3 Siapa tahu?

1786 Words
Di perjalanan menuju villa, Gava duduk di kursi belakang mobil sambil berusaha menjawab tiga ponselnya miliknya berdering secara bersamaan. Pesan-pesan dan panggilan masuk bertubi-tubi dari beberapa wanita yang ia kenal, masing-masing dengan pesan serupa, menanyakan keberadaannya dan kapan mereka bisa bertemu. Gava tampak kebingungan, bolak-balik menjawab satu ponsel, lalu berpindah ke ponsel lainnya. "Nggak bisa sekarang, sorry ini sedang acara keluarga. Oh itu bibiku menikah maaf Jessy." "Halo... ya, aku sedang di Bali. Iya, nanti aku kabari lagi ya." Gava mencoba menenangkan satu persatu di antara mereka. Sementara itu, kedua orang tuanya yang duduk di depan hanya bisa menggelengkan kepala. Sang ayah tampak tersenyum kecil, namun bundanya tidak bisa lagi menahan kekesalan. “Lihat! Itu yang kamu bilang nggak ada!” seru bundanya dengan nada marah, memandang Gava dari kaca spion. “Ada berapa banyak perempuan yang kamu kencani sebenarnya? Punya tiga ponsel cuma buat urusan seperti ini!” Gava mencoba tersenyum kikuk, tahu bahwa ia tidak bisa berkelit kali ini. “Bunda, ini cuma teman-teman aja kok... nggak ada yang serius.” jawabnya, berusaha membela diri. "Bibi menikah? bibi siapa? Bunda dan ayah kamu anak tunggal, bibi dari nenekmu? atau bibinya tetanggamu?"Kesal Ririn pada anaknya itu. Gava hanya tersenyum saja mengusap tengkuknya, dia tidak bisa menjawab apapun lagi. Namun, bundanya tidak puas. “Teman, katanya. Kalau teman, kenapa mereka ribut mencari kamu, ha? Jangan-jangan kamu itu sebenarnya punya kalender khusus buat semua perempuanmu! Dan liburan ini buat jadwal kalender kamu berantakan." Ayahnya tertawa kecil, sementara Gava hanya bisa menahan malu, tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan. “Iya, iya, Bund. terserah deh.” jawabnya lemas, menaruh ponselnya satu persatu dan memilih diam selama sisa perjalanan. *** Sementara itu di Villa.... Nick dan Heartsa baru saja tiba di sebuah villa eksklusif yang tersembunyi di antara pohon-pohon kelapa di pesisir Bali. Villa itu berada di atas tebing dengan pemandangan laut yang memukau. Angin sepoi-sepoi dan suara ombak menambah kesan damai yang menyelimuti tempat itu. Heartsa merasakan sejenak ketenangan setelah hari-hari sibuk di Jakarta. Nick, tunangannya, memeluknya dari belakang, memberikan ciuman lembut di pipinya. “Suka tempat ini?” tanyanya sambil memandang ke arah laut biru. Heartsa tersenyum, menganggukkan kepala. “Suka sekali. Ini sempurna,” jawabnya. Mereka berencana menikmati waktu tenang sebelum bertemu dengan orang tua Nick yang akan tiba di sini esok hari sebab sekarang sedang ada acara di tempat lain. Beberapa jam kemudian. Setelah makan malam romantis yang sederhana, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kawasan villa. Semuanya terasa begitu sempurna—pantai, villa, dan suasana cinta yang menyelimuti mereka. Namun, saat mereka mereka masih berkeliling villa, sesuatu hal mengejutkan Heartsa. Dari kejauhan, dia melihat sosok yang begitu dikenalnya. Seorang pria paruh baya dan seorang wanita dengan postur yang elegan, duduk bersama di salah satu cafe and bar villa yang terletak tidak jauh dari tempat mereka menginap. Heartsa terhenti sejenak, hatinya berdebar kencang. Itu Om Galih dan Bunda Gava—dua orang yang merupakan bagian dari masa lalunya. “Nick, tunggu sebentar…” ucap Heartsa sambil menahan langkahnya. “Ada apa?” tanya Nick bingung, mengikuti arah pandangan Heartsa. Heartsa menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Itu... Om Galih dan Bunda Gava.” Suaranya terdengar ragu, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak salah lihat. Nick mengerutkan dahi. “Siapa mereka?” “Orang tua Gava. Teman masa kecilku yang dulu dekat sekali denganku. Tadi ada sama papa mama juga, astaga jangan bilang mama papa juga nginap di sini.” Heartsa merasa jantungnya berdegup lebih. Nick hanya mengangguk ringan, merasa bahwa ini hanyalah sebuah kebetulan. “Mungkin mereka sedang liburan juga. Kita bisa menyapa kalau kau mau?” Ya, maksudnya kenapa harus di sini juga kenapa bukan di tempat lain. “Tidak usah. Aku... aku hanya terkejut saja. Mungkin nanti saja.” Heartsa menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya. Di dalam kamar villa yang ditempati sendiri, Heartsa tak bisa berhenti memikirkan kejadian di bandara tadi. Benarkah pria yang menabraknya itu Gava? “Belagu banget, ya! Setelah nabrak, bukannya bantuin, malah jalan santai seolah nggak terjadi apa-apa,” gumam Heartsa kesal, mencoba mengingat setiap detail wajah pria itu. Namun, pikiran itu tak berhenti di sana. “Apa kabarnya sekarang? Kayaknya, kalau dilihat dari postingan keluarganya, dia adalah seorang Pilot ya mama juga bilang gitu.” Heartsa menyandarkan diri di kasur, matanya menerawang ke langit-langit kamar. "Pasti dia playboy, paling merasa dirinya oh gue keren, oh gue tampan hoekkkkk." tebaknya dengan nada sinis dan ingin muntah, meski sebenarnya ia tak tahu apa-apa tentang kehidupan Gava yang sebenarnya hanya karena penilaian kecil ketika tertabrak di toilet bandara saja. *** Keesokan harinya. Heartsa berdiri di depan cermin, memandangi bayangan dirinya dengan napas yang tidak teratur. Dia sudah bersiap untuk makan siang dengan keluarga Nick—hari yang seharusnya menjadi momen penting, tapi hatinya belum sepenuhnya pulih dari kejutan bertemu dengan keluarga Gava di villa tadi malam. Perasaan cemas dan panik membanjiri pikirannya, dia takut berada di tempat yang sama dengan orang-orang yang dia kenal apa lagi mama papa di saat dia masih belum tahu seperti apa orang tua Nick kepadanya. Namun dia tidak tahu di mana papa mamanya yang sampai saat ini tidak bisa dia hubungi. “Tenang, Heartsa,” gumamnya sambil merapikan dress putihnya yang elegan tapi tidak terlalu mencolok. “Ini hanya makan siang biasa. Kau bisa melewatinya tanpa harus ada yang di khawatirkan,” dia mencoba meyakinkan diri. Tapi perasaan gugupnya semakin meningkat. Ini bukan hanya tentang bertemu dengan orang tua Nick, tapi juga tentang mengesankan mereka. Gabriella, ibu Nick, adalah seorang wanita selalu kritis terhadap pasangan yang pernah Nick bawa pulang. Dia memandangi dress lagi, merasa tidak yakin apakah itu cukup bagus. “Mungkin terlalu biasa? Apa aku harus pakai yang lain?” pikirnya gugup. Heartsa kemudian membuka lemari dan menarik keluar dress yang dia bawa lainnya, satu per satu, tapi tak ada yang membuatnya merasa lebih tenang. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan Nick masuk dengan senyum santai di wajahnya. “Babe, Sudah siap?” tanyanya melihat penampilan Heartsa “Mereka baru saja sampai di restoran, kita sebaiknya segera kesna.” Heartsa tersentak. “Nick ah akhirnya kamu datang, aku... aku tidak yakin dengan dress ini. Apa aku kelihatan aneh? Terlalu biasa?” tanyanya dengan nada cemas. Tangannya bergerak panik saat dia mencoba merapikan rambutnya yang sudah tertata rapi. Nick tertawa kecil, berdiri dan menghampirinya. “Babe ini terlihat luar biasa, seperti biasa. Mom akan menyukaimu. Tidak perlu khawatir.” Tapi kata-kata Nick tidak cukup untuk menenangkan Heartsa. Dia tahu ini adalah kesempatan penting—pertama kalinya dia akan bertemu dengan Gabriella dan John secara langsung, Apakah dia akan membuat kesan yang baik? Ataukah dia akan gagal di depan wanita yang sangat berarti bagi Nick? Dia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Oke, aku siap,” ucapnya meskipun hatinya masih berdegup kencang. "Bagaimana jika kamu lebih dulu ke resto, lalu aku menyusul." "Kenapa?" "Ya, ajak mereka ngobrol dulu nanti pura-puranya aku datang." "Ah tidak penting, tapi ya ya baiklah aku lakukan jika ini karena kegugupanmu. Okay akun turun lebih dulu." Setelah Nick pergi Heartsa melangkah keluar villa menuju restoran di kawasan yang sama, bayangan kedua orang tuanya dan keluarga Gava kembali terlintas di benaknya. takut mereka tiba-tiba muncul lalu membuat kebisingan tak berarti. Ah...tapi, saat ini yang terpenting adalah fokus pada pertemuan dengan orang tua Nick. Penampilan Heartsa benar-benar memancarkan pesona yang anggun namun tetap sederhana. Dia memilih gaun selutut berwarna putih dengan potongan yang pas di tubuhnya, leher V pada dress tersebut memperlihatkan kalung emas mungil yang berkilauan, memberi aksen manis pada keseluruhan penampilannya. Sepatu hak rendah berwarna hitam melengkapi penampilan itu, membuatnya terlihat lebih tinggi dan proporsional. Penampilan Heartsa memancarkan pesona seorang wanita dewasa yang percaya diri. Namun, saat dia melangkah masuk ke area restoran, pandangannya tiba-tiba tertuju pada seseorang yang tidak asing—Gava. Detak jantungnya kembali berpacu. Matanya membelalak saat menyadari pria yang berdiri di hadapannya sedang sibuk berteleponan jaraknya beberapa meter saja darinya, postur tegap dan sikap tenang berbicara di sana. Ya benar dia adalah orang yang sama yang bertabrakan dengannya kemarin di bandara. Gava. Apa yang di lakukan di sini? Antara merasa kenal dan tidak kenal, Heartsa tersentak saat tatapan mereka kemudian bertemu. Dadanya semakin berdebar kini bukan hanya karena pertemuan dengan keluarga Nick, tapi karena Gava ada di sini, di depan matanya. Dia terus berjalan, namun langkah Heartsa tiba-tiba tersandung meja kecil di dekat pintu masuk restoran. Dia tersandung, dan sebelum sempat terhempas ke lantai sepasang tangan kuat sudah meraih lengannya, menahannya agar tidak jatuh keras ke lantai. “Hey, hati-hati,” suara itu terdengar begitu jelas. Heartsa menatap ke atas, langsung bertatapan dengan Gava yang kini berdiri di depannya. “Kehilangan fokus karena terlalu banyak pikiran, atau karena bertemu seseorang dan mengacaukan fokusmu? Melihat aku misalnya." tanyanya dengan nada setengah bercanda, namun matanya tetap memperhatikan Heartsa dengan penuh perhatian. Gimana gimana tadi di bilang apa? mengacaukan fokus? What? “Ah tidak aku hanya bercanda, Heartsa? Kamu benar Heartsa? Kemarin di bandara juga kita bertemu. Kamu yang tidak sengaja tertabrak di toilet, kan?” lanjutnya, mengingat kejadian canggung mereka di bandara. Heartsa, yang masih syok, segera menarik lengannya dari pegangan Gava, langsung berdiri tegak. “Sial menyebalkan sekali.” gumamnya pelan, wajahnya memerah. Dia tak menyangka bisa bertemu lagi dengan Gava, dan terlebih lagi, dalam keadaan seperti ini. “Aku bisa berdiri sendiri,” katanya cepat, menahan rasa malunya. Gava tersenyum tipis, seolah menikmati kebetulan ini. “Kamu baik-baik saja?” Heartsa cepat-cepat menganggukkan kepala, berusaha menjaga sikapnya meskipun hatinya kacau. “Aku baik-baik saja. Terima kasih,” ucapnya dingin, lalu mencoba melangkah menjauh. Dia harus segera menuju ke meja tempat Nick dan orang tuanya sudah menunggu, tapi pertemuan mendadak dengan Gava membuat pikirannya langsung kacau. Sebelum Heartsa sempat melangkah lebih jauh, Gava memanggilnya lagi, “Heartsa, kan?” Suara Gava membuat langkahnya terhenti sejenak. Tentu saja dia masih ingat namanya. Dengan sedikit ragu, Heartsa menoleh, menatapnya sebentar sebelum mengangguk singkat. “Iya, aku Heartsa,” jawabnya, lalu tanpa menunggu respon lebih lanjut, dia cepat-cepat melanjutkan langkahnya, berusaha menghilangkan rasa gugup yang kini semakin menguasai dirinya. Gava, yang tetap santai, menatap Heartsa yang pergi dengan senyum di wajahnya. “Satu kali tertabrak, kedua kali nyaris jatuh... mungkin ketiga kalinya, kita bisa dinner bersama,” gumam Gava pelan, cukup keras untuk didengar Heartsa. Heartsa berhenti sejenak, “What?” Dia pikir ada orang yang mau jatuh dan tertabrak gitu? Umpat Heartsa dalam hati merasa kesal atas perkataan Gava. Heartsa pun tidak menjawabnya lagi segera berjalan menghampiri Nick di ujung sana. Pria dengan setelan kemeja hitam dan celaan Jeans gelap itu tersenyum santai setelah ia menggoda Heartsa yang hampir terjatuh. Sikapnya yang tenang dan gaya santainya membuat Heartsa merasa heran dengan Gava yang dia temui sekarang beda sekali dengan yang dia kenal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD