Lama ia berjalan jauh, entah ia sampai dikampung mana pun ia juga tak tahu. Minah bimbang, ia tak tahu harus kemana dan ke tempat siapa. Rasa lelah dan lapar kini menghampirinya. Hari juga sudah mulai gelap, pertanda malam akan segera datang. Minah meraba saku celananya, teringat dengan uang yang bapaknya berikan.
Dengan langkah cepat ia berjalan melewati sebuah kampung yang sedikit gelap. Hanya ada lampu-lampu temaram yang menerangi jalan. Sebenarnya Minah sedikit takut. Namun Karena lapar, ia terpaksa harus melanjutkan perjalanan mencari-cari warung yang masih buka. Kalaupun tak ada warung makan, Minah berharap akan ada warung kelontong atau warung kecil yang menjual roti. Ia berharap tetap mempunyai tenaga untuk melarikan diri. Karena bukan tidak mungkin, jika Juragan Surya akan mengejarnya sampai jauh.
Di ujung jalan ia melihat sebuah warung kecil yang menjual bahan keperluan harian. Minah tersenyum, ia berharap warung itu menjual makanan. Baru ia akan melangkah tiba-tiba tiga orang lelaki dengan tampang menyeramkan menghadangnya.
"Mau kemana cantik?" sapa preman yang menggunakan beberapa tindik di telinganya.
"Maaf ya Mas, saya mau ke warung itu. Permisi ...." Minah mencoba menghindar. Firasatnya mengatakan jika orang-orang itu mempunyai niat yang tidak baik.
"Tunggu dulu! Siapa yang memberi kamu izin untuk melewati daerah kekuasaan kita."
"Ngomong-ngomong wanita cantik kok malam-malam sendirian aja. Yuk main sama kami. Dijamin seru." Seorang preman lagi memegang pergelangan Minah. Minah meronta kesakitan. Ia ingin berteriak, namun niatnya harus pupus ketika salah seorang dari mereka menodongkan sebuah pisau ke arah Minah.
Minah benar-benar ketakutan, malang sekali nasibnya. Baru keluar dari kandang macan kini harus terjebak sarang buaya pula. Ia menangis ketakutan.
"Cantik, serahkan uang kamu! Kami masih bicara baik-baik, jadi serahkan! Sebelum kami menggunakan kekerasan," ancam preman itu. Salah seorang dari mereka semakin mendekatkan pisau. Dengan gemetar Minah memberikan uangnya. Dalam hati ia bersyukur sudah memisahkan uang menjadi dua bagian. Yang ia berikan hanya uang pecahan yang tak seberapa nilainya.
"Apa ini? Kamu meremehkan kami?" kata preman itu marah.
"Ma-maaf hanya itu yang saya punya," jawab Minah terbata-bata. Entah apa yang akan terjadi padanya.
"Kalau begitu, kamu bayar kami dengan tubuh kamu saja." Preman itu mencolek dagu Minah dan disambut gelak tawa kedua temannya.
"Jangan, saya mohon." Minah memohon dengan ketakutan.
"Hahahaha ...." Tawa menyeramkan kedua preman itu memenuhi pendengaran Minah.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan melintas di depan mereka. Kesempatan itu tak disia-siakan Minah, untuk berteriak minta tolong.
"Tolong! Tolong!" teriak Minah sebelum mulutnya dibekap oleh preman itu.
Minah menangis, mobil berlalu begitu saja tanpa menolongnya. Ia tak dapat lagi berteriak, hanya tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Lama kelamaan, Minah kalah tenaga dengan para preman itu. Akhirnya ia putus asa, ia hanya bisa berdoa semoga Allah menyelamatkannya. Namun jika Ia ditakdirkan harus mati biarlah ia pasrah.
Namun Tuhan seakan mendengar doanya. Mobil yang tadinya melewatinya kembali mundur ke belakang. Pintu mobil terbuka, sepasang suami istri keluar dari mobil.
"Ada apa ini?" tanya lelaki paruh baya dengan tatapan tajam.
"Oh ini ... kami hanya main-main kok Pak. Silakan pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami," kata preman itu masih membekap mulut Minah yang meronta-ronta dengan tenaga yang melemah.
"Lepaskan dia!"
"Bapak siapa menyuruh-nyuruh kami?" Preman itu bicara dengan kasar.
"Saya sudah lapor polisi sebentar lagi juga datang," ancam pria paruh baya itu lagi. Sayup-sayup terdengar suara sirine yang semakin lama semakin mendekat.
Para preman itu saling pandang dan melepaskan Minah. Dengan segera preman itu kabur. Minah sangat lega, ia ingin mengucapkan terimakasih pada orang itu. Namun malang, ia ambruk dan jatuh pingsan sebelum sempat bicara.
Kedua orang yang menolong Minah menjadi panik karena Minah yang tiba-tiba pingsan. Dan akhirnya mereka membawa Minah ke mobil. Sang wanita memangku kepala Minah di kursi belakang. Ia berkali-kali mendekatkan minyak angin di hidung Minah berharap gadis itu sadar. Namun Minah tak juga sadar, akhirnya mereka memutuskan untuk membawa Minah pulang ke rumah. Biarlah nanti mereka akan megantarnya pulang, setelah gadis itu siuman.
Butuh waktu dua jam untuk sampai di rumah mereka. Namun sampai di rumah Minah belum juga sadarkan diri.
Pria paruh baya itu menggendong Minah masuk ke rumah yang sepi itu. Karena waktu sudah hampir tengah malam. Istrinya mengikutinya di belakang. Minah ditidurkan di sebuah kamar tamu. Segera wanita cantik itu mengoles minyak keseluruh tubuh Minah. Ia mengganti kebaya Minah yang kotor dengan kaos lengan panjang miliknya. Ia kemudian menyelimuti Minah dengan penuh kasih sayang.
"Pa, bagaimana ini? Kenapa gadis ini belum bangun juga ya? Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?" kata Rasti khawatir.
"Nggak usah Ma. Kelihatannya gadis ini hanya kecapekan dan syok," kata Dimas.
Baru setelah dua puluh menit, Minah bangun. Matanya mengerjap perlahan, menyesuaikan dengan cahaya lampu. Dengan kepala berkunang ia mencoba duduk. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia berada di tempat yang asing.
"Kamu sudah bangun?" Suara lembut wanita cantik menyapa telinganya. Minah mencoba mengingat wajah wanita yang kini ada di hadapannya. Minah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya, dan akhirnya Ia juga mengingat kalau wanita cantik beserta suaminya yang menolongnya.
"Nyonya, Anda adalah orang yang menyelamatkan saya tadi ya? Terimakasih ya Nyonya?" ucap Minah tulus penuh hormat.
"Iya sama-sama. Nama kamu siapa Nak? Saya Rasti, panggil Tante Rasti saja ya?" ucap Rasti tersenyum.
"Saya Minah Nyo eh Tante," jawab Minah canggung.
"Minah ngapain malam-malam di jalan sendirian? Sampai diganggu preman?" tanya Rasti penuh dengan rasa ingin tahu.
"Ah, ceritanya panjang," kata Minah kembali menitikkan air mata.
"Shhh ... sudah. Kalau kamu belum siap untuk bercerita, nggak usah dipaksakan," kata Rasti berusaha menenangkan Minah.
"Ndak papa Tan, sebenarnya Minah lari dari pernikahan. Minah dipaksa menikah dengan seorang pria yang layak Minah panggil kakek," kata Minah mulai menjelaskan. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Maaf, apa orang tua kamu yang memaksa kamu?" tanya Rasti ragu. Takut menyinggung perasaan Minah. Minah hanya menggeleng lemah.
"Bukan Tan. Semua gara-gara bapak saya mempunyai hutang pada rentenir." Kemudian Minah melanjutkan ceritanya sampai kejadian pertemuan mereka. Rasti mangut-mangut mendengarkan cerita Minah. Tiba-tiba Rastu mengingat seseorang yang sudah lama tak ia jumpai gara-gara cerita Minah.
"Ah, sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Maaf saya tak bisa membalas kebaikan anda, Tan," Kata-kata Minah menyadarkan lamunan Rasti.
"Nggak apa-apa Nak. Tante ikhlas tak Mengharapkan balasan apa pun." Rasti lagi-lagi tersenyum, membuat hati Minah terasa sejuk. Ia jadi rindu pada ibunya yang telah tiada.
"Ya sudah Tan, saya permisi dulu," kata Minah. Ia menurunkan kakinya yang semula di ranjang menjadi menggantung menggapai lantai keramik.
"Kamu mau ke mana sayang? Memangnya kamu punya tempat tujuan?" tanya Rasti penasaran.
"Nggak Tan. Minah sendiri juga bingung mau kemana." Minah menitikkan air mata lagi, tak sanggup menghalau rasa sedih dan pilu di hatinya.
"Ya sudah kamu tinggal disini saja ya?" pinta Rasti.
"Di sini banyak kamar kosong kok," tambah Rasti.
"Tapi Minah takut nanti malah merepotkan Tante?" Minah menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala.
"Nggak sayang, kamu di sini saja ya sebelum bertemu dengan bapakmu?" Rasti dengan lembut meyakinkan Minah.