3. Hello Newlyweeds

2522 Words
Ingin sekali aku punya kekuatan menghentikan waktu atau menemukan alat yang bisa membawaku kembali ke masa-masa itu, ketika aku masih bisa menghabiskan waktu bersamanya, menertawakan apa saja yang menurut kami lucu, menggenggam erat tangannya, menikmati setiap kenyamanan yang dia berikan melalui sebuah pelukan. Dia bukanlah orang yang punya segalanya, hanyalah seorang yang penuh kesederhanaan tapi berarti segalanya bagiku. Dia mengajarkan kepadaku yang namanya jatuh cinta dan patah hati bersamaan. Ah, entahlah kenapa luka ini semakin menganga rasanya? Nggak seharusnya juga aku menuntutnya untuk mengobati lukaku. Jika menelisik ke belakang, dia nggak pernah menyakitiku sekalipun, akunya saja yang terlalu dalam mencintainya. Sampai di puncak kedewasaannya kini, aku rasa dia saja tidak tahu apa itu artinya cinta. Berani potongan jari kelingking, coba tanyakan padanya--Alvino Chakra--apa makna cinta menurutnya, pasti jawabannya begini, kata-kata yang sering ada di lirik lagu melayu, bikin ngantuk, mending ngopi trus ngerokok, disambi gitaran lagu-lagu Iwan Fals atau band-band indie-- Untung kamu ganteng Alvino, bebas deh mau ngomong gitu dengan tampang flat. Arr ... Baguslah, mataku sekarang sudah bengkak seperti ditumbuhi bintitan menahun yang tak kunjung sembuh--sisa menangis semalam. Aku berusaha mencari sesuatu yang bisa menghiasi mata bengkakku. Kompres air dingin udah, air hangat sudah, pakai softlens udah, Ya Tuhan pakai bulu mata palsu juga nih lama-lama. Aku mulai frustrasi, sementara bunda masih semangat 45 menggedor pintu kamar dengan nggak sabarannya. Arrghh ... Kuputuskan mengenakan kacamata hitam saja, untuk menutupi hasil karyaku semalam. "Astaga, lama banget sih kamu?" Aku sama sekali nggak menjawab ocehan Bunda, memilih berjalan lurus ke depan, mencari kekuatan yang tersisa untuk mengangkat tulang leherku agar bisa menegakkan kepalaku menghadapi hukuman Tuhan. Aku bahkan nggak sempat memanaskan mobil agar bisa segera bergaul dengan kemacetan. Kemacetan membuatku punya alasan menutup mulut Bunda supaya nggak mengomeliku sepanjang jalan. Bunda pasti akan tertidur saat menghadapi kemacetan--yang akan selalu dirindukan warga Jakarta jika tak lagi tinggal di ibukota Negara ini. "Tumben pakek kacamata?" tanya Bunda seraya melilitkan seat belt ke tubuhnya. "Biar gaya," jawabku singkat lalu melajukan mobil keluar dari carport rumah ini. Yes, macet parah. Sampai sore saja begini, supaya bunda kelelahan trus memintaku putar balik kembali ke rumah dan mengurungkan niatnya untuk membawaku ke tempat yang menurutku adalah tempat persidangan. Mati konyol namanya situasi kali ini, karena aku nggak membawa pengacara pribadiku--kak Dastan--ke persidangan. Aku digeret paksa oleh jaksa penuntut umum ini ceritanya, sekali sidang langsung ditentukan hukuman apa yang pantas untuk perbuatanku tanpa pembelaan. Masih mending kalau Jaksa Penuntut Umumnya seganteng Ji Chang Wook dalam drama Korea Suspicious Partner, rela deh dilayangkan segala macam tuntutan. Apa-apaan ini??? Arrggh....ngaco. Sepertinya Tuhan lupa kalau mempunyai makhluk manis sedang membutuhkan pertolonganNya. Macet ternyata hanya sekitar 20 menitan, nggak sampai sore sesuai harapanku. 15 menit kemudian mobilku sudah terparkir rapi di spot parkir pertokoan besar ini. Dari balik kaca spion terpantul bayangan plakat besi besar bertuliskan 'Az Zahra Boutique', tapi kenapa aku bacanya jadi ' Ruang Persidangan Az Zahra' ya. Stupid, sepertinya mataku hampir siwer gara-gara menangis semalam. "Ayo turun!" perintah Bunda sambil menepuk pangkal lenganku. "Nanti nyusul, Bunda duluan aja." "Jangan kabur! Awas aja kalau berani kabur!" Astaga, bunda ini kalau marah begini terlihat seperti penyihir jahat yang menculik Rapunzel, lebih sadis malah. Bunda keluar dari mobil dan aku bisa melihat dari kaca spion sudah menghilang dibalik pintu kaca. Aku menempelkan keningku di roda kemudi, seolah di situlah tempat ternyamanku saat ini. Ada ketukan pelan di kaca mobilku. Aku bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di samping pintu mobil, dari balik kaca mobil dengan kaca film yang memiliki ketebalan lebih dari 60 persen ini. Kak Alvin. Aku mendesiskan namanya. Haruskah aku bertemu dengan dia di kondisiku yang terlihat menyedihkan ini? Oh, dear God kenapa Engkau tidak sayang kepadaku hari ini, semestaMu tidak ada yang berkompromi sedikit saja denganku. Alvin mengetuk sekali lagi kaca mobilku. Aku menekan deretan tombol di gagang pintu mobil, dan kaca mobil otomatis terbuka. "Hai," sapanya dengan tampang tanpa dosa yang selalu bisa menawan hatiku. Aku tak menjawab, hanya menatap dalam ke manik mata kecokelatan itu. "Nggak turun?" tanyanya kemudian, aku hanya menjawab dengan sekali mengangguk. Ini pertemuan keduaku setelah beberapa minggu yang lalu, di apartemen kak Dastan. Dan demi Kendall Jenner jadi gemuk, kadar ketampanannya bertambah sekian puluh persen dari saat terakhir aku bertemu dengannya. Apa itu efek dari pengantin baru? Entahlah. "Kamu kenapa?" Hell, yeah. Masih bisa tanya dia, aku kenapa? Nggak lihat apa? Mata udah bengkak begini? Ah, dia mana peduli, mau mataku tinggal satu juga masa menyadari dia. "Lagi nggak enak badan." Begitu yang terlontar dari mulutku. Alvin malah mendaratkan telapak tangannya di atas keningku. Ya Tuhan, lutut saya lemas saat ini. Kalau orang yang melihat sih biasa saja, masih lebih lembut cara emak tiri lagi memeriksa keadaan anak tirinya, dibanding dengan perlakuan Alvin saat ini. Justru itulah yang membuat aku kelepek-kelepek. Sumpah, Alvin itu nggak ada romantismenya sama sekali, padahal. Tampangnya datar, lempeng kayak jalan tol. Mungkin almarhum emaknya waktu hamil dia dulu kurang vitamin C dan K--Cinta dan Kasih sayang. Tapi bagaimana bisa aku cinta mati sama dia, benar-benar cinta. Bisa aku pastikan pulang dari sini aku akan gagal move on, lagi dan lagi. "Nggak anget ini?" Emang kening aku nggak anget, tapi telapak tangan kamu yang sudah membuat hati aku hangat. Ya Tuhan, sadar woy sadar, laki orang ini!!! "Apaan sih?" Aku menepis tangan Alvin dari keningku, berbanding terbalik dengan apa yang sedang diteriakkan oleh Dewi batinku saat ini yang menginginkan lebih. Sudah pernah dengar 'kan istilah kadang otak, hati dan mulut itu sering nggak sejalan? Inilah yang sedang aku alami. "Kamu kenapa? Masih marah karena kak Alvin nikah? Atau apa?" Bodoh! Harusnya aku yang menikah dengan kamu, harusnya kamu lebih memilih aku yang lebih dulu mengenalmu, harusnya kamu memilih aku, tinggalkan dia lalu datang kepadaku--dan haruskah aku mengatakan semuanya kepadamu? Aku yang bodoh, kalau sampai aku melakukan itu. "Dengerin aku sekali ini aja. Kamu yang pergi dari kehidupan aku,apa pun alasan kamu, kak Al nggak bisa terima. Ini penawaran terakhir, kita perbaiki semuanya, dan mulai berteman lagi dari nol, itupun kalau kamu nggak mau, ya sudah." Aku melemparkan tatapan membunuh pada Alvin, kalau ada bola-bola api keluar dari kedua bola mataku, mungkin Alvin sudah mati terbakar saat ini. "Anything for you," jawabku dengan sarkas. Alvin malah mengacak puncak kepalaku lalu menarik gagang pintu mobil dan membukanya, sambil melempar senyum penuh kemenangan. Aku berusaha menahan pintu mobil, lalu mengatakan sebentar lagi. Alvin percaya dan pergi begitu saja. Aku pun turun dari mobil setelah mengatur napas. Aku memilih untuk berkeliling di dalam butik ini karena nggak tahu mesti ke mana, hingga seseorang menepuk pundakku. "Putrinya ibu Feni ya? Aku Mitha, asisten uni Meidina. Kakak udah ditunggu di atas, mari ikut saya." Tanpa menjawab apa-apa aku mengikuti saja langkah perempuan yang mungkin usianya tidak beda jauh denganku. Setelah dipersilakan masuk, tak lupa aku mengucapkan terimakasih pada Mitha. "Masuk sayang," Bunda memanggilku lalu melambaikan tangannya agar aku lebih memasuki ruangan ini. Seorang perempuan berjilbab warna soft pink tersenyum lembut kepadaku. Inikah istrinya Alvin? Laki-laki itu sedang duduk di sofa mini di seberang meja kerja tempat Bunda dan perempuan itu duduk saling berhadapan. Menyadari kedatanganku Alvin berdiri lalu menghampiriku. "Ayo, kenalan sama istri kak Al." Aku hanya mengangguk malas. Alvin merangkul bahuku, tapi aku berusaha menepisnya saat melihat perempuan berjilbab itu menatapku dengan senyum terpaksa. Emang b**o si Alvin, bisa-bisanya dia main rangkul perempuan lain di depan istrinya. Menjaga jarak dengan Alvin, aku berjalan cepat ke arah Bunda. Aku merasa Bunda sedang mencengkeram lenganku. Seolah sedang memperingatkan agar aku tidak membuat onar di sini. "Meidina," ucap perempuan berjilbab yang kini aku tahu namanya itu. Aku menerima uluran tangannya seraya menyebutkan namaku. Pantes Alvin mau aja dijodohin sama yang beginian, aku cuma menang tinggi doang, Meidina menang banyak. Jangan-jangan itu akal-akalannya Alvin aja untuk menolakku secara halus, dia bilang dijodohkan padahal dia kenal perempuan ini saat aku ke Jerman. Arr... terima saja kekalahan telakmu ini, galz. Sisi devil di otakku sedang menertawakanku saat ini. "Duduk di sana aja yuk," ujar Meidina mengajak aku dan Bunda duduk di sofa yang tadi diduduki oleh Alvin. "Tadi katanya mau ngomong sesuatu," ucap Bunda menyentuh pahaku. Kerongkonganku seperti sedang panas dalam saat ini. Kering, sakit, perih, dan mendadak susah bicara. "Sebenarnya, kedatangan saya ke sini untuk mengantar anak saya ini, ada yang mau disampaikan katanya," ucap bunda mengawali pembicaraan, tak lupa melemparkan lirikan tajamnya kepadaku. Meidina hanya tersenyum. Di sofa ini hanya kami bertiga saat ini. Alvin sudah menghilang. Paling dia sedang mencari tempat untuk membakar paru-parunya. "Emmh ... aku mau minta maaf, atas kejadian di pesta pernikahan mbak beberapa waktu yang lalu." "Sshh ..., Meidina ini orang Padang, panggilnya uni, bukan orang Jawa kayak mbak Kia." Meidina tertawa lirih diikuti oleh Bunda. Aku hanya tersenyum tipis. "Aku nggak maksud bikin kacau acara, Uni. Aku cuma mau kasih selamat sama kak Alvin, tapi mungkin caraku yang salah." Akhirnya aku bisa menyelesaikan kalimat permohonan maafku yang tanpa naskah, tanpa skenario dan nggak ada latihan sebelumnya. "Iya, nggak apa-apa. Saya ngerti, lagian kamu nggak yang sampai bikin kacau apalagi mengacak-acak acara pesta kok." Aku lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Ke mana tawaku yang biasanya terbahak-bahak? Kami bertiga mengobrol banyak, lebih tepatnya Bunda dan Meidina, aku hanya menjadi pendengar dan sesekali menjawab jika ditanyai. Satu jam kemudian, Aku mengajak Bunda untuk pamit, karena bunda juga masih ada urusan lain setelah ini. Pengantin baru itu mengantarku hingga ke pintu depan butik ini. Dari spion mobil, aku dapat melihat Alvin masuk ke butik terlebih dahulu, lalu disusul oleh istrinya. Tidak ada kemesraan yang mereka tampakkan layaknya pengantin baru, berbeda sekali dengan cara kak Dastan memperlakukan istrinya dengan sangat manis, bahkan hingga saat ini. Apa Alvin memang benar-benar mencintainya? Atau dia mengatakan cinta kepadanya di depanku saat itu hanya sekadar ingin membuatku marah dan bisa cepat melupakannya? Hanya Tuhan dan Alvin saja yang tahu. Ada satu hal yang aku bisa lihat, ketulusan yang terpancar dari caranya mereka saling memandang. Itu membuat hatiku rasanya teriris dan terbakar api cemburu. Alvin memandang Meidina dengan tatapan memuja, sedangkan Meidina menatap Alvin dengan tatapan penuh cinta. Aku bisa lihat itu, karena aku melihatnya pakai hati tidak hanya sekadar pakai mata. Aku bisa mengambil kesimpulan dari hubungan dua orang ini, cinta tidak perlu diucapkan lewat kata seperti di roman picisan, atau kutipan-kutipan di n****+ romantis. Cinta cukup dituangkan lewat tatapan, perbuatan dan tindakan. Dan lagi, ungkapan cinta saja tenyata tidak cukup untuk mendapatkan pengakuan dari dunia akan ketulusan cinta kita kepada seseorang. Tulus nggak nya cinta itu harus dibuktikan dengan buku nikah, bukan hanya gombalan kata cinta semata. Buktinya Alvin aja bisa menikah tanpa mengerti artinya cinta itu apa. Alvin dulu pernah bilang--kawin bisa berkali-kali, tapi hidup, mati, menikah dan jatuh cinta itu hanya sekali seumur hidup, ya kecuali ditinggal mati sama pasangan diusia masih sanggup untuk menikah lagi, nggak dosa kok nikah lagi--Aku menahan senyum mengingat dia mengatakan quote konyol itu dengan lempengnya. Konyol memang. Ach, seharusnya waktu itu aku mengatakan 'aku ingin menikah denganmu', daripada menangis darah mengatakan aku mencintai kamu. Bah! "Meidina itu perempuan yang baik. Kamu harus belajar banyak hal sama dia. Contohlah dia." Bla, bla, bla... Begitulah Bunda jika sudah menyukai sifat seseorang. Dulu waktu pulang dari melamar mbak Kiara, Bunda juga mengatakan hal yang sama kepadaku. Dan ternyata memang tepat sasaran, mbak Kiara sesuai ekspektasi heboh Bunda. Dan Bunda pun memulai acara pidatonya. Sayang, pembukaannya sudah bikin aku malas untuk mencerna makna pidatonya sore ini. Aku hanya mendengarkan saja, tanpa menjawab sepatah kata pun. Ketika aku sampai rumah, di carport sudah ada mobil kak Dastan. Kenapa kayaknya aku diuji banget hari ini. Setelah melihat pasangan pengantin baru, aku harus melihat pasangan pengantin baru yang lain lagi. Aku tak memedulikan orang-orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Aku langsung melangkah ke lantai dua menuju kamarku. Di kamar ini lah aku bisa berkeluh kesah. Menangis sepuasnya, tanpa repot memikirkan pertanyaan orang apa masalahku dan apa yang sedang terjadi padaku. Ada sebuah gitar akustik berwarna coklat kayu tergantung di dinding kamar. Gitar itu hadiah ulang tahun untukku dari Alvin dua tahun yang lalu. Aku mengambil gitar itu, mulai memainkan dan menyanyikan lagu-lagu yang sering kami nyanyikan, dulu. Dia yang mengajariku memetik gitar, bernyanyi dan mengenalkan kepadaku lagu dan musik selain musik Kpop dan lagu cinta anak abg kala itu. Alvin segalanya bagiku, dia mampu mewarnai hari-hariku dengan caranya sendiri, yang menurut orang lain telihat biasa banget tapi menjadi begitu manis bagiku. Pintu kamarku diketuk pelan, aku beranjak dari kamar dengan langkah malas. Kakakku sudah berdiri di depan kamar dengan dua buah gelas berbentuk piala berisi es krim dua rasa. Dia menyodorkan satu gelas padaku. Kami menuju lantai di atas kamarku. Aku dan kakak menyebut tempat ini sebagai secret rooftop. Hanya sebuah lantai beralaskan beton, tanpa dikeramik, beratapkan kanopi sebagai pelindung dari hujan dan panas matahari saat kita duduk di lantai beton ini. Ada sebuah bangku taman berbahan besi untuk duduk saat berada di atap ini. Dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Jakarta, gedung-gedung bertingkat yang saling bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling bisa mencakar langit, juga langit biru yang disertai awan berarak mengikuti arah angin. Apalagi jika malam hari, pemandangan yang disuguhkan lebih menakjubkan. Gemerlap lampu ibu kota serta deretan rasi bintang yang indah akan menjadi pemandangan menarik di sini, kecuali jika tidak sedang mendung dan hujan tentunya. "Bunda bilang lo udah kenalan sama istrinya Alvin?" Aku hanya menjawab dalam gumaman, seraya menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutku, yang rasanya hambar saat ini. "Lo bener-bener cinta sama dia?" "Gue nggak tahu apa itu cinta, sampai gue mengenal dan dekat dengan dia." "Kenapa lo nggak bilang dari dulu soal hubungan lo dengan Alvin?" "Nggak akan ngerubah keadaan, Kak." "Paling nggak 'kan gue bisa bantu Alvin untuk ngungkapin perasaannya ke elo. Dia bilang, punya perasaan juga ke elo waktu itu, tapi dia nggak punya nyali untuk bilang ke elo. Dia takut kehilangan elo, kalau nekat ngungkapin perasaannya ke elo. Dia takut keluar dari zona nyamannya sama elo. Tapi keputusan lo untuk pergi ke Jerman, kayaknya udah salah besar." Aku nggak sanggup lagi menahan sesuatu yang memaksa keluar dari kelopak mataku. Akhirnya pertahananku hancur sudah. Aku memperlihatkan sisi terpurukku di hadapan kakakku. Kakak menarik leherku ke dalam d**a bidangnya, aku semakin menangis di pelukannya, melepas semua beban yang bercokol di hatiku. "Jangan siksa diri lo sendiri. Lo harus lepasin cinta lo, lupain Alvin, ikhlaskan dia bahagia dengan pilihannya." "Jangan suruh gue berhenti mencintai dia apalagi ngelupain dia, Kak. Gue belum bisa. Gue yang lebih tahu kapan harus berhenti mencintai dia, kapan harus melepas dia dari hati gue." Hening, tak ada suara di antara kami. Hanya pelukan kakakku yang bisa menenangkan perasaanku. Es krim di dalam gelas kami sudah sama-sama mencair, tapi kami nggak peduli. "Gue cuma minta satu hal, jangan libatkan persahabatan lo ke dalam urusan hati gue. Ini nggak ada hubungannya sama sekali sama persahabatan lo." "Kalau itu yang lo minta, gue akan penuhi. Asal lo juga janji satu hal sama gue?" "Apa Kak?" "Jangan pernah sekalipun kepikiran untuk melakukan tindakan di luar nalar, apalagi sampai berbuat yang nekat." "Nggak kok, gue masih bisa ngendaliin logika gue. Lo tenang aja." Kakak mengajakku untuk turun dan bergabung dengan yang lain di ruang keluarga. Aku menolak, dengan dalih tidak ingin Ayah dan Bunda melihat keadaanku yang terlihat kacau ini. ----- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD