Ningrat Akhirat

2491 Words
"Harus! Wajib! Kamu ini gimana sih? Dibawa menuju kebaikan susahnya minta ampun!" Mamanya mendumel di seberang sana. Shiren sudah pusing kepala mendengarnya. Ia hanya merasa kalau tradisi keluarganya tak masuk akal. Kakak-kakak yang dulu sempat menentang hal semacam ini, kini mendukung. Yeah setelah cinta karena terbiasa pada suaminya. "Tradisi kita ini berbeda sama tradisi orang Indonesia kebanyakan yang bukan orang Arab, Shiren. Kamu harus paham kalau tradisi kita memang begitu. Perempuan Arab ya hanya boleh menikah dengan laki-laki Arab juga. Tujuannya? Ya jagain kemuliaan keluarga lah. Masa kamu gak paham sih?" Shiren justru makin kesal mendengarnya. Kemuliaan? Kemuliaan yang mana maksudnya? Bukan kah semua manusia itu sama dan yang membedakan hanya lah imannya? Bahkan Allah saja tidak membeda-bedakan hamba-Nya mau apapun statusnya. "Kamu jangan ikutin itu orang-orang Arab perempuan yang nikahnya sama bukan Arab. Mereka berbeda tradisi sama keluarga kita. Kalau keluarga kita itu lebih mulia dari pada nasab turunan mereka." Sepupu-sepupunya juga ikut mendukung. Ya ia tahu kalau tak akan ada yang mendukungnya untuk mendobrak tradisi yang turun temurun. Ketika urusannya sudah tradisi, sains secanggih apapun tidak akan mempan. Karena para orangtua lebih percaya dengan apa kata leluhur-leluhurnya. Seperti apa yang pernah Shiren lihat di sekitar rumahnya. Rumahnya besar namun berada di lingkungan yang padat. Para turunan Arab banyak yang tinggal di sana. Beberapa dari mereka masih percaya kalau anak bayi di bawah enam bulan itu harus diberikan makanan tambahan. Karena menurut nenek moyang mereka, ASI itu tidak cukup untuk memenuhi gizi sang anak. Meskipun Shiren sebagai orang yang mempelajari hal itu di kampus sudah mengatakan kalau gizi ASI itu justru sangat cukup untuk mereka. Tapi mereka mana percaya? Malah memutarbalik kenyataan dengan mengatakan kalau Shiren tak tahu apa-apa sebab gadis itu hanya anak yang baru belajar bukan ibu-ibu seperti mereka. Alhasil? Ada kasus anak yang diare gara-gara diberikan makanan tambahan yang mungkin dimasak kurang sehat atau bahkan bermasalah pada ususnya. Kesehatan bayinya malah diabaikan karena tradisi-tradisi semacam ini. Shiren menghormatinya. Namun ada kalanya harus ditelaah lebih dalam lagi terkait tradisi itu sendiri. Apakah akan memberi dampak positif atau justru sebaliknya. Lalu kembali lagi pada dumelan ibunya yang berkepanjangan. Shiren tak mau menikah muda, itu pertama. Kedua, ia tak mau dijodohkan dengan lelaki turunan Arab itu. Ia tak suka. Karena siapapun tahu kalau hatinya sudah terisi dengan siapa. Namun ia tak bisa melakukan apapun. Ingin meminta kepastian pada Agha lalu sama-sama berjuang mendobrak tradisi di dalam keluarganya. Meski tampak mustahil. Karena Shiren tahu benar, kakaknya sudah mencoba, beberapa sepupunya juga sudah mencoba. Tapi keluarga mereka sangat keras. Dari pada tak dianggap lagi dari bagian keluarga seperti apa yang terjadi pada kakak dari temannya. "Kita ini punya silsilah dari Rasulullah. Itu yang membuat kita ini lebih mulia, Shiren. Jadi kalau perempuan Arab sampai menikah dengan non Arab maka terputuslah silsilah itu dan itu akan menjadi bencana bagi keluarga kita. Kalau sampai terputus silsilahnya makan akan terputus pula ikatan kekeluargaan kita dan kita akan terpinggirkan dari lingkaran di kalangan komunitas keluarga Arab kita, Ren. Kamu mau keluarga kita seperti itu gara-gara kamu?" Retno yang mendengar suara itu meringis sendiri di depan kamar Shiren. Shiren mungkin malas mendengarnya ditelinga jadi sengaja di speaker lalu gadis itu berkemul di bawah selimut. Kesal tapi tak berdaya melawan. Baginya, semua hal itu hanya terasa tak masuk akal. Karena yaa menurutnya semua manusia itu satu turunan nabi. Nabi siapa? Ya Nabi Adam. Lantas di mana istimewanya kalau semua manusia yang pernah hidup di bumi adalah turunan Nabi Adam? "Mau tidak mau dan suka tidak suka, itu lah yang kita hadapi Shiren," kali ini kakaknya yang bersuara. "Budaya inilah yang masih sangat dipegang oleh sebagian besar keluarga Arab di Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran orang tua Arab akan memperjuangkan tradisi tersebut dan menentang dengan keras putrinya yang akan memilih laki-laki non Arab. Kamu tahu sendiri kan gimana kakak dulu? Akhirnya tetep bahagia kok nikah dengan sesama turunan Arab." Pada budaya patriarki, budaya yang dibangun di atas dasar struktur d******i dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki di mana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma, garis ketutunan akan diikutkan pada suami, laki-laki. Anak-anak yang lahir dari pasangan keluarga akan dilihat siapa ayahnya, garis keturunan ibu seringkali tidak menjadi pertimbangan. Upaya untuk mendobrak tradisi ini sesungguhnya sudah dilakukan Islam melalui Nabi Muhammad. Sejak zaman nabi, biasanya orang menikah dengan mempertimbangkan empat faktor tersebut, kekayaan, keturunan, kecantikan atau kegantengan dan faktor agama. Islam menegaskan bahwa faktor agamanya yang akan membuat keluarga bahagia. Karena harta, keturunan, dan kecantikan dan kegantengan itu akan pudar dan bahkan hilang. Tapi beberapa turunan keluarga Arab dengan marga tertentu masih menganut faktor nasab sebagai faktor yang paling utama. "Dulu juga pernah ada yang mau mendobrak tradisi Arab kita ini. Dilakukan juga oleh perempuan Arab. Kakak juga sempat mempelajarinya dengan harapan bisa bebas memilih dengan siapa kakak menikah dan dengan siapa kakak ingin menjalani kehidupan kakak. Tidak terkekang keluarga ataupun tradisi. Perempuan itu bersikukuh menikahi laki-laki jawa. Dia juga sama dari satu garis keturunan dengan kita. Kita jni dianggap sebagai perempuan yang dianugerahi kemuliaan jadi harus serba hati-hati dalam bertingkah laku dan bergaul. Karena yaaa ketika kita sudah dewasa seperti ini kita harus nikah dengan laki-laki yang bernasab sama. Jika tidak, maka nasab mulia kita ini tak kan bisa dinikmati oleh anak-anak kita. Si perempuan Arab itu juga nulis kata-kata itu dalam sebuah tulisan. Nasab akan hilang karena garis keluarga dirunut dari pihak ayah dan suami. Kehilangan nasab ke Nabi Muhammad merupakan satu hal yang merugikan sekali. Karena kuturunan Nabi dipercaya sebagai ningrat dunia akhirat. Iya kan?" "Jadi bukan hanya Jawa yang ningrat begitu," gumam Retno. Sebagai orang keturunan keraton Yogyakarta, ia juga masih terhitung berdarah ningrat. Sebelum nama Retno ada Raden Ajeng, gelar yang memang biasa disematkan pada keturunan keraton dari kecil hingga dewasa atau sebelum menikah. Kalau sudah menikah akan menjadi Raden Ayu. Retno justru merasa berat dengan gelar semacam ini. Karena harus dihormati dan ia tidak suka. Jadi selama di kampus ini, tidak ada satu pun yang tahu kalau ia masih turunan keraton Yogyakarta. Biar lah itu menjadi rahasia hidupnya. Ia lelah hidup diistimewakan. Dalam perjalanan menuju kampus, Retno yang penasaran dengan silsilah dalam keluarga turunan Arab di Indonesia pun akhirnya bertanya terkait hal itu. Shiren menghela nafas lalu menjelaskannya. "Struktur masyarakat Arab masa itu terdiri atas sayid, syekh, qabili, dan masakin. Sayid menempati lapisan paling atas. Mereka mengklaim keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya, Husein. Sebagai keturunan Nabi, mereka menempati kedudukan istimewa secara sosial keagamaan. Sayid sebagai keturunan Nabi sangat dimuliakan, bahkan dianggap suci. Orang harus mencium tangan sayid. Makam mereka diziarahi. Anak perempuan seorang sayid tak boleh menikah dengan lelaki bukan sayid. Akan tetapi, laki-laki keturunan sayid boleh menikahi perempuan bukan keturunan sayid." "Pantesan lo nyebut sayid-sayid kemarin." Shiren mengangguk. Ia lelah dengan hal semacam ini sebetulnya. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya bisa terperangkap. "Lo belum ngomong sama Agha?" Ia menggeleng. "Dia sibuk kayaknya. Biasa lah abis demo." "Tau deh. Giliran gue lagi butuh gini malah gak ada." Retno terkekeh. Mau bagaimana lagi? @@@ Sejak usai demo, Agha memang sibuk. Bahkan hari ini akan ikut bertemu rektor. Seperti yang dikabarkan oleh ketua BEM universitas. Agha memberesi barang-barangnya. Baru keluar dari ruangan BEM, ia melihat Shiren dari kejauhan. Baru teringat pula kalau ia perlu berbicara dengan gadis itu sejak kemarin. Kemarin ia lupa karena kedatangan Masayu yang langsung mengajaknya menuju ruang BEM. Lalu sibuk lahi hingga malam. Jadi saat melihatnya, ia langsung memanggil. Shiren sadar kalau dipanggil. Tapi berhubung sudah terlanjur jengkel, akhirnya ia abaikan saja. Ia lebih memilih masuk ke dalam kelas alih-alih meladeni Agha. "Shiren!" panggilnya lagi. Ia berjalan menuju kelas Shiren tapi saat tiba di pintunya, ternyata sudah ada dosen di dalam sana. Ia mengirimi Shiren pesan untuk menelepon nanti kalau memang Shiren mau berbicara sementara Agha juga perlu menghadiri kelas sekarang. Usai solat Zuhur dan kuliahnya berakhir, ia segera berangkat menuju kampus UI di Depok karena rektor ada di sana. Rencananya ia akan bertemu di lobi gedung rektorat bersama anak-anak BEM untuk kemudian masuk bersama ke ruang dapat bersama rektor hari ini. Agha berangkat sendirian. Sembari menyetir, ia menghubungi Humaira. Gadis itu kan belum menjawab tawarannya sama sekali. Sementara ia mengejar target waktu. Masayu juga sedang mencari wakil ketua BEM lain dari kampus UI Depok bersama Bani. Mereka mencari yang sepadan dengan Andros. Yang juga tahu seluk-beluk kampus Depok. "Eh-oh," Humaira terkaget. Cewek itu tidak ke kampus hari ini. Karena memang tidak ada jadwal kuliah. Dan lagi, ia sedang malas karena ingin beristirahat. Tubuhnya pasti masih pegal gara-gara urusan demo. Kemarin kan harus masuk karena memang ada kuliah. Lalu saat bersantai ria seperti ini, tiba-tiba ditelepon Agha. Ia tak tahu kalau Agha yang menelepon dan malah main angkat begitu saja. "Assalamualaikum?" Agha tersenyum tipis. "Waalaikumsalam. Gimana kabarnya Humaira?" Rasanya aneh mendengar suara Agha. Mungkin karena masih asing baginya. Agha kan bukan Hanafi atau Andros yang sudah lama mengenalnya. Kalau mendengar suara klakson mobil yang tertangkap ke telinga Humaira, ia yakin kalau Agha sedang berada di jalan sekarang. Mungkin dalam perjalanan, pikirnya. "Ooh baik, alhamdulillah. Eung...mau nanyain soal itu ya?" Agha berdeham lantas mengiyakan. Maksudnya memang itu. Ia kan sudah lama menghubungi. Sejak sehari sebelum demo itu tapi Humaira tak membalas. Barangkali masih bimbang atau ingin menyampaikan secara langsung? Entah lah. Agha tak punya firasat apapun. "Eung...." "Masih bimbang?" Humaira berdeham. Ia bersyukur kalau Agha menyadari kebimbangannya. Ia memang masih bimbang. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan ulang. Termasuk sikap Agha disaat demo dan orasi lelaki itu. Tak urung, ia merasa goyah meski belum yakin-yakin amat. Karena penilaiannya bisa saja salah kan? Dan ia tak mau menyesalinya. Makanya harus dipikirkan dengan benar-benar matang. "Kalau masih bimbang, gak apa-apa." Humaira berterima kasih akan hal itu. Pengertian juga, pikirnya. Tak memaksa kalau ia harus terburu-buru memberikan jawaban. Agha paham betul makanya ia tak mau memburu. Untuk bisa menarik Humaira masuk ke dalam timnya pasti tak mudah. Cewek itu harus berhadapan dengan sahabatnya sendiri. Sementara Hanafi? Semalam Agha sudah mendapat kabar darinya. Cowok itu mengiyakan tawarannya. Tapi seperti apa yang dikatakan Hanafi sebelumnya, ia hanya bisa membantu Agha sampai masa pemilihan. Urusan BEM, ia tidak bisa lagi bergabung. Karena cowok itu tentu akan segera menyelesaikan kuliahnya. Ia menjadi lulusan tercepat di jurusannya. "Eung...kalau bertemu hari ini bisa? Gue mau minta bantuan untuk beberapa hal." Oh. Humaira terkaget. Cewek itu beranjak dari baringnya. Ia bahkan belum mandi dari lagi saking malasnya. Toh hanya ada Bi Inah ini di rumah. "Gue mau ke kampus Depok sih ini. Jadi sekalian gitu ke fakultas lo. Gimana?" Humaira menggigit bibirnya. "Gimana ya?" ia galau. Gue gak lagi di kampus." "Ooh. Lo ada kerjaan di luar?" "Lagi gak ada kuliah di kampus," tuturnya dengan cengiran. Agha mengangguk-angguk. "Berarti gak bisa ya?" "Emangnya ada urusan apa?" "Mau minta bantuan soal proker sih. Lo pasti tahu banyak soal proker BEM kan?" Humaira berdeham. Memang benar. Tapi ia sedang malas sekali hari ini. Ingin istirahat saja. "Kalau sekedar ngoreksi atau semacamnya, boleh sih. Tapi nanti aja kalau gue beneran gabung dengan tim lo. Gimana pun kan, gue hitungannya masih orang luar." Agha mengangguk-angguk. Benar juga. Gadis ini tahu kok keprofesionalitas dalam bekerja. Meski ia bisa saja memanfaatkan ini untuk mencuri proker Agha dan memberitahu Andros. Namun ia tak mau melakukan hal semacam itu. Untuk apa berbuat curang? "Oke," lalu Agha berdeham. "Kira-kira kapan bisa ngasih jawaban?" Ia harus meminta kepastian kan? Bagaimana pun ia tak punya waktu banyak sampai batas akhir pendaftaran. Timnya belum begitu lengkap. Apalagi posisi inti malah belum ada yang mengisi. Masayu dan Bani masih jumpalitan mencari calon wakil yang berpotensi untuk Agha. "Eung....insya Allah....," Humaira melirik kalender yang tertempel di dinding. "Sebelum Jumat depan deh." Setidaknya Agha akan punya waktu sepuluh haris belum batas pendaftaran kalau Humaira sudah mengisyaratkan akan bergabung. Agha mengiyakan. Ia mengucapkan terima kasih kaku pamit dan menutup teleponnya. Selanjutnya, ia mencoba menghubungi Amri. Bagaimana pun, cowok itu harus di-follow up kan? Namun tidak diangkat. Amri sengaja membiarkannya. Laku ia menghela nafas. Sejak orasi itu, ia terus mencari informasi dengan Agha. Lalu ketika mengisi kelas belajar hari ini dengan anak-anak di sini, ia tiba-tiba berpikir tentang sesuatu. Belajar dari ayahnya, ia tak mau dibodohi politikus d***u semacam itu. Apalagi sampai memegang jabatan penting. Jadi Amri benar-benar mencari informasi tentang Agha. Posisi sebagai ketua BEM Fakultas Kedokteran tentu saja sudah dipegang. Posisi sebagai beberapa ketua organisasi lain di kampus juga sudah pernah dipegang Agha. Amri juga mendapat rumor kalau cowok itu anak konglomerat. Mendengar orasinya kemarin, tampak berbeda dari orasi-orasi politikus busuk yang sudah ia hapal di luar kepala. Tapi ia tentu tak mau tertipu. Jadi ia perlu penelitian lebih dalam lagi sekaligus mengatur rencana kalau memang bersedia menjadi wakilnya. Meski sesungguhnya, Amri juga tak yakin. Ia tak punya dasar kepimpinan organisasi. Ia hanya memiliki rumah belajar sebagai tanahnya untuk memimpin dan jelas ini bukan organisasi. Ia tak menyebut dirinya sebagai founder atau CEO dari rumah belajar ini. Ia lebih suka menyebutnya sebagai pemilik. "Yo, kamu punya ide bagus untuk membuat suatu proyek di kalangan universitas?" Ia mencoba mendiskusikan sesuatu dengan salah satu anak asuhannya yang cerdas. Hanya saja, kurang beruntung secara ekonomi. @@@ Usai rapat BEM, Agha keluar dari ruangan. Mereka membicarakan soal dapat dengan rektor kemarin. Rektor hanya perlu laporan secara langsung saja dari mereka. Berbeda dengan rektor setahun lalu yang memimpin mereka, rektor mereka kali ini ikut mengapresiasi tindakan mereka meski secara senyap. Ia memilih untuk main aman dari pada secara terang menaruh keberpihakannya kepada rakyat. Agha mengambil hal itu sebagai bentuk perlindungan diri agar bisa menjabat. Tujuannya? Biar kebaikan itu sendiri tak terhalang. Bagus juga sih. Meski mungkin orang lain akan melihatnya sebagai bentuk ketidak-konsitenan. "Ren!" Ia kembali memanggil gadis itu. Shiren baru saja duduk di bangku. Retno langsung menyingkir. Sengaja memberi ruang. Shiren menghela nafas. Ia menunduk ketika Agha ikut duduk di dekatnya. "Mau ngomong apa?" tanyanya. Ia juga memesan makanan dan makan bersama Shiren yang sedang menyantap bakso. "Retno juga bilang kalau penting banget. Soal apa?" Shiren masih diam. Efek jengkel selama berhari-hari. Karena Agha terlalu sibuk dengan urusan lain dna cowok itu tak sadar. Ya maklum lah, Agha akan sibuk dengan hal-hal yang menurutnya menjadi prioritas. Yang tak penting lainnya terpaksa disingkirkan dulu. Termasuk urusan perasaan. Yeah, ia kan sangat sibuk. Lalu nanti akan sibuk penelitian disambung koas. Ia juga akan mulai diharapkan dengan tugas di rumah sakit milik Om-nya. Meski setiap liburan kampus, ia sudah mengabdi di sana. Mulai mempelajari seluk-beluk dan bersiap mengambil S2 usai koas untuk memenuhi kajian mutu rumah sakit. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum ia memegang jabatan direktur rumah sakit untuk menggantikan Om-nya. Konsentrasinya dan fokusnya memang hanya itu untuk sekarang. "Ren?" Ia menegurnya lagi. Shiren menghela nafas. Tahu kalau Agha tak peka dengan apa yang dialaminya. Gadis itu masih menunduk dan menghindari tatapan Agha. Ia tak bisa menebak apa yang mungkin dipikirkan Agha setelah mendengar kata-katanya ini. "Kamu masih punya perasaan sama aku?" Agha tak jadi memasukan bola baksonya ke dalam mulutnya. Matanya melebar lantas menatap Shiren yang semakin dalam menunduk. Malu. "Aku pengen tahu," tambahnya. Ia kan tak pernah menanyakan hal semacam ini sebelumnya. Agha malah tersedak mendengarnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD