Aku bangkit, meraih selimut dan perlahan menutupi tubuh Anindira yang terlihat begitu lemah. Pertama kalinya aku menunduk untuk menghapus sisa air mata di kelopak matanya dengan perasaan begitu penuh. Napas Anindira terlihat begitu pelan dan lemah, tapi ini sudah membuatku bahagia. Setidak nya dia masih hidup dan bernafas. Biadabnya kamu, Arga! Hati kecilku merutuk. Kalau sampai Anindira meninggal di malam pertama, kau bukan hanya akan mengalami penyesalan seumur hidupmu, tapi juga seisi dunia akan mengutukmu!
Gusti Allah, apa yang aku lakukan pada Anindira? Setelah sekian lama menyiksanya dengan
Sikapku yang dingin, beku dan angkuh, kini aku menyiksanya dengan siksaan yang lebih menyakitkan, bahkan mungkin menyisakan trauma.
"Anin, bangunlah. Mas bawakan air." Aku kembali duduk di pinggir ranjang, menyuapi sesendok air ke bibir Anindira yang terlihat pucat. Aku menatap dalam wajah yang baru kusadari begitu pucat dan tirus. Suami macam apa kamu, bahkan untuk menyadari bahwa wanita yang menjadi takdirmu baik-baik saja pun tidak mampu? Aku terus merutuki diri sendiri. Untuk pertama kali dalam umur pernikahanku dengan Anindira aku perduli, meski mungkin sudah begitu terlambat.
"Anindira, bangunlah." Aku kembali menyebut namanya.
Mata Anindira perlahan terbuka. Aku mendesah, mata itu begitu sayu dan terluka.
"Kamu sudah ingat?"
Sungguh aku malu menanyakan hal ini, merasa seperti seorang pria kejam yang sudah melakukan kekerasa pada pasangannya. Faktanya aku memang seperti itu! Bodohnya aku yang berahun-tahun menganggap Anindira kotor dan hina serta memberinya ribuan hari yang penuh luka.
Anindira tidak menjawab, dia juga melengos saat tanganku mengulurkan segelas air ke hadapannya
"Tinggalkan aku, perempuan ja lang ini tidak layak diberi penghormatan apalagi kasih sayang. Perempuan kotor ini hanya layak disakiti, dan aku...sudah biasa mendapatkannya." Satu tetes air mata kembali meluncur dari sudut mata Anindira.
"Maafkan aku, Anin." Suaraku terbata.
Anindira hanya tersenyum pahit. Tatapan dan wajahnya datar. Saat aku perlahan merapikan anak rambutnya, pelan dia menepis tanganku .
"Berdoalah, agar benih yang kau tanam dirahimku barusan tidak tumbuh. Kamu tidak ingin punya anak dari perempuan hina dan kotor ini, bukan?" lirih Anindira membuatku sekuat tenaga menggeleng, berharap Anindira merasakan rasa bersalahku.
Sayangnya luka di hati Anindira sudah begitu dalam. Anindira mungkin tidak mencaciku tapi, airmata yang kembali mengalir begitu deras, sudah cukup mengatakan padaku kalau jiwa Anindira sudah lama hancur berkeping-keping.
***
Wajah Laksamana memucat. Aku bahkan tidak menunggu pagi tiba untuk meneriakkan hal ini padanya. Dia harus tahu, kalau Anindira tidak sehina yang dia tuduhkan.
"Tidak mungkin," ujarnya tertahan.
"Apa perlu aku membawamu ke kamarku dan memperlihatkan bercak darah di ranjang pengantinku?" Aku menatapnya tajam dan tersenyum kecut. Membawa Laksamana subuh-subuh ke kamarku untuk meyakinkan ucapanku? Yang benar saja. Kalau pun dia mau, aku tidak akan membiarkannya masuk, karena di dalam sana ada Anindira yang baru kusadari begitu polos, suci dan lugu. Tak akan kubiarkan pria pengecut itu mendekatinya, meski kenyataannya, aku juga seorang pengecut sejati.
"Tidak lucu bukan? Lebih tidak lucu lagi, aku yang tiga tahun lamanya enggan dan tidak mau menyentuh Anindira." Aku tersenyum pahit.
Laksamana tergetar, tampak begitu kaget dan mungkin perasaan apalagi aku tidak tahu. Dia pasti tidak menduga, kalau selama ini aku menyia- nyiakan Anindira dan tidak pernah menyentuhnya. Dia begitu resah dan gundah. Tentu saja, wanita yang telah dianggapnya kotor, hina bahkan dipermalukan dan ditinggalkan begitu saja di pelaminan adalah wanita suci dan tidak berdosa.
"Aku tidak menduganya, bahkan aku tega meninggalkan dia menangis sendiri di pelaminan," ucap Laksamana penuh rasa sesal.
"Bodoh."
"Aku memang bodoh."
Lama saling diam dengan sejuta pertanyaan dan rasa sesal yang memenuhi kepalaku dan juga mungkin Laksamana, akhirnya aku beranjak meninggalkan adikku sendirian. Raut sesal jelas terlihat di wajahnya.
***
Hari beranjak pagi. Beruntung Anin akhirnya terlihat lebih baik. Setelah kudapati membersihkan diri di kamar mandi di dalam kamar dan berganti pakaian, seperti hari kemarin, Anindira membantu Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Dia masih gesit dan cekatan menemani Ibu memasak meski sekali-kali aku melihat dia sedikit meringis saat berjalan.
"Biar Ibu dan Bi Nah yang memasak, kamu temani Intan saja mengobrol di depan." Mungkin Ibu tidak enak karena dari sejak kedatanganku dan Laksamana tiga hari lalu, hanya Anindira yang ikut sibuk membantu pekerjaan rumah, sementara Intan terlihat seperti ratu tidak mau ngapa- ngapain.
"Tidak apa-apa, Anin senang bantu Ibu," jawab Anindira bersikeras tetap berada di dapur.
"Anin, aku yang bawa." Aku mencegat Anindira yang berjalan membawa wadah berisi piring dan mangkuk kotor untuk dicuci. Mata Anindira sedikit menyipit mendapati aku yang tiba-tiba perduli.
"Anin kamu kenapa?" Aku mengejar Anindira yang berjalan sedikit tertatih dan sama sekali tidak menghiraukan tawaranku.
"Ini berat, biar aku yang membawanya." Kini aku berusaha merebut ember yang akan digunakan untuk menyiram bunga. Lagi-lagi Anindira tidak menggubris, dan bersikeras membawanya ke teras depan.
"Jangan sok kuat, aku tahu untuk berjalanpun kamu pasti sakit." Merah wajahku saat mengucap ini. Jika Pengalaman pertama itu menyisakan sesal di hatiku, pasti pengalaman itu juga meninggalkan sakit dan terhina bagi Anindira.
Anindira tengadah. Netra mata kami bertemu.
"Tidak usah berubah baik, Mas. Karena ..."
"Karena apa Anin?"
"Karena aku telah memutuskan untuk pergi dari hidupmu. Wanita yang selalu kau sebut kotor ini tidak pantas untuk tetap bersamamu."
Mata bening Anindia kembali berkaca. Menyisakan rasa sepi dan sakit yang kini tiba-tiba mendera hatiku.