Laksamana terhuyung ke belakang dan mirisnya malah menabrak tubuh Anindira yang baru muncul dari dapur dan membuat tubuhnya oleng.
"Maaf." Laksamana yang gugup cepat menyeimbangkan tubuh dan memegang daun pintu, sementara Anindira yang tertabrak tidak bisa menjaga keseimbangan. Dua gelas berisi teh jahe yang dibawanya jatuh sehingga pecah dan serpihan kacanya mengenai kakinya. Anindira yang kaget sedikit meringis.
"Kamu tidak apa- apa?" Laksamana terlihat kaget dan khawatir apalagi melihat kaki Anindira yang berdarah.
"Tidak apa-apa, Mas." Anindira menggeleng cepat.
"Hati-hati nanti kakimu menginjak pecahan kaca ini. Menjauhlah, biar aku bersihkan." Alih-
alih memerhatikan kakinya yang berdarah Anindira malah perduli pada Laksamana yang bertelanjang kaki dan menyuruhnya minggir agar tidak menginjak serpihan kaca. Sikapnya benar- benar tulus dan tidak dibuat- buat.
"Luka di kakinya tidak sebanding dengan luka hatimu saat dia meninggalkanmu di pelaminan, Anin," sindirku. Aku melihat Laksamana hanya terdiam, pasti dia mengakui perkataanku benar, raut wajahnya berubah mendung.
"Tidak apa-apa, Mas. Biar aku bersihkan, aku takut Ibu atau siapapun menginjak beling ini."
Tak menghiraukan pandanganku yang tidak suka, Anindira bergegas meraih sapu dan membersihkan serpihan gelas yang berceceran serta mengelap lantai yang kicin. Hati-hati dan teliti dua mengumpulkannya dan menaruhnya di dalam wadah untuk dibuang ke tempat aman. Anindira tidak pernah membuang serpihan kaca ke tempat sampah, dia selalu berdalih takut ada pemulung yang mengais sampah dan terluka. Hati Anindira memang begitu lembut dan penyayang, sayang aku terlambat menyadarinya.
"Aku yang buang," ujarku mengambil wadah yang berisi serpihan gelas dari tangan Anindira.
"Duduklah, nanti luka kakimu aku obati."
Anindira mengangguk, dia duduk di kursi di ruang tengah, sementara aku setelah menyimpan serpihan kaca di belakang, aku segera kembali ke ruang keluarga dengan membawa obat merah dan air hangat dalam baskom kecil.
Anindira terlihat duduk menuruti perintahku. Dia tampak sedikit meringis mengurut kakinya yang terluka, sementara Laksamana berdiri tertegun tak jauh darinya.
"Sakitkah?" Laksamana terlihat khawatir.
"Tidak begitu, sebentar lagi juga hilang sakitnya."
"Anindira, boleh aku bicara?"
Anindira tidak menjawab.
"Bolehkah?"
"Apa yang harus dibicarakan diantara kita, Mas? Semuanya telah jelas bukan?"
Laksamana menghela napas, terlihat gundah.
Aku menahan langkah. Aku penasaran apa yang akan diucapkan Laksamana setelah tiga tahun meninggalkan Anindira tanpa penjelasan sama sekali.
"Maafkan untuk peristiwa tiga tahun lalu. Maafkan aku yang tidak dewasa dan memilih pergi." Suara Laksamana tergetar. Aku yakin dia menyimpan rasa sesal ini sekian lama.
"Aku yang tidak mau bertabayyun dan menelan begitu saja tuduhan terhadapmu. Maafkan aku yang telah memberimu janji namun tidak sanggup menjaganya."
Anindira tersenyum getir.
"Sudah lama berlalu. Lupakan saja."
"Aku akan melupannya, jika dirimu baik- baik saja."
"Aku baik- baik saja. I am fine."
Laksamana tersenyum kecut.
"Aku tidak bisa dibohongi. Meski bibirmu tersenyum tapi matamu menangis."
Anindira hanya tersenyum sendu.
"Aku masih mencintaimu. Pergilah dari hidup Arga jika kau tidak bahagia." Suara Laksamana terdengar parau tapi bersungguh- sungguh. Kurang ajar! setelah seenaknya dia pergi kini dia datang mengatakan cinta pada Anindira. Aku menahan nafas, aku penasaran dengan jawaban Anindira.
"Mas bicara cinta?" Suara Anindira terdengar sendu.
"Jika kau bicara cinta, lalu ke mana dirimu selama ini? Pernahkah kau bertanya tentang aku dan hidupku? Tentang pernikahanku atau tentang semua penderitaan dan air mataku?" Mata Anindira berkaca.
"Maafkan aku, aku menyesal."
Anindira tersenyum.
"Apapun tentang kita sudah selesai. Sejak kau memutuskan pergi di pelaminan tiga tahun lalu, apapun tentang kita sudah berakhir. Anggap Anindira telah mati dalam hidupmu."
Laksamana terdengar mendesah berat.
"Jika kau baik- baik saja, aku pun tidak akan pernah melakukan hal ini padamu. Arga tidak mencintaimu, hanya aku yang mencintaimu, Ra."
Suara Laksamana terdengar lirih tapi begitu jelas.
"Pria yang mencintai tidak akan lari dan menaruh prasangka atasku. Pria yang mencintai itu akan berdiri tegar dan berjuang bukannya menjadi pengecut dan pecundang."
Anindira terlihat menyeka matanya.
"Mas Arga mungkin tidak mencintaiku, tapi hanya dia yang bersedia mengorbankan hidup dan bahagianya demi menghapus aibku setelah kau pergi." Anindira terisak.
"Mas Arga tak sempurna dalam memperlakukan aku, tapi dialah yang mengucap janji setia di hadapan penghulu dan menuliskan namanya untuk menjadi imamku." Anindira menyeka air matanya.
"Seribu kali pun kau mengucap kata cinta, aku tak perduli." Anindira bangkit dan pergi masuk kamar, meninggalkan Laksamana dengan wajah yang diliputi sejuta sesal.
Gusti Allah. Di sini, di tempat aku berdiri, tak terasa runtuh sudah air mataku, saat aku menyadari tiga tahun lamanya aku menganggap Anindira wanita hina yang dengan mudah membagi hati untuk pria selainku. Kini aku mendapati dengan kepala sendiri kalau dia begitu setia dan terjaga, bahkan padaku, pada pria yang telah memberinya banyak luka dan air mata.
***
Di dalam kamar.
"Sakit?" tanyaku menatap wajah Anindira yang meringis.
"Tahan ya," ucapku lagi, sambil menekan lap basah di kaki Anindira yang terluka.
"Maafkan aku jadi merepotkanmu. Mas pergilah ke air, aku bisa mengobati lukaku sendiri."
Aku menatap mata Anindira.
"Kau bilang kamu merepotkan aku? Lalu tiga tahun kau membaktikan hidupmu tanpa balas dariku, apa namanya?"
"Sudah menjadi kewajibanku, Mas."
Kewajiban. Hanya kewajiban? Aku agak kecewa. Lalu kau mau mendengar Anindira melakukan semuanya karena cinta? O, tak tahu dirinya aku, setelah tiga tahun menyakitinya aku mau mendengar bibir itu mengucap cinta. Aku merutuki dalam hati.
"Aduh!"
Anindira meringis lagi, membuat aku spontan memeluknya. Pelukan pertama di tiga tahun pernikahan kami.