"Lo harus sering ke sana sih. Biar anak-anak di sana pada kenal lo dan tau lo. Visi dan misi harus unggul dan benar-benar bisa diaplikasikan. Bukan sekedar retorika asal janji."
Agha berdeham-deham mendengarnya dengan serius.
"Intinya begitu. Saran gua, coba cari partner kampus di Depok. Di sana lebih memungkinkan. Kalo di Salemba, lo udah punya bekal, Gha. Sebagai mantan ketua BEM fakultas, suara lo pasti menang banyak di sana."
Agha mengangguk-angguk. Ia mengucapkan banyak terima kasih pada Hamas karena sudah mau direpotkan olehnya semalam ini. Sementara itu, ia mengirim pesan ke grup tim suksesnya. Ia sih sudah punya banyak partner kerja yang resmi menjadi tim suksesnya. Hanya saja, pendapat Hamas benar. Ia perlu membangun imej di kampus UI yang berlokasi di Depok. Sebab, jumlah suara di sana lebih banyak.
Menjelang jam empat pagi, ia baru terbangun. Terburu-buru masuk kamar mandi demi menyempatkan diri solat tahajud. Barangkali masih masuk waktunya. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Tak lama, ia sudah rapi dengan baju kokonya. Biasa, ia hendak solat subuh berjamaah di masjid. Ketika ia keluar dari kamar saja, Umminya sudah mengomel-ngomeli Aidan dan Ali yang susah dibangunkan. Sementara Abinya terlihat sibuk di kamar Adrian. Sepertinya sih, hendak menggendong Adrian untuk ikut solat subuh. Ia dulu juga begitu. Maksudnya, sering dibawa Abinya dalam kondisi tidur ke masjid. Bahkan kadang, bukannya solat, ia malah tidur di sana. Namun ya itu lah proses belajarnya hingga seperti sekarang. Pendidikan semacam itu nyatanya berhasil membangun karakter yang baik juga kebiasaan yang baik untuk hidupnya.
Ia berangkat duluan ke masjid dan bertemu dengan abang sepupunya, Farrel. Ia ingat kalau lelaki itu mendapat giliran untuk jadi muazin subuh kali ini. Usai solat subuh, ia hanya berbicara sebentar dengan Farrel. Lelaki itu bertanya kapan ia akan ke rumah sakit. Pasalnya, sesuai kesepakatan Farrel, Fadlan, Opa dan Abinya, ia hendak dijadikan penerus Fadlan di rumah sakit. Ia yang akan memegang rumah sakit itu secara langsung sementara Farrel akan menjadi direktur luar saja. Karena ia paham sih kalau Farrel memiliki banyak kesibukan lain jadi apa boleh buat, ia sebagai penerus dokter lelaki di keluarga besar ini, harus ikut bertanggung jawab. Kalau Anne? Ah kakak sepupunya itu menolak mentah-mentah ketika ditawarkan posisi direktur bidang. Katanya, ingin fokus dulu dengan koasnya yang akan selesai dalam beberapa bulan. Kalau Agha? Baru memasuki tahun terakhir kuliah. Ia juga ingin bersantai. Tak masalah lulusnya nanti, ia ingin berbuat banyak hal dulu di kampus ini termasuk urusan mencalonkan diri sebagai ketua BEM Universitas. Akademiknya sih biasa saja di kampus. Bukan yang pintar-jenius semacam Farrel. Tapi ia membangun koneksi yang sangat luar biasa.
"Gimana, A'ak?" tanya Akib begitu melihat anaknya turun dari tangga. Agha sudah rapi, hendak ke kampus.
"Apanya, Bi?"
"Yang pencalonan itu."
Kening Airin mengerut. Perempuan itu balik badan. "Pencalonan apa, A'ak?"
"Ketua BEM, Mi."
"Lah? Bukannya udah?"
"Itu fakultas, Mi."
Aaah. Umminya mengangguk-angguk. Ia membalik badan lagi. Paham. Ia kembali fokus dengan masakannya di atas kuali. Untuk urusan semacam itu, ia serahkan secara penuh pada anaknya. Lagi pula, yang hobi hal semacam itu memang hanya Agha yaa dibandingkan dengan Aidan. Aidan sudah masuk kuliah tapi cowok itu lebih suka menjadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah lalu pulang. Aidan lebih suka sibuk dengan dunia bisnis. Lagi pula Aidan kuliah di Yogyakarta. Dan entah kenapa, anak kedua ya ini hampir setiap minggu pulang ke rumah seperti saat ini. Katanya tak ada jadwal kuliah hari ini.
"Sudah sampai mana perhelatannya?"
"A'ak masih harus mengumpulkan orang-orang yang ingin bergabung. Perangkat BEM-nya."
"Itu yang itu-itu, gak kamu ajak?" tanyanya dengan mata mengedip. Airin berdeham kuat-kuat, hal yang membuat kedua lelaki itu tertawa.
"Abiii!" teriak gadis kecil, berusia 12 tahun yang berkacak pinggang di atas tangga. Teriakannya spontan membuat semua mata menoleh. "Gak boleh tauk begitu sama A'ak! Nanti A'ak terperosok dosa!" ucapnya yang sok dewasa. Airin terkekeh setiap mendengar gadis kecilnya itu mengomeli suaminya sendiri. Si bawel dan si centil yang selalu berlagak sok dewasa. Meski omongannya memang ada benarnya.
"Kenapa memangnya, Teh?"
"Iiiish! Pacaran itu dosa tauk, Abiii!" serunya lantas meloncat di tangga terakhir. Agha geleng-geleng kepala.
"Terus bagaimana yang benar?" tanya Akib. Lelaki itu menatap Adel dengan jenaka.
"Yang benar itu, A'ak kuliaaaah!" serunya lantas melompat naik ke atas kursi makan. Tangannya menunjuk-nunjuk Agha yang malah gemas melihat tingkahnya. "Dengar itu A'ak?" tanyanya yang membuat Agha terkekeh.
"Oke, my queen!" tuturnya sembari memberi hormat. Hal yang membuat tawa pagi-pagi begini.
@@@
"Namanya Humaira. Tahun terakhir jurusan Kimia. Dia menjabat sebagai bendahara BEM fakultas sekarang tapi akan selesai sebentar lagi. Selama dia menjabat, uang kas BEM selalu penuh. Acara apapun selalu aman. Dia jago nyari sponsorship dan wirausaha. Ide-idenya anti mainstream dan kreatif abis. Dinilai sebagai bendahara terkece di sepanjang sejarah dunia per-BEM-an kampus. Dan lagi, anaknya cadas sih."
Begitu bocoran dari Bani begitu Agha turun dari mobil. Semalam, sebelum tidur, cowok ini tiba-tiba menelepon dan memintanya datang ke fakultasnya untuk mengenalkannya dengan gadis yang dibicarakannya ini. Tujuannya? Tidak lebih dari sekedar partner untuk menjadi perangkat BEM Universitas nantinya. Tidak ada urusan asmara kecuali kalau Agha tertarik. Ehh!
"Terus?"
"Dia punya public speaking yang bagus. Saat menjadi tim sukses ketua BEM fakultas yang saat ini menjabat, dia adalah orator utama sekaligus penulis skrip dalam setiap pidato ketua BEM saat itu. Dan lagi, satu fakultas tertarik sama dia."
Kening Agha mengerut. "Tertarik?"
Bani berdeham. Ia malah menyenggol lengan Agha dan menunjuk seorang gadis yang duduk sendirian di meja bundar yang ada di tengah-tengah gedung fakultas. Saat Agha menoleh ke mana kode itu terarah, saat itu lah ia......
Aaaaa, tuturnya dalam hati. Langsung paham dengan maksud Bani. Gadis itu bukan tipe cantik seperti Shiren yang Arab tulen meski berdarah Sunda. Gadis itu memiliki wajah yang teduh dan Sunda abis. Benar-benar Sunda dan ketika melihatnya, satu nama artis yang terlintas dibenaknya. Siapa?
Rahasia. Hihihi.
"Maira!" sapa Bani. Ia berjalan terlebih dahulu. Gadis yang namanya dipanggil itu mendongak. Ia menurunkan kacamatanya lantas menatap Bani. "Ini yang kata gue semalem," tuturnya yang membuatnya menoleh pada Agha. Agha tersenyum tipis dan gadis itu hanya membalasnya dengan anggukan. Seketika Agha paham apa yang membuat wajahnya tak seramah artis itu. Apa?
Wajahnya yang jutek. Rasanya sangat-sangat tidak cocok dengan imej wajah cantiknya. Ah tapi omong-omong, Agha tidak datang ke sini untuk membahas wajahnya bukan?
"Agha," tuturnya.
"Humaira," jawabnya lantas menoleh ke arah Bani. Gadis itu seolah memberi kode agar mereka segera memulai pembicaraan karena sejujurnya, ia punya segudang kesibukan.
"Nah, seperti yang gue bilang semalam, Mai. Dia ini calon ketua BEM Univ. Rencananya--"
"Rencananya gue berniat buat ngajak lo gabung sebagai timses gue."
Kening Humaira mengerut. Ia sama sekali tak memprediksi kalau akan ada obrolan seperti ini. Ia pikir hanya sekedar membantu untuk skrip orasi atau semacamnya. Ia tak keberatan kalau melakukan itu. Namun untuk menjabat....
"Kenapa gue?" tanyanya. Wajahnya terlihat seperti gadis judes padahal cantiknya ayu. Bagi yang baru pertama kali melihat seperti Agha, bisa saja salah paham. Dikira tak menyukai padahal memang begitu lah ekspresinya.
"Gue dengar lo masih menjabat sebagai bendahara BEM fakultas. Terus gue juga dengar prestasi-prestasi lo sebagai bendahara ini. Gue berpikir untuk mengajak orang-orang kayak lo ini untuk bergabung bersama gue di BEM Univ."
Maira berdeham. "Ada banyak orang yang lebih baik dari gue untuk posisi itu."
"Tapi tidak semua mendapatkan kesempatan yang sama kayak lo. Coba lo bayangin, ketika lo dianggap mampu untuk mengemban amanah dan pekerjaan ini akan bermanfaat untuk orang banyak, kenapa harus menolak?"
"Ada banyak alasan penolakan dari gue."
Bani mengatupkan mulutnya. Ia sih sudah kenal dengan Maira. Gadis ini susah ditakhlukan. Makanya, ia tidak mau datang sendirian untuk berhadapan dengan Maira. Barangkali dengan membawa Agha, akan lebih mudah begitu. Kebetulan kan, memang calon ketua BEM-nya ini Agha. Dan lagi, dari segi tampang, Agha ini kan ganteng-ganteng teduh begitu. Barangkali Maira agak-agak luluh begitu. Aah tapi ia lupa kalau ukhti yang satu ini sangat lurus prinsip hidupnya.
"Sangat disayangkan kalau menolak untuk sebuah kebaikan. Kalau bisa bermanfaat kenapa harus mundur? Karena kesempatan gak pernah datang dua kali."
"Kesempatan memang jarang yang datang dua kali. Tapi selalu ada tempat untuk melakukan kebaikan. Tidak harus di sebuah lembaga. Sekarang gue tanya, apa visi dan misi lo hingga membawa gue untuk ikut ke dalam ranah ini? Ini bukan hanya persoalan menyebarkan manfaat untuk orang banyak tapi ada tanggung jawab dunia dan akhirat gue juga yang tergantung di sini."
Sadiis! pikir Agha. Baru kali ini ia berhadapan dengan gadis yang mempunyai imej jauh berbeda dari first impression-nya. Ia pikir, gadis ini akan mau-mau saja ketika ia ajak. Mana Bani hanya bercerita sedikit. Ia mana tahu kalau urusannya akan panjang hingga berdebat.
"Survei di Indonesia menunjukan bahwa orang-orang di pemerintahan itu lebih dari 10 persennya tidak amanah. Kenapa hanya 10 persen? Karena itu jumlah koruptor dibandingkan dengan jumlah semua pejabat yang ada di sana. Itu baru yang tertangkap, masih banyak yang belum tertangkap atau bahkan dilindungi. Kesimpulan dari ini adalah susahnya mencari pejabat yang juga amanah dalam memegang janji-janjinya. Dan ketika gue mendengar semua cerita tentang lo dari Bani, gue beranggapan lo menjadi salah satu dari sekian kecil pejabat fakultas yang amanah dan mungkin dicintai rakyat. Dan saat ini, anggap saja kampus ini butuh elo untuk ikut menjadi salah seorang pemimpinnya. Mungkin banyak yang berkemampuan lebih dari elo, tapi pertanyaannya adalah gue belum mendapatkan informasi apapun apakah mereka itu amanah atau tidak. Gue justru mendapatkan info dan itu lebih jelas kalo lo bisa memegang janji dan berkontribusi nyata sehingga gue tertarik untuk meminta lo ikut bergabung."
"Apa visi-misi lo jadi ketua BEM?"
Gadis itu ternyata masih belum puas. Agha berdeham, ia menjawab dengan sangat serius. Kenapa ia sangat serius? Karena memegang jabatan ini bukan lah persoalan yang main-main. Begitu pula yang harusnya tertanam di dalam kepala-kepala para pejabat. Karena apa?
Pertama, janji-janji kampanye mereka itu akan ditagih di akhirat kelak. Kedua, jabatan yang mereka miliki saat ini hanya lah titipan Allah. Ketiga, saat dilantik, mereka disumpah dengan Al-Quran bagi pejabat muslim. Itu pertanda apa? Artinya, itu bukan lah sesuatu yang hanya 'main-main' belaka. Tanggung jawab dunia-akhiratnya akan sangat berat. Terlebih, sekian ratus juta rakyat Indonesia akan menjadi saksi bagi mereka di hari pembalasan nanti. Maka tunggu lah laknatnya jika menjadi pengkhiat.
"Ini di luar dari apa yang ingin gue kejar sebagai ketua BEM. Lo tahu kan, apa tujuan Allah menciptakan manusia?"
Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan lurus. Ia tidak mengira kalau Agha tampak seperti lelaki yang soleh. Bukannya ia menilai buruk sih. Hanya saja, penampilan Agha terlalu kece, pakaiannya bahkan lebih mirip artis yang mau syuting atau jadi bintang iklan. Tidak seperti penampilan anak-anak pesantren yang kuliah di sini. Dan ia mengakui jika ia salah menilai Agha dikala pertama kali bertemu juga pola pikir lelaki itu. Kebanyakan mahasiswa yang menjadi calon perangkat BEM di sini, hanya satu persen dari sekian banyak yang Maira anggap sebagai lelaki yang kece. Kece dalam artian soleh juga punya prinsip politik yang lurus.
"Untuk beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Untuk itu visi-misi gue ingin menjadi ketua BEM. Bagaimana?"
Waaaah. Malah Bani yang terperangah mendengarnya. Lelaki itu ternganga sementara gadis itu memberi reaksi dengan deheman.
@@@