Bab 19

1025 Words
Bel berbunyi tiga kali tanda pelajaran sudah usai. Semua murid bersorak gembira. Akhirnya kegiatan yang menyiksa otak mereka hampir seharian telah berakhir. Namun, lain halnya dengan Minah. Ia sangat malas untuk melakukan tugasnya yang terakhir dari Raditya. Ia harus ikut Raditya latihan bola basket. Tentu saja bukan untuk main dengannya. Tapi untuk menjadi pesuruhnya lagi. Juga menjadi bahan tertawaan Raditya dan kawan-kawan. Dengan lemas Minah mengemas isi tasnya. Hingga seketika ia ingat pada Rachel. Gadis itu sudah menyandang tasnya dan akan beranjak pergi. "Chel! Tunggu!" Bukan hanya Rachel semua orang di kelas itu menatapnya. Pasti setelah ini Rachel murka padanya. Biarlah, ia harus mengatakan pada Rachel jika ia tak dapat pulang dengannya. Minah segera berlari ke arah Rachel. "Chel, aku ingin bicara sebentar." Rachel memelototkan matanya dengan tak suka. Tanpa kata ia menarik pergelangan Minah dengan kasar dan membawanya ke sudut belakang ruang kelas. "Apa sih? Sudah dibilang jangan sok akrab." "Chel, ini penting. Sebentar saja. Aku cuma mau bilang kalau aku nggak bisa pulang bareng kamu. Karena Raditya meminta aku untuk latihan basket dengannya." "Alasan saja. Mau kencan dengan Kak Andra ya?" tuduh Rachel. "Nggak Chel. Sumpah. Aku harus menjadi pesuruh Radit sampai hari ini berakhir. Tolong kamu carikan alasan yang logis jika Tante Rasti bertanya," pinta Minah. "Ya sudah. Apa peduliku. Terserah kamu mau pulang apa nggak. Masa bodo." Rachel mengabaikan Minah dan segera keluar kelas. Minah mengelus dadanya agar tetap sabar. Semua serba salah untuknya, jika ia tidak bilang pada Rachel untuk tak perlu menunggunya. Gadis itu akan marah karena menunggu terlalu lama. Dan sekarang ia mengajak Rachel bicara, gadis itu pun marah. Ah, biarlah Minah tak mau ambil pusing. Yang terpenting adalah hari ini ia harus mengerjakan perintah Raditya agar lelaki itu puas. Jika ia melawan, salah-salah Raditya akan lebih bersikap buruk padanya. Memberikan pekerjaan yang semakin menyulitkan dirinya. Jadi Minah memutuskan untuk mengalah dan bersabar. Drtt drtt Ponsel Minah yang Rasti belikan tiga hari yang lalu bergetar mengejutkan Minah yang melanjutkan kegiatannya mengemas buku. Ia segera membuka ponselnya dan terdapat tujuh panggilan tak terjawab dari Raditya. Dan sekali lagi ponselnya bergetar. Minah langsung mengangkatnya. "Hei udik! Kamu ada di mana? Cepat ke lapangan basket." Suara tak sabar Raditya terdengar di seberang sana. "Iya Dit. Aku baru mengemas tas. Tadi baru pamitan sama Rachel. Agar ia tak perlu menungguku." "Ya sudah cepat. Lima menit. Jika lebih siap-siap saja tambah satu minggu." "Ah iya Dit. Siap." Minah gelagapan karena Raditya memberinya batasan waktu. Minah memasukkan buku-bukunya dengan tergesa. Ia segera berlari dengan kencang menuju lapangan basket. Ia tahu Raditya tidak bercanda. Ia harap ia bisa datang tepat waktu. "Hah, hah, hah." Minah membungkukkan badan sambil memegangi lututnya yang serasa lepas dengan napas yang tak beraturan. "Empat menit lebih empat puluh sembilan detik. Bagus." Raditya memeriksa stopwatch di jam tangannya. Ia menatap Minah yang kelelahan dengan puas. "Cepat kamu bereskan bola-bola yang berserakan itu." "Sebentar ya Dit. Aku ambil napas dulu." "Sekarang!" bentak Raditya tak mau dilawan. "Iya iya." Dengan lemas Minah mengelilingi lapangan dan memunguti bola-bola yang berserakan. Tak ada semangat, karena ia sangat lapar dan haus. Andra yang semula melakukan pemanasan mendekat ke arah Minah. Dia menepuk bahu gadis itu perlahan. "Semangat ya Minah," ucapnya tersenyum. "Makasih ya Kak." Minah membalas dengan senyuman juga. Andra mengambil beberapa bola basket dan memasukkan ke dalam troli Minah. "Sudah, Kakak latihan saja. Minah bisa bereskan sendiri." Andra mengangguk dan tersenyum kembali. Minah merasa hatinya disiram dengan air es, begitu nyaman dan sejuk melihat senyuman Andra. Hingga Andra kembali melakukan pemanasan, ia senyum-senyum sendiri. "Hei Minah kampung. Jangan senyum-senyum melulu. Kerjakan dengan benar. Nggak usah kegenitan. Andra tak mungkin menyukai cewek seperti kamu." Ucapan Raditya membuyarkan lamunan Minah. Senyum Minah hilang seketika. Setelah berkata pedas, Raditya membalikkan badan ingin kembali ke anggota tim yang lain yang sudah datang. Minah yang geram mengangkat sebuah bola dan seakan-akan ingin melemparkannya ke kepala Raditya. Tingkah polah Minah mengundang tawa anggota timnya. Raditya bingung dan membalikkan badan melihat Minah yang takut ketahuan, cengar-cengir meletakkan bola ke dalam troli. Sepuluh menit kemudian pekerjaan Minah sudah tuntas. Ia menyeka keringatnya yang membasahi kening dan mengalir ke pipinya. Hingga Raditya menghampirinya untuk membuat Minah kesusahan. "Belikan minum!" perintah Raditya menyerahkan selembar uang seratus ribuan berwarna merah kepada Minah. "Bentar Dit. Lima menit saja aku istirahat." "Se-ka-rang! Cepat atau aku tambah seminggu lagi." Lagi-lagi ancaman itu yang keluar dari mulut Raditya. "Huh, hanya tahu mengancam," gerutu Minah setengah berbisik. "Kamu mengutukku?" tanya Raditya ketika melihat mulut Minah komat-kamit. "Tidak Dit. Aku hanya mengeluh capek. Apa saja yang harus aku beli?" tanya Minah. "Enam botol air mineral dingin. Juga satu pocare swet untukku." "Itu saja?" Minah memastikan jika ia tak salah membeli. "Iya. Cerewet! Pergi sana!" Raditya mendorong bahu Minah hingga gadis itu hampir terjungkal. Andra hampir saja ingin menolong Minah. Sebelum ia berpikir lagi jika sampai ia menolong Minah, Raditya tak akan berhenti untuk mengerjai gadis itu. Lima menit kemudian Minah sudah kembali dengan kantong plastik berisi air mineral di tangannya. "Ini Dit." Minah menyerahkan kantong plastik berisi minuman kepada Raditya. Tanpa mengucapkan terima kasih Raditya menerima kantong plastik dari Minah. "Kamu boleh duduk. Tunggu aku selesai latihan kita pulang." Raditya meninggalkan Minah dan memberikan minuman kepada teman-temannya yang lain. Setelah mereka minum, latihan pun dilanjutkan. Minah memainkan ponselnya dengan tenang. Angin semilir berhembus mengusir keringat Minah yang tadinya membanjir. Gadis itu memutuskan untuk berbaring di lantai. Toh lantainya bersih, begitu pikirnya. Lama-kelamaan Minah kebosanan dan tertidur di tepi lapangan yang teduh. Kebetulan Andra sedang minum dan melihatnya. Andra mengambil jaketnya yang tergeletak di sebuah bangku tepi lapangan. Ia menghampiri Minah dan menggulung jaketnya. Andra meletakkannya di bawah kepala Minah dengan perlahan. Berharap dengan jaketnya, leher gadis itu tak akan terlalu sakit. Perbuatan Andra menarik perhatian semua teman-temannya. Namun ia tak peduli. "Kasihan kamu Minah. Pasti kamu kesusahan dan kecapekan," gumam Andra pelan takut membangunkan Minah. Ia membenahi poni Minah yang berantakan dan menyelipkannya ke belakang telinga Minah. Di sisi lain Raditya menatap Minah dengan kemarahan, kedua jemarinya mengepal kesal. Ia membenci situasi dimana sahabatnya berpaling darinya gara-gara gadis itu. Ya benar, hanya karena itu. Tak ada alasan lain. Sangat tidak mungkin jika ia cemburu karena Andra yang terlalu perhatian pada Minah. Siapa Minah untuknya? Minah bukan siapa-siapa. Raditya sangat membencinya. Benar kan? Hanya Raditya sendiri yang tahu kebenarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD