Bab 35

1048 Words
"Kamu ini memang bodoh atau pura-pura bodoh? Kamu memang tidak punya salah padaku hanya saja aku tidak menyukaimu. Dan tak akan pernah bisa menyukaimu. Kamu ini seperti benalu. Menyusahkan orang saja. Tidakkah kamu sadar diri? Kamu tidak pernah diharapkan di keluarga ini. Aku dan Rachel membencimu, sangat membencimu." Ucapan pemuda tampan itu tajam dan menusuk hati. Tanpa terasa air mata mengalir di wajah gadis itu. Ternyata selama ini dia tidak pernah diharapkan di keluarga itu. Ternyata usahanya agar disukai Raditya dan Rachel percuma saja. Mereka berdua begitu membencinya. Dan sepertinya kebencian itu sudah mengakar, tidak bisa diubah lagi. Minah sadar diri, memang dirinya selama ini sudah menyusahkan keluarga itu. Hanya bisa membuat orang lain membencinya. Kini ia harus membuat keputusan untuk pergi, karena ia tak pernah diharapkan lagi. Dan kebetulan Rasti dan Dimas sedang tidak ada di rumah. Ini kesempatan yang bagus untuknya pergi dan tidak lagi menyusahkan orang yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Minah segera pergi membawa tas berisi pakaiannya menembus hujan. Mengabaikan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Mengabaikan rasa lelahnya karena berlari kecil dari minimarket. Walau sebenarnya, Ia tak rela meninggalkan orang-orang yang sangat ia sayangi. Sedih bila mengingat kebaikan Rasti dan Dimas padanya. Tapi ia tak ingin membuat keluarga itu hancur karenanya. Ia lebih baik pergi dan berhenti menjadi beban Rasti. Flashback on "Alah, kalau kamu cepat tidak akan sampai kehujanan. Kemarikan tasmu." Minah menyerahkan tasnya pada Raditya. "Ini uangnya. Cepat belikan, aku haus." Raditya menerima tas Minah dan melihat Minah yang berjalan semakin menjauh. Ia segera duduk di kursi teras dan membuka isi tas Minah. Hanya ada buku pelajaran, sebuah dompet lusuh dan ponsel pemberian mamanya. Raditya membuka dompet Minah tanpa ragu. Dan rahang Raditya mengeras ketika melihat foto Minah yang dirangkul oleh Andra, sahabatnya. Dengan kesal ia mengembalikan dompet Minah. Tak cukup hanya dengan memeriksa isi dompet Minah, Raditya tanpa izin membuka ponsel Minah. Ketika kunci dibuka, foto Andra yang digunakan sebagai wallpaper mengisi tampilan ponsel Minah. Raditya marah, hampir saja ia membanting ponsel gadis itu. Kini ia beralih ke aplikasi w******p gadis itu ia membuka chat yang hanya ada beberapa. Darinya, Rachel, mamanya dan dari Andra tentunya. Ia membuka pesan dari Andra dengan lancang. Andra : Yas, aku mencintaimu. Mari kita menikah setelah lulus SMA. Minah : Kakak bisa bercanda ya. Kita masih terlalu muda untuk menikah. Andra : Tidak aku serius Yas. Aku tidak mempermasalahkannya, asal kamu selalu bersamaku. Kita bisa kuliah setelah menikah. Aku tidak akan membatasimu. Minah : Apa Kak Andra yakin ingin menikahi gadis kampungan seperti aku? Andra : Yakin karena aku mencintaimu Yas. Dan aku tambah yakin karena kamu adalah gadis yang baik dan setia. Minah : Baiklah, Minah ikut Kak Andra saja. Tapi tunggu aku lulus dulu. Dan tunggu sampai kita juga sudah cukup umur. Andra : Aku setuju Yas. Aku sangat mencintaimu. Minah : Minah juga sangat mencintai Kak Andra. Entah mengapa Raditya marah membaca pesan Andra dan Minah. Padahal tak ada yang aneh. Mereka sepasang kekasih, jadi wajar jika mereka berencana untuk menikah. Dan mengapa dia harus sensi sendiri. Minah bukan siapa-siapanya. Harusnya ia lega, karena dengan begitu Shena tak akan lagi mendekati sahabatnya. Dan Wanita yang ia cintai Shena, bukan Minah. Begitu pikir Raditya. Ia melempar ponsel Minah ke dalam tas dan menutupnya seperti semula. Dengan emosi dia masuk ke kamar gadis itu dan mengemas barang-barang Minah ke dalam tas tenteng miliknya. Ia tak ingin Minah ada di rumahnya lagi. Dan lelaki itu menunggu di depan pintu dengan gelisah. Memikirkan langkah yang ia ambil sudah benar atau belum. Tapi emosi yang menguasai kepalanya menang. Ketika ia mengingat foto mesra Minah dan Andra kepalanya memanas. Sepuluh menit kemudian gadis itu datang dengan tergesa. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Bibirnya membiru karena kedinginan. Raditya menjadi tak tega. Tapi lagi-lagi kemarahan membuat ia bersikap kejam. Flashback off "Stop! Berdiri di situ. Jangan mengotori lantai rumah kami." "Tapi Minah kedinginan Dit." "Itu bukan urusanku. Dengar baik-baik. Aku minta kamu meninggalkan rumah ini sekarang juga. Ini barang-barangmu." Raditya menendang tas tenteng itu dengan kasar. "Bisakah aku menumpang untuk malam ini saja? Aku janji besok pagi aku akan pergi dari rumah kamu." "Tidak ada tawar-menawar. Memangnya kamu siapa? Hah?" Pembicaraan berlanjut. Berbagai perkataan kasar Raditya lontarkan pada Minah. Dalam hati kecil Raditya ada perasaan aneh. Sakit dan sedih ketika mengucapkannya. Namun ia berkeras hati untuk mengusir Minah. Sumber masalah di keluarga itu. Tak lama Minah menyerah dan pergi dari rumah itu. Raditya menatap punggung kecil itu berjalan menjauh dalam hujan. Ada rasa bersalah melihat gadis itu pergi dalam kondisi seperti itu. "Argh, rasanya aku sudah gila. Jangan pikirkan Dit. Itu bukan urusanku." Raditya menepuk kepalanya yang masih kepikiran wajah memelas Minah. "Apa aku keterlaluan? Bagaimana jika terjadi hal yang buruk padanya? Ini sudah malam, jam sembilan malam jalanab sudah cukup sepi. Lagi pula tubuhnya basah, pasti ia kedinginan. Ah, tidak. Aku tidak keterlaluan. Gadis itu bisa saja kan ke rumah Andra. Dan dia bisa bersama dengan kekasihnya itu. Ah, lebih baik aku masuk ke dalam daripada aku semakin berpikir yang bukan-bukan." Raditya bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa ia menutup pintu dan menguncinya. "Chel, buka pintunya!" panggil Raditya seraya mengetuk pintu kamar yang dihias dengan berbagai ornamen berwarna pink itu. Namun penghuni kamar diam tak bergeming. Seolah kamar itu kosong, tak berpenghuni. "Chel, keluar. Atau aku akan menelepon Mama." Ceklek. Ancaman Raditya berhasil. Dengan wajah bantal dan masih sembab gadis itu keluar dari kamarnya. Tanpa permisi Raditya masuk ke dalam kamar yang bahkan selama ini tidak pernah ia kunjungi. "Apa sih Kak? Duduk di sofa. Jangan di ranjang Rachel," ucap gadis itu ketika melihat kakaknya duduk di atas ranjang. Rachel tak suka siapa pun menyentuh barang-barangnya. "Berisik. Duduk sini." Dengan bibir yang mengerucut kesal Rachel duduk di samping Raditya. "Kenapa menangis begitu? Apa yang udik itu lalukan padamu?" "Tidak, tidak ada apa-apa," elak Rachel. "Mulai sekarang jangan menangis lagi. Karena sumber masalah di rumah ini sudah tidak ada." "Maksud Kakak?" Rachel mengernyitkan keningnya. "Minah sudah pergi. Kakak tidak akan membiarkan dia menyakitimu. Kakak sudah mengusirnya." "Apa?" Rachel terkejut. Tak menyangka jika Raditya benar-benar tega mengusir Minah. Ada perasaan bersalah dalam hati Rachel, mengingat apa yang sudah gadis itu lakukan untuknya siang tadi. "Sebenarnya, Rachel menangis juga bukan karena Minah kok kak. Lagian Minah tadi siang yang membantu Rachel." "Apa??"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD