Di antara gemuruh mesin pesawat dan ketinggian ribuan kaki di udara, Gava selalu menemukan ketenangan. Sebagai kapten pilot, ia terbiasa mengendalikan burung besi yang membawanya melintasi langit berbagai negara. Namun, di balik profesionalismenya, ada satu hal yang tak pernah bisa ia kendalikan—waktu. Waktu yang membawa perubahan, waktu yang memisahkan, dan waktu yang kini mempertemukan kembali.
Matahari siang Denpasar menyengat, memantulkan sinarnya pada beton landasan pacu bandara. Di dalam kokpit, Gava memandang sejenak ke luar jendela. “Landing terakhir sebelum cuti panjang, Yeay,” pikirnya sambil menyelesaikan rutinitas terakhirnya sebagai kapten pilot di penerbangan ini. Sudah beberapa tahun dia menetap di Hongkong hingga Kuala Lumpur, bekerja untuk maskapai asing demi mengejar impiannya terbang di rute internasional. Namun, di balik dedikasi pada pekerjaan, ada rasa rindu yang selalu tersimpan dalam-dalam—rindu akan rumah, keluarga, dan mungkin, sedikit ketenangan.
Suaranya tenang namun tegas ketika menyapa para penumpang melalui pengeras suara. “Good afternoon, dear passengers. This is Captain Gava speaking from the cockpit. Thank you for choosing Super Flight with a destination to Denpasar, Bali. We are currently cruising at an altitude of 40,000 feet. The weather is clear, and we will be landing in less than an hour. We hope you are enjoying this flight. Thank you."
Setelah melakukan pendaratan yang sempurna, Gava tersenyum kecil. Ini hari terakhirnya bertugas sebelum ia libur panjang. Dalam dua minggu ke depan, ia berencana akan berlibur bersama orang tuanya lalu pulang ke rumah sang orang tua, menikmati masakan ibunya, bercanda dengan ayahnya, dan mungkin bermain dengan adik perempuannya, Giandra, yang kini sudah berusia enam tahun.
Akhirnya Gava bisa berjalan keluar dari pesawat setelah menyelesaikan prosedur penerbangan, ia disambut oleh rekan-rekannya yang juga sudah selesai bertugas hari ini.
“Selamat liburan, Capt!” seru salah satu kru.
Gava tertawa ringan. Don’t disturb me, have a great extended holiday!" candanya sambil menepuk bahu temannya.
Sambil menenteng tas jinjingnya, dia bergegas mengganti pakaian. Tak ingin menjadi pusat perhatian, ia mengenakan pakaian kasual sebelum bertemu orang tuanya yang menunggunya di luar bandara. Ibunya sudah mengiriminya banyak pesan sejak pagi, memintanya cepat-cepat keluar dan memulai liburan keluarga mereka di Bali.
Gava mengenakan kaos polos berwarna navy yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan jaket denim berwarna gelap dan celana jeans. Meski berpakaian kasual, penampilannya tetap memancarkan aura karismatik yang membuatnya sulit untuk tidak diperhatikan. Gava juga mengenakan sneakers putih bersih dan arloji simpel di pergelangan tangannya, melengkapi kesan santai namun tetap elegan. Rambutnya yang sedikit berantakan setelah penerbangan panjang malah menambah daya tariknya. Ia berharap dengan penampilan ini, ia bisa lebih menyatu dengan keramaian tanpa menarik terlalu banyak perhatian.
Di luar terminal kedatangan, Galih, ayah Gava, tampak berpenampilan santai dengan celana pendek jeans dan kaos berkerah. Meski sudah paruh baya, Galih selalu tampil seperti anak muda. Di sebelahnya, Ririn ibu Gava, melambaikan tangan dengan senyum yang lebar ketika melihat putranya mendekat.
“Bunda!” Gava langsung memeluk ibunya erat.
“Aaaaaa anak Bunda. Kenapa kamu sulit sekali untuk libur, Nak? Kalau kamu sudah tidak butuh Bunda lagi, biar Bunda mati saja,” keluh Ririn, meski jelas nada suaranya hanya bercanda.
“Ssst, Bunda, bicara apa sih? Aku sudah di sini sekarang, kan?” Gava tersenyum hangat sambil menenangkan ibunya. “Di mana Giandra?”
“Dia di mobil, lagi demam sedikit. Tapi dia terus bertanya-tanya kapan kamu pulang dan kenapa harus ke Bali dulu,” jawab Ririn.
“Aku punya hadiah untuk Gian,” Gava mengangkat bungkusan kecil yang sudah ia siapkan. Senyumnya semakin lebar saat membayangkan adiknya yang akan kegirangan menerima hadiah itu.
"Jadi, kamu beneran mau liburan keluarga kali ini? Atau ada rencana lain, Nak?" tanya Ririn sambil mengangkat alisnya penuh arti.
Gava tersenyum kecil, menyadari ke mana arah pembicaraan ibunya. "Tentu saja, Bunda. Aku sudah janji kan, kita liburan bareng di Bali?"
Ririn terkekeh, menggelengkan kepala sambil menatap putranya. "Iya, iya... Tapi Bunda tahu, Bali itu nggak cuma tempat buat keluarga. Kamu pasti ada rencana ketemu salah satu pacar-pacar kamu juga, kan?"
Gava tertawa ringan, menutupi rasa gugupnya. "Pacar? Ah, Bunda berlebihan. Nggak ada yang seperti itu."
"Tentu saja ada!" Ririn memotong, dengan senyum lebar di wajahnya. "Kamu pikir Bunda nggak tahu? Yang terakhir kali kamu ceritain itu si Manager Bank, wanita bisnis yang umurnya matang. Lalu, ada juga anak kuliahan yang kamu pernah bilang ketemu di Singapura, ya kan? Dan jangan lupa, ada pramugari yang kamu temui di penerbangan Hong Kong waktu itu. Jadi, yang mana yang mau kamu temuin di Bali kali ini?"
Gava mencoba tetap tenang, meski dalam hatinya geli mendengar rangkuman yang begitu tepat dari ibunya. "Bunda, aku ke Bali ini murni buat keluarga. Mana ada agenda lain, sumpah!"
Ririn tertawa lebih keras. "Aduh, Bunda nggak percaya. Pasti ada deh salah satu dari mereka yang mau kamu temuin. Kalau nggak, kapan kamu bisa serius, Nak? Gava, umur kamu nggak semakin muda loh!"
Gava menghela napas, tersenyum sambil melirik ayahnya yang hanya menggelengkan kepala di depan. "Tenang, Bund. Semua ada waktunya. Aku lagi fokus ke kerjaan, biar nanti jodohnya datang di waktu yang tepat."
"Kerjaan terus, kerjaan terus! Pokoknya Bunda mau kamu serius, nggak boleh cuma main-main lagi. Entah itu si wanita bisnis, anak kuliahan, atau pramugari—siapa pun. Jangan sampai Bunda harus turun tangan cari calon buat kamu," ucap Ririn sambil melirik Gava dengan tatapan tajam namun penuh kasih.
Gava hanya tersenyum mendengar omelan lembut ibunya, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu peduli meski kadang suka bercanda tentang kehidupan pribadinya
Mereka berjalan menuju mobil, namun Gava berhenti sejenak. “Aku ke toilet dulu, Bund. Parkir di mana mobilnya?”
“Di parkiran timur. Kami tunggu di sana, ya,” jawab ayahnya.
Saat Gava melangkah pergi ke toilet lagi sambil menyempatkan diri membuka ponsel dan mengirim pesan singkat pada seseorang. “Hai, aku sudah sampai. Bye, see you. I miss you.” Katanya di panggilan itu kepada seorang yang dekat dengannya akhir-akhir ini.
Brugh!
Tiba-tiba tanpa sadar tubuhnya menghantam seseorang, membuat koper besar yang ditarik orang itu terhempas, bersama dengan barang-barang bawaan yang berjatuhan ke lantai.
“Auuh! Hati-hati dong!” teriak seorang gadis. Dia memandang Gava dengan tatapan kesal. “Ya Tuhan, oleh-olehku jatuh semua!” panik gadis itu
Gava terkejut sesaat, lalu buru-buru menunduk. “Maaf, tapi kamu tadi yang mundur,” jawabnya dengan nada defensif, meski tidak berniat membela diri.
Gadis itu menghela napas panjang sambil memunguti barang-barangnya. “Kau tinggal bilang ‘maaf’, susah amat,” gumamnya sebelum bergegas memunguti barang-barangnya yang jatuh sambil menyalipkan rambutnya ke telinga.
Gadis itu tampak cantik sekali, padahal penampilannya biasa saja hanya memakai jeans dengan kaus putih pas di tubuh dengan sebuah sneakers.
Gava masih terus memandangi punggung gadis itu, ada sesuatu yang terasa familiar. “Heartsa?” bisiknya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah ia kenal.
Seorang gadis masa lalu yang masih sering di ceritakan ayah Bundanya tahun ke tahun walaupun tidak pernah bertemu karena kesibukan masing-masing dan jarak mereka yang jauh, Gava sering melihat Heartsa lihat di sosial media, dia adalah seorang pembicara tentang kesehatan mental, seorang influencer yang lumayan punya nama.
Gava melangkah masuk ke toilet masih memikirkan sosok itu tanpa membantu saking bingungnya. Heartsa—nama itu mulai berputar di kepalanya. Apakah mungkin benar?
“Sepertinya itu memang Heartsa…” ujar Gava, tiba-tiba merasa ada hal yang tak selesai di antara mereka. Namun apa? Hanya —masa kecil. Atau, apakah takdir masih menyisakan ruang bagi mereka untuk bertemu kembali?
Di luar sana setelah mengumpulkan barang-barangnya, Heartsa masih merasa kesal. Dia berdiri di dekat pintu toilet, mencoba mengatur napasnya. “Dia benar-benar nggak mau membantu sama sekali!” gerutunya sambil menatap ke arah toilet. “Benar-benar ngeselin! Mungkin dia pikir, ‘Ah sepele F*ck!"
Di dalam toilet Gava pun akhirnya sadar,"Kenapa aku tidak bantu dia?”ucapnya sambil melangkah cepat keluar. Namun, saat dia mencapai pintu keluar, dia hanya melihat kerumunan orang yang berlarian, dan gadis itu sudah tidak ada di sana.