Ketenangan Yang Menghanyutkan

2570 Words
Selesai mengobrol dengan Agha, Hanafi pergi berjalan ke arah Humaira. Niat hati memang mau menghampiri gadis itu. Namun langkahnya berbelok begitu dipanggil ketua BEM MIPA. Keduanya mengobrol lumayan lama sampai perhatian Hanafi teralihkan pada sosok Agha yang berdiri di depan sana. Ia tahu kalau Agha pasti menawarkan posisi untuknya dapat bergabung. Cowok itu mengharapkannya dapat ikut bergabung sebagai juru bicara sekaligus staf perencanaan. Posisi yang sangat strategis. Meski ia belum tahu apakah akan mengabulkan permintaannya atau tidak. Bagaimana pun Hanafi perlu berpikir panjang. Ia juga sudah berterus terang pada Agha tadi kalau.... "Jujur aja, perkuliahan gue akan selesai semester ini. Gue hanya sibuk skripsi dan punya banyak waktu kosong. Tapi prioritas gue masih BEM juga. Kalau lo emang ingin gue gabung, mungkin gua hanya akan bantu lo sampai kampanye aja." Agha mengangguk. Tak masalah. Toh memang ia sangat memerlukan bantuan Hanafi dalam masa-masa kampanye mendatang. Jika memang Hanafi tidak mau bergabung sebagai salah satu staf pentingnya di BEM nanti, ia masih punya orang-orang yang bisa ia masukan. Meskipun sebenarnya, ia punya niatan untuk menjadikan Hanafi sebagai wakilnya. Kalau memang tidak bisa ya sudah lah. Menjadi juru bicara dan staf perencanaan sekaligus pun cukup lah. Ia tak tahu alasan kenapa Hanafi tak bisa bergabung. Tapi yang jelas, ia sangat berterima kasih kalau lelaki itu mau bergabung ke dalam tim kampanyenya. "Gue kenal dia," tutur Doni. "Dulu pernah satu satker di relawan. Dia aktif dan bagus." Hanafi mengangguk-angguk. Ia juga sudah melihat profilnya. Hanafi tak mungkin asal mempertimbangkan orang tanpa tahu latar belakangnya seperti apa. "Dia ngobrol tadi sama lo?" Hanafi mengangguk. Doni langsung bisa menarik kesimpulan apa yang mungkin terjadi. Pastinya tak akan jauh-jauh dari persoalan kampanye dan BEM di masa mendatang bukan? Tidak ada alasan lain. Sama dengan dunia perpolitikan di pemerintahan, mereka juga kerap hanya menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Tapi bagi Hanafi itu adalah persoalan lumrah. "Eh gue ke sana dulu ya," pamitnya pada Doni. Doni mengangguk. Hanafi berjalan menuju Humaira yang tampak sedang sendirian. Gadis itu sedang beristirahat. Suasana memang kian memanas di depan sana ketua BEM dari berbagai universitas yang ikut demo hari ini saling melempar orasinya di depan sana. Agha berjalan mendekat ke arah Humaira. Ia hendak bertanya terkait tawarannya. Gadis itu kan sama sekali tak membalas pesannya. Belum terbaca pula di sana. Ia mana tahu kalau sebenarnya Humaira sudah tahu. Tapi begitu hampir datang, Hanafi muncul dan dengan cerianya duduk di samping perempuan itu. Humaira terkekeh. Jenis kekehan yang bahagia kalau dihampiri orang yang disukai? Ah entah lah. Agha juga tak paham. Yang jelas karena hal itu, ia terpaksa menjauh lagi. Memberi celah untuk mereka berbicara sembari menunggu waktu yang tepat untuk menghampiri. Ia juga tak mungkin kan bertanya disaat ada Hanafi di sana? Akhirnya, Agha berjalan mendekati Bani. Begitu dekat, ia bertos ria. Masayu yang sudah melihat pergerakannya, segera menyusul langkahnya. Cewek itu memanggilnya dari belakang. Agha menoleh. Bani ikut menoleh. "Nih buat lo. Pasti haus tadi kan abis orasi!" tuturnya sembari mengangsurkan sebotol air pada Agha. Agha tersenyum. Ia tak pernah berpikir kalau ini adalah bentuk perhatian Masayu yang berbeda. Selama ini, Agha mengira kalau Masayu memang tipikal orang yang begitu tanpa pernah tahu kalau itu adalah bentuk perhatiannya. "Thanks, Yu." Masayu tersenyum lebar. Bani langsung berdeham kencang. Sengaja menggoda. Masayu melotot dari belakang Agha. Cowok itu terkekeh kecil. Sejak mengenal Masayu, ia paling ngeh kalau gadis itu menyukai Agha. Anehnya, Agha yang sama sekali tak sadar. Kalau yang Bani tangkap, Agha memang benar-benar tak pernah berpikir kalau perempuan-perempuan yang ada di dekatnya tertarik dengannya. Karena fokus Agha memang hanya seputar kuliah dan organisasi. Perempuan? Baginya belum saatnya dan ia sangat konsisten memegang prinsip itu. "Persiapan proposal lo gimana?" Hanafi mulai berbicara serius setelah tadi berbicara tentang demonstrasi dan rencana anak-anak BEM selanjutnya kalau tidak berefek juga pada pemerintah. "Proposal penelitian maksudnya?" Hanafi mengangguk. Cowok itu melihat sisa-sisa saos di sekitar mulut Humaira. Gadis itu menitip siomay pada Saras. Setelah memberikan pesanannya, Saras kabur dengan alasan tak mau menganggu Humaira dan Hanafi. "Masih belum. Baru juga ngurusin izin magang." "Jadi magang Januari nanti?" "Iya." Hanafi mengangguk. Humaira menoleh ke arahnya. Aneh saja dengan pertanyaan Hanafi. "Kenapa?" "Gak apa-apa. Bagus deh." "Aneh," gumamnya yang membuat Hanafi terkekeh. "Gue udah hampir nyelesain penelitian. Skripsi juga tinggal hasil dan pembahasan aja." Humaira mengangguk-angguk. Hanafi memang begitu. Meskipun sibuk berorganisasi, urusan perkuliahan masih dahsyat. Bahkan Humaira dengar kalau ia satu-satunya anak Fisika di angkatan mereka yang sudah mengerjakan penelitian. Yang lain? Ada yang sedang magang dan ada juga yang sibuk dengan proposal penelitian. "Jadi wisuda Febuari?" Hanafi tersenyum kecil. "Insya Allah." Humaira mengangguk-angguk lagi. "Apa rencana lo setelah lulus?" "Kerja?" Hanafi terkekeh mendengar jawaban tak yakin milik Humaira itu. Ia melirik Humaira yang tampak menatap ke depan sana. "Masih kepengen jadi politikus?" "Gak tahu sih." "Lalu?" "Belum ada wacana." "Kalau menikah?" Gadis itu terdiam. Jantungnya bagai berdebam mendengar pertanyaan itu. "Sudah ada rencana?" Humaira menghela nafas. Mencoba mengatur dirinya sendiri. Mencoba bersikap biasa saja dan jangan terlalu terbawa perasaan. Siapa tahu Hanafi memang tak ada maksud dalam menanyakan hal itu. "Belum lah. Masih jauh kali." Hanafi terkekeh. "Kalau begitu, fokus kuliah. Selesaikan tugas lo. Kerja dan bahagiain diri lo sendiri dan juga keluarga. Jodoh akan datang diwaktu yang tepat." Memang benar. Humaira menghela nafas. Ada sesuatu yang entah kenapa membuatnya terasa berat ketika memikirkan hal ini. Tiba-tiba merasa ganjil saja. Tapi ia tak tahu jelas apa yang ia rasakan. "Gue juga akan melakukan hal yang sama, Mai. Fokus mengejar mimpi dan bahagiain orangtua. Akan ada waktunya memperioritaskan jodoh lalu menikah." "Bisa begitu ya?" "Hah?" Humaira berdeham. Tatapannya lurus ke depan. "Kita kan gak pernah tahu jodoh dan maut itu kapan datangnya. Mengejar mimpi dan membahagiakan sih sah-sah saja. Tapi kalau tiba-tiba dipertemukan dengan jodoh di tengah-tengah pengejaran itu gimana? Mau menyangkal? Mau memundurkan waktu pertemuannya? Kan gak bisa." Hanafi tersenyum kecil. Memang benar. "Memangnya lo udah mau menikah?" Humaira menghela nafas panjang. "Ya gak gitu juga, Hanaaaf!" Hanafi terkekeh. "Abisnya, serius amat nanggepinnya." Gadis itu hanya mengerucutkan bibir. Sebal. @@@ Menjelang jam dua siang, suasana memang semakin memanas. Jumlah peserta demo kian bertambah. Bahkan muncul tidak hanya dari kalangan mahasiswa tapi juga anak-anak sekolahan. Beberapa organisasi juga bermunculan. Kebanyakan mereka mengenakan kaos yang sama. Ada juga yang berseragam hitam. Hal yang membuat mata Rangga menyipit. Ia langsung berlari mencari rekan-rekannya yang lain. Terutama penjaga CCTV. Belajar dari pengalaman demo-demo sebelumnya, banyak kelompok asing yang tiba-tiba datang dan menjadi bagian dari demontrans. Padahal sejatinya, urusan mereka bukan untuk mengaspirasi suara rakyat. Tapi justru ingin menghancurkannya. Zakiya yang berdiri di kejauhan, memantau dengan menggunakan teleskop mini yang biasa digunakan untuk emngamati burung-burung yang berterbangan. Tapi hari ini gunakan untuk memantau keadaan sekitar. Sebagai orang yang terbiasa melakukan demo, ia sudah hapal hal-hal semacam ini. Di dalam demo, tidak semua berpartisipasi dengan nurani. Ada juga yang sengaja datang untuk mengacaukan acara agar terlihat seperti keributan yang dibuat oleh para pendemo. Padahal sejatinya, mereka sendiri lah yang memantik. Yang menurunkan hal semacam ini? Hohoho. Ia sudah hapal. Bahkan pelakunya dari kalangan pejabat sendiri, misalnya kepala Mabes Polri. Mereka yang mengerahkan tim demo yang dijuluki sebagai tim demo tandingan untuk memprovokasi massa dan menghancurkan fasilitas publik. Kemudian bermain opini di media massa. Menuding partai yang tidak sepaham sebagai biang kerok padahal mereka sendiri yang menjadi biang keroknya. Banyak pendemo ditangkap dan diancam, kampus diminta ancam mahasiswa agar tidak buka mulut, pemerintah bilang ad ayang sponsori dan provokasi demo. Padahal mereka lah yang sesungguhnya mempermainkan itu. Yang ditangkap? Aktivis yang tak bersalah dan dipilih secara acak. Targetnya bukan anak-anak pendemo yang terkiaht seperti berasal dari keluarga kalangan atas karena itu akan memancing kerumitan yang berbahaya untuk jabatan dan masa depan mereka sendiri. Tapi yang ditargetkan adalah anak-anak yang sekiranya memiliki ekonomi lemah. Mereka cukup melihat dari tampang dan apa yang mereka kenakan. Itu sudah lebih dari cukup. Saras yang tak sengaja melihat gelagat-gelagat aneh dari sekitarnya, spontan berlari dengan panik. Cewek itu juga mengabari rekan-rekan di grup. Namun tujuan utamanya jelas, komando lapangan. Karena itu adalah peran dan juga tugasnya. Jadi ia langsung mencari Dhika. Kemudian berbisik dengan cepat agar mereka tidak lambat bergerak. Agha malah tampak belum sadar. Cowok itu bergerak menghampiri Humaira. Sudah sedari tadi ia menunggu kesempatan tapi ada saja pengganggunya. Tadi Hanafi, lalu Andros pula yang muncul. Itu jelas berbahaya kan? Mana mungkin ia mendekati Humaira yang sedang berada di dekat Andros. Lalu entah siapa lagi orang-orang yang duduk di sekitar Humaira dan mereka mengobrol lama sampai Agha harus terus menunggu dan memantau dari jauh guna mencari celah. "Gha! Gha! Gha! Duh! Duh! Sorry!" Ia tak sengaja menarik kerah alamamater yang dikenakan Agha dari belakang hingga membuat Agha terhuyung-huyung. Masayu meminta maaf atas kelakuannya. Agha menggelengkan kepalanya. Sudah biasa sih dengan kekonyolan ini. "Ada pemberitahuan dari grup. Para ketua BEM pada ngumpul di sana," tuturnya. Agha menghela nafas. Belum juga sampai pada Humaira, adaaa lagi gangguannya. "Penting?" Masayu spontan melotot lalu meminta maaf lagi. Agha terkekeh melihat kelakuan paniknya. Cewek itu memang begitu. Bahkan pernah menangis saking paniknya. Lalu ia berucap pelan. "Ada provokator," tuturnya pelan. Mendengar itu, Agha langsung bergerak. Ia berlari menuju kerumunan ketua BEM yang sudah berkumpul di tangah-tengah kerumunan sana. Para demontrans lain menutupi rapat dadakan mereka. Tak lupa, Agha menghubungi Farrel. Cowok itu pusatnya. Beruntungnya, Farrel memang merespon cepat dan kabar itu tersebar di semua sepupu-sepupunya dan juga tim yang sudah bersiaga. Mereka tahu kalau ini hanya menunggu waktu saja untuk meledak. "Anggota kepolisian semakin bertambah. Ingat di antara kita, tak boleh ada satu pun yang membawa s*****a tajam. Jangan melawan ketika mereka bergerak ke arah kita. Ponsel jangan lupa on camera." Sang komando lapangan memberikan arahan. Suasana memang agak tegang. Tapi kebanyakan pendemo belum tahu. Mereka masih euforia dengan suasana demo yang semakin bertambah. "Amankan teman-teman yang kemungkinan menjadi target!" Itu komando terakhirnya sebelum masing-masing ketua BEM bergerak menuju spot-spot di mana teman-teman satu alamamater mereka berkumpul. Agha bergerak, Masayu juga menyusul langkahnya. Andros bergerak menuju timnya. Cowok itu juga berusaha menghubungi Humaira yang justru masih santai. Ia khawatir dengan gadis itu. Tapi panggilannya justru sibuk karena bertubrukan dengan Rangga yang juga sedang mencari Humaira. Ia juga diincar, begitu pula dengan Humaira yang tadi berorasi di depan sana. Yang sebenarnya membuat Rangga khawatir itu bukan karena Humaira ikut demo tapi aksinya sebagai orator. Pihak kepolisian akan menjadikan hal itu alasan untuk menangkap Humaira. Meski di dalamnya tak ada kata-kata provokasi tapi ia akan dianggap provokator oleh mereka bagaimana pun caranya. Maka itu, Rangga sudah bergerak mengamankan CCTV. Ia juga sudah mencari beberapa temannya untuk mengamankan rekaman semua orang yang berorasi hari ini untuk mematahkan semua tuduhan pihak kepolisian. Mereka itu memang pengayom masyarakat. Seharunya itu tugas mereka. Tapi kenyataannya, mereka justru menangkap mereka, menjadikan mereka tersangka tanpa bukti yang jelas dan benar sehingga orang-orang yang pernah ditangkap ini akan trauma. Itu cara mereka memutus rantai pendemo. Keberaniannya yang dibunuh. Dan bagi mereka, yang penting itu adalah uang dan jabatan mereka aman kalau pemerintah senang. Tanpa perduli nasib rakyat yang tidak berdaya akan kekuasaan mereka. "Agha! Lo harus sembunyi!" Bukan hanya Masayu yang mengatakan itu tapi beberapa temannya dari satu fakultas juga mengatakan itu. Video Agha kan mulai viral. Ia pasti menjadi sasaran. Meski Agha tak yakin. Bukannya Agha terlalu percaya diri, tapi ia paham cara kinerjanya. Dan satu lagi, sekalipun keluarganya tak membeking, ia akan tetap berdiri gagah, menjadi yang terdepan untuk melindungi teman-temannya. Tak heran kalau kata-kata berikutnya malah membuat teman-temannya mematung. "Kalau gue melakukan itu, apa bedanya gue sama pemerintah yang ada di dalam gedung sana, yang bersembunyi di balik gedung dan menelantarkan rakyatnya? Apapun yang terjadi, gue akan tetap di sini dan melindungi kalian semua. Sekalipun gue bukan ketua BEM fakultas lagi tapi gue tetap pemimpin setidaknya untuk diri gue sendiri. Dan menjadi pemimpin itu, melindungi orang-orang yang berada di belakangnya adalah kewajiban utama." Humaira yang mendengar itu langsung menghentikan langkah. Ia melihat wajah Agha yang memerah padam. Mungkin cowok itu merasa kesal akan apa yang teman-temannya lakukan. Meski tujuannya untuk melindunginya. Yaa tujuan mereka memang baik. Humaira juga akan bergerak hal yang sama. Namun ia salut. Karena tak semua pemimpin bergerak seperti itu. Karena ada banyak kasus di mana para pemimpin mungkin seperti hanya mengatakan apa yang ditulis oleh staf ahli yang ada di istana presiden. Lalu dibaca begitu saja oleh presiden. Seharusnya tidak bisa hanya menyalahkan si penulis kalau terjadi sesuatu yang diluar dugaan, seperti kata-kata yang mungkin menyinggung perasaan banyak masyarakat. Meski sudah divalidasi oleh timnya, sebelum membaca, presiden juga harusnya ikut mengoreksi. Karena apa yang keluar dari mulutnya meski hanya sekedar membaca akan menjadi bentuk pertanggungjawabannya di akhirat. Ada juga seperti yang dikatakan Agha tadi. Bersembunyi dibalik tirai alih-alih menghadapi masalahnya. Lalu Humaira melihat Agha pergi begitu saja. Seketika Humaira sadar kalau situasinya mendadak genting. Cewek itu sedang dicari-cari teman-teman sefakultasnya. Saras juga panik meneleponnya. Tapi ia malah santai saja berjalan. Tadi kan ia solat dulu kemudian kembali dan suasana mungkin masih terlihat normal tapi sesungguhnya sudah agak-agak mencekam. Ketenangan yang menghanyutkan. Dan mengingat kata-kata Agha tadi membuatnya kembali berpikir ulang tentang keputusan yang sudah hampir bulat ia ambil. Bukan kah, situasi genting yang dihadapi seseorang dan melihat sikapnya saat menghadapi hal tersebut adalah cerminan kepribadiannya? Karena disaat orang-orang terjepit, sisi aslinya justru tak sengaja ditunjukan. @@@ "Siaga!" tutur Farrel di telepon lalu mematikannya begitu saja. Kalau meladeni adik kembar sablengnya semakin lama, itu hanya akan menghabiskan waktu dan kesabarannya. Ferril justru terkekeh. Cowok itu memang suka berbuat seenaknya. Dimasa-masa panik, ia justru terlihat asyik menggoda beberapa mahasiswi yang melintas. Berhubung ganteng memang sah-sah saja. Sekali buaya memang tetap buaya. Hahaha. Pantas saja Echa tak mau jatuh ke pelukannya. Suasana demonstrasi masih berjalan. Yang berorasi adalah sekawanan cadangan yang memang membaut keadaan seolah-olah masih tenang. Padahal tim inti sudah bergerak mengabarkan kondisi darurat. Agha juga kembali mendekati koordinator BEM seluruh Indonesia untuk memberitahu beberapa tambahan bantuan yang datang dari kenalannya. Ia menyebutnya sebagai kenalan. Karena mereka sedang dalam suasana genting, cowok itu mengangguk-angguk saja lalu bergerak lagi. Hanafi sudah berlari pontang-panting mencari Humaira yang tertelan keramaian berjaket kuning. Ia benar-benar sulit menemukannya karena semua tampak sama. Gadis itu memakai headband merah dengan tulisan yang jelas-jelas menyindir para pejabat yang justru tertawa-tawa di dalam gedung sana. Mereka mana takut didemo. Baru takut kalau Tuhan sudah mencabut nyawa karena tak sempat bertobat. Kegaduhan pertama justru meluncur dari halte Transjakarta terdekat yang mendadak terbakar. Beberapa mahasiswa langsung berlari. Sebagian yang lain justru mendekat. Tentu saja bukan mahasiswa. Mereka mengenakan pakaian hitam bahkan menutupi wajah dengan sempurna. Lebih mirip ninja atau perampok ketimbang mahasiswa yang meskipun mungkin tidak punya nurani, mereka tidak akan mengotori bahkan menghancurkan fasilitas publik dengan berani. Agha yang melihat itu tentu terkejut. Ini di luar dugaannya. Ia mengira, mahasiswa hanya akan diserbu lalu ditangkap beramai-ramai oleh pihak kepolisian. Tapi ternyata mereka menyulut api. Berhubung api membesar, para pihak polisi seolah tersadar padahal mereka sedang memainkan drama. Hingga kemudian bergerak tanpa ampun mengejar para mahasiswa yang ada di sekitar sana. Tim inti, Agha dan keamanan lain langsung mengomandoi teman-teman mereka untuk berlari menjauh dari halte yang terbakar itu. Karena Agha tahu, mereka hanya ingin membuka celah untuk bisa menjadikan ini sebagai alasan untuk berlaku semena-mena. Kegaduhan yang kedua muncul dari teriakan para mahasiswi. Jerit-jeritan itu terdengar karena mereka melihat sendiri bagaimana beringasnya pihak kepolisian menangkap teman-teman mereka dan menghajar mereka yang melawan. Tanpa ampun. Agha justru terperangah sebentar. Karena dibalik keramaian itu, ia bisa melihat salah satu anggota kepolisian sedang berusaha menarik kerudung yang dikenakan oleh perempuan yang sangat ia kenal. Bukan Masayu. Tapi...... Humaira. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD