simbah juga pernah aku gendong waktu jatuh di kamar mandi. Ayo, Kak!”
Perawakan Galuh memang lebih mungil dibanding Sumarni, sang Mbah putri juga. Andari makin tak yakin kalau gadis itu bersikukuh bisa menggendongnya.
“Dipapah aja, Galuh. Kak Andari nggak enak.”
“Yowis.”
Galuh lantas mengalungkan sebelah lengan Andari ke bahu dan lehernya sementara sebelah tangan galuh melingkar di pinggang Andari.
Keduanya berjalan pelan dan Andari cukup kesulitan karena kakinya memang terasa sakit dan terlihat bengkak.
“Walah, kok bengkak banget, ya? Ayah mesti tanggung jawab ini.”
“Eh, kok Ayah kamu?”
“Lha kan Ayah yang nabrak Kak Andari.”
Gadis itu akhirnya bisa duduk di kursi teras rumah. Galuh masuk ke dalam untuk memberitahu sang nenek.
“Tapi Kak Andari yang salah.”
“Di minum, Nak Andari.” Sumarni membawakan segelas teh hangat untuk gadis itu.
“Iya, Bu. Makasih.”
“Gimana ceritanya kok bisa sampai ditabrak Angga?”
Andari jadi tidak enak. Pasti pria itu tak menjelaskan yang sebenarnya.
“Andari yang salah, Bu. Tadi kaget terus pas belok malah ngerem mendadak. Ternyata yang di belakang motor Andari ayahnya Galuh.”
Entah kenapa Andari merasa sungkan memanggil laki-laki itu dengan sebutan ‘Mas’ di depan ibu kandungnya.
Jadilah Andari menyebutnya dengan panggilan ‘Ayah Galuh’. Toh, Angga kan memang ayahnya Galuh. Batinnya.
Sumarni pun mengangguk paham. Alih-alih menunjukkan reaksi yang berlebihan, wanita itu malah mencemaskan kaki Andari yang bengkak.
“Angga sedang panggil tukang urut sekalian sholat di langgar. Nak, Andari mau sholat?”
Belum kepalanya menggeleng dan mulutnya mengiyakan pertanyaan Sumarni, Galuh sudah lebih dulu datang sambil membawakan baskom besar dan ember berisi air serta gayungnya.
“Lho, buat apa to, Nduk?”
“Buat bantuin Kak Andari wudhu. Tadi ndak mau digendong. Padahal dulu waktu Mbah jatuh juga kan aku yang gendong.”
Sumarni terkekeh. “Iya betul, Nak Andari. Galuh memang yang gendong Ibu. Padahal masih SMP kelas dua waktu itu. Mungkin panik. Makanya kekuatannya mendadak besar bisa gendong Ibu,” tuturnya bercerita.
Andari menatap tak percaya pada sosok Galuh yang kini tersenyum bangga sambil menepuk dadanya.
“Galuh mau apa?”
Gadis itu sudah berjongkok sambil menaikan celana begi Andari agar tidak kebasahan.
“Mau bantuin Kak Andari wudhu lah. Mau sholat kan?”
“Kak Andari lagi datang bulan. Baru tadi pagi.”
Galuh menepuk keningnya sambil merungut, “Kenapa nggak bilang?”
Sumarni ikut tertawa. “Lha kamu juga loh ndak takon to, Nduk.”
Galuh berdecak seolah kesal padahal hanya pura-pura lalu merajuk manja.
“Ah, Kak Andari nih. Padahal aku kan udah semangat mau basuh kaki Kak Andari.”
“Memangnya kenapa to?” tanya sang Mbah.
“Mau nyuciin surga aku.”
“Eh? Maksudnya gimana?”
Andari kebingungan dengan candaan Galuh sementara Sumarni sudah terkekeh bersama sang cucu yang tergelak lebih dulu.
“Hush! Guyune ojo banter-banter, Nduk. Magrib.” Sumarni lalu menoleh ke arah Andari. "Maaf ya, Nak Andari. Galuh bercandanya suka begitu.”
Andari sendiri hanya mengangguk meski isi kepalanya masih tak bisa mencerna maksud ucapan dari gadis yang kini menatapnya dengan senyum penuh arti.
“Ayo Ibu bantu masuk saja. Biar Nak Andari di dalam istirahatnya.”
“Mmm … saya mau di sini dulu boleh? Masih gerah.”
“Kak Andari mau mandi?”
Gadis itu menggeleng. Sumarni dan sang cucu pun meninggalkan Andari yang kemudian terpekur dengan pikirannya sendiri.
Tak menyadari sudah melamun begitu lama sampai akhirnya Angga datang bersama seorang wanita yang seusia ibunya.
“Niku Tiyang ne, Bude,” ujuk Angga pada Andari yang terlihat masih melamun.
“Assalamualaikum!” sapa dua orang tersebut membuyarkan pikirkan Andari.
Andari menjenggit. Kaget karena Angga dan orang yang dipanggil Bude oleh pria itu sudah berdiri di dekatnya.
“Ini yang akan memijat kaki kamu. Mau di sini atau di dalam?”
“Mm … di–“
“Ayah! Gendongin Kak Andari cepet! Tadi sama aku digendong nggak mau.”
“Astagfirullohaladzim!”
Wanita di sebelah Angga tentu saja terkejut begitu Galuh datang tiba-tiba dengan masih menggunakan mukenanya.
Gadis itu juga berseru kencang pada sang Ayah, dengan semangat memintanya segera menggendong Andari untuk masuk ke dalam.
Andari juga ikut terkejut. Tak terkecuali Angga yang sempat menjenggit namun dengan ekspresi yang masih biasa.
“Kamu ini. Kalau bicara mbok jangan teriak begitu.”
“Maaf. Ayo Ayah gendong Kak Andari. Masa Bude mijetnya sambil jongkok? Mending di dalem aja sambil baringan di sofa. Jadi enak. Ya to, Bude?”
“Iyo. Nang jero wae tak urute.”
Angga menatap Andari yang kini jadi sedikit merona. Tentu karena ingat bagaimana pria itu menggendongnya dua kali.
Saat membawanya dari jalanan ke pinggiran trotoar lalu yang keduanya saat membawanya masuk ke dalam mobil.
“Ayah! Kok malah ngelamun sih? Cepetan ih!”
“Ono opo to iki, Nduk?”
“Ini loh, Mbah. Ayah lama banget suruh gendong Kak Andari aja. Mesake loh itu surgane wes bengkak gitu.”
Lagi-lagi sang nenek hanya bisa terkekeh sambil menggelengkan kepala sementara Angga mengerutkan keningnya menanggapi ucapan sang putri.
“Kak Andari mau ya digendong Ayah. Biar cepet. Lama kalau jalan. Nanti tambah bengkak. Capek juga. Biar surganya cepet membaik.”
“Monggo lebet, Yu!” ujar Sumarni memilih pergi dan mengajak tetangganya itu untuk masuk.
Sementara itu, Angga masih diam di tempat sedang sang anak terus mendesak wanita yang terlihat mengangguk pasrah akhirnya.
Detak-detak rasa itu tak disadari keduanya karena mereka sama-sama sibuk dengan pikiran sendiri.
Padahal jarak dari teras ke dalam ruang tengah cukup dekat. Tapi entah kenapa, bagi Andari rasanya jadi lama.
Gadis itu pun mulai dipijat setelah diperiksa sebentar bengkak di kakinya.
Andari hanya bisa menggigit bibir menahan ringisannya oleh karena rasa ngilu dan sakit yang dirasakan saat kakinya dipijat.
Sementara itu, Angga yang penasaran dengan maksud sang putri menghampirinya di kamar. Pria itu hanya menyandarkan tubuhnya di kusen pintu sambil melipat tangan di d**a dan memperhatikan sang putri yang memunggunginya,
“Tadi maksudnya apa, Nduk?”
Galuh yang sedang membereskan buku-bukunya di meja belajar hanya bisa mengulum bibir sambil terus membelakangi Ayah-nya itu.
“Lha, iya to. Surga itu kan di bawah telapak kaki Ibu. Nah, telapak kakinya kak Andari kan surga buat anak-anaknya nanti to?” Galuh menoleh ke belakang, menatap sang Ayah dengan polosnya.
Angga balas menatap sang putri beberapa jenak sebelum memilih keluar kamar dan meninggalkan sang putri yang kemudian terkekeh geli.
Sejak pertemuannya dengan Andari, Galuh memang sudah suka pada gadis lemah lembut juga pemalu itu.
Perasaannya terus-terusan menginginkan Andari dekat dengan Ayah-nya. Apalagi sejak melihat reaksi Ayah-nya di hotel usai mengantar wanita itu pulang.
Meski Galuh tahu betul siapa yang sebenarnya dipikirkan Ayah-nya dan kenapa sang Ayah juga menatap Andari berbeda saat itu, namun hatinya seolah yakin bahwa Andari adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuk sang Ayah lewat dirinya.
“Pokoke aku kudu entuk Ibu anyar karo adek. Kudu!” lirihnya menyemangati diri lalu keluar kamu untuk melihat calon ibu barunya itu.
Bersambung ....