12 Share location

1481 Words
Gava menikmati hari terakhir liburannya di Bali dengan mengendarai skuter bersama adiknya, Giandra. Mereka berkeliling area sekitar, menikmati pemandangan sambil mengobrol ringan. Gava merasa tenang untuk sesaat, meskipun dalam pikirannya ia sudah mulai mempersiapkan diri untuk kembali ke rutinitas kerjanya di Hong Kong selama beberapa bulan ke depan. Namun sebelum kembali menjalani aktivitasnya sebagai pilot, Gava akan ikut pulang bersama Bunda dan Ayah ke Semarang, tempat di mana rumah mereka berada. Nenek Gava sudah lama merindukan cucu sulungnya itu. Sialnya, baru saja keluar dari area villa, motor skuter yang dikendarai Gava bersama adiknya, Giandra, tiba-tiba mogok di tengah jalan. Gava mengerutkan kening dan meminta adiknya turun dari motor. “Kenapa, Kak?” tanya Giandra dengan wajah bingung. “Kamu nih belum mandi, makanya mogok!” Gava menjawab sambil setengah bercanda. “Enak aja, Kakak tuh yang ngga dengar kata Bunda. Naik mobil aja harusnya!” balas Giandra sambil melipat tangannya, setengah kesal. Gava hanya tertawa kecil sambil mencoba menyalakan motor lagi. “Tut.. Butut, skuter butut!” Lumayan lama Gava mencoba menghidupkan motor skuter itu, berkali-kali menekan tombol starter namun tetap tidak ada hasil. Giandra berdiri di samping, melipat tangan sambil melihat sekeliling, mencoba menahan tawa melihat kakaknya frustrasi dengan kendaraan yang mogok. “Sudah, Kak. Kita naik mobil aja, kan sudah aku bilang,” sindir Giandra. Gava menghela napas panjang, menyerah. Dia pun merogoh ponselnya dan menghubungi pihak penyewaan motor. Sambil terus berusaha menghubungi pemilik motor skuter, Gava mondar-mandir di pinggir jalan. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika pandangannya menangkap sesuatu yang membuatnya tercengang. Di kejauhan, tampak sekelompok orang sedang melakukan shooting. Gava memperhatikan lebih jelas, dan ternyata itu Heartsa dan Nick, dikelilingi oleh beberapa fotografer dan penata rias. Dengan latar belakang Bali yang indah, mereka tampak tengah melakukan sesi foto pre-wedding. Gava mengerutkan kening, menyadari bahwa momen ini adalah bagian dari persiapan pertunangan Heartsa dan Nick yang akan berlangsung di Jakarta beberapa minggu lagi. Gava terdiam sejenak, menelan perasaan pahit yang menghantamnya. Dia melihat Nick yang tengah memberikan arahan kepada fotografer dengan gaya yang menurut Gava sangat menggelikan menurut Gava. “Tuhan... Aku udah insyaf, nggak nakal lagi,” gumam Gava sambil tertawa getir. “Gini amat hukumannya ngga dapat orangnya malah di kasih lihat mesra-mesra sialannya.” Meski mencoba bercanda dengan dirinya sendiri, rasa muak yang mendalam tak bisa disembunyikan. Melihat Nick yang begitu berlagak di depan kamera. “Gava langsung memilih untuk pergi dari area itu dengan cepat, tidak ingin jadi bahan lelucon oleh Nick dan rombongan mereka. Situasi di sana terasa terlalu kontras—Nick dan Heartsa dengan momen bahagia mereka, sementara Gava sendiri merasa apes dan terjebak dalam skenario yang tidak menguntungkan. Dia tahu, berlama-lama di sana hanya akan membuatnya semakin jengkel. Sambil berjalan menjauh, Gava menarik napas panjang melirik pakaian yang di pakai Nick dengan nuansa serba hitam lalu tema mereka pun serba hitam. “Lo foto prewed Bull? Nggak ada aura happy-happynya kelihatan seperti foto memorial di rumah duka.” *** Sinar matahari sore menyinari halaman resort yang indah, menciptakan suasana romantis saat Heartsa berdiri di antara Nick dan para fotografer. Musik lembut mengalun di latar belakang, namun di dalam hatinya, ada ketidakpastian yang membayangi. Ini memang berjalan sangat baik, bisa dibilang sempurna. Papa dan Mama mulai semakin merestui. Nick dan keluarganya menginginkan ini lebih serius dan cepat menuju jenjang yang lebih serius. Namun, apakah baik secepat ini? Dia menatap Nick yang tersenyum lebar, berpose dengan percaya diri di depan kamera. Namun, di balik senyumnya, ada rasa ragu yang mendadak menggelayuti hati Heartsa. Tiba-tiba saat sesi foto pre-wedding berlangsung, suasana romantis yang telah dibangun tiba-tiba terganggu oleh suara mesin pemotong rumput. Dua orang tukang potong rumput melintas dengan mesin berisik, menciptakan kebisingan yang mengganggu momen bahagia Heartsa dan Nick. “Astaga, kenapa mereka bisa datang tepat sekarang?” Heartsa terkejut sekali menatap Nick dengan frustrasi, sementara fotografer mencoba mengatur posisi dan mencari sudut terbaik untuk menangkap gambar. “Apa-apaan ini, sangat mengganggu! Mereka seharusnya tidak bekerja di sini saat kita sedang melakukan sesi foto.” Tukang potong rumput itu tampak tidak peduli, terus berjalan mengelilingi area dengan mesin mereka. Potongan rumput bertebaran di mana-mana, menambah suasana kacau di tengah sesi foto yang seharusnya romantis. Keributan yang ditimbulkan oleh suara mesin pemotong rumput semakin mengganggu fokus Heartsa. Dengan kesabaran yang menipis, ia berbalik dan menegur, “Hei, bisa lebih pelan sedikit? Kami sedang melakukan sesi foto di sini!” Suara kesalnya menggetarkan udara, dan semua mata tertuju padanya. Namun, petugas potong rumput itu tampak tidak peduli, melanjutkan pekerjaannya tanpa memedulikan protes Heartsa. “Sori, kami sedang bekerja!” teriak salah satu dari mereka, suaranya lebih seram daripada yang diharapkan. “Bekerja? Dia pikir kita di sini tidur? Hey ini acara penting. Astaga apa maksudnya baru kali ini ada tukang rumput seperti ini.” Situasi semakin tegang ketika Heartsa merasa frustrasi. “Ini sangat tidak sopan! Bapak-bapak ya saya tahu kalian bekerja tapi saya juga bayar di resort ini, semuanya di sini juga lagi bekerja lihatlah!” keluhnya, matanya menyala dengan kemarahan. Sayangnya Heartsa di acuhkan, mereka seperti tidak takut apapun benar-benar memancing kemurkaan Heartsa. Sementara itu, Gava berdiri agak jauh, menyaksikan semua keributan ini dengan senyum tersungging di bibirnya. Dia tahu persis apa yang sedang terjadi. Rencananya berjalan sesuai harapan. Tanpa terlihat oleh orang lain, dia sudah membayar mahal untuk memastikan para tukang potong rumput itu mengganggu momen bahagia Heartsa dan Nick. Gava ingin melihat seberapa jauh Nick bisa bersikap angkuh dalam situasi yang sulit ini. Gava berani melakukan itu sebab manajer hotel itu adalah wanita yang pernah berkenalan dengannya, sampai saat ini wanita itu masih sering menghubungi dia dan mengajaknya jalan saat dia ke Bali. Tidak lama kemudian hari yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung saat suara mesin pemotong rumput mulai mereda. Hujan gerimis turun, awalnya pelan, namun semakin lama semakin deras. Heartsa dan Nick saling berpandangan, kebingungan tercermin di wajah mereka. Keduanya ingin menyelesaikan sesi foto prewedding ini secepat mungkin, tetapi keadaan tidak mendukung akhirnya di lanjutkan ke esokan harinya. *** Malam terakhir di villa dipenuhi dengan suasana hangat dan kebersamaan. Keluarga Gava dan keluarga Heartsa berkumpul untuk makan malam bersama, menikmati hidangan lezat yang disiapkan oleh koki resort. Suara tawa dan obrolan hangat mengisi ruang makan, tetapi satu sosok tampak menghilang dari keramaian itu: Gava. Gava sengaja menghindar tidak suka berada di sana, terutama dengan kehadiran Nick dan Heartsa. Dia memilih untuk menjauh dan mencari ketenangan di tempat lain. Tanpa sepengetahuan Nick ternyata Heartsa merasa gelisah mencari-cari keberadaan Gava ingin mengucapkan terima kasih kepada Gava atas semua bantuannya selama ini, terutama saat insiden ular yang sempat membuatnya trauma apa lagi menginap di kamarnya kala itu. Sementara itu Gava sudah berada di sebuah bar kecil di dekat villa, memesan minuman yang bisa membantunya melupakan kerumitan yang sedang dia hadapi. Lampu redup dan musik yang mengalun lembut menjadi latar yang sempurna untuk menghilangkan segala pikiran. Gava duduk sendirian di bar, menyeruput minuman sambil memandangi keramaian di sekelilingnya. Suasana bar itu cozy, tapi hatinya masih terasa berat. Tiba-tiba, seorang wanita cantik mendekatinya. Rambutnya panjang dan bergelombang, dengan senyum yang bisa bikin orang jatuh hati. “Eh, hi! Aku liat kamu sendirian. Boleh gabung?” tanyanya dengan nada ceria. Gava melirik sekilas, lalu menjawab singkat, “Emhh, ya kenapa tidak.” Dia berusaha fokus pada minumannya, tapi ada rasa terganggu dalam hati. Cewek itu tampak agak terkejut, tapi tetap tersenyum. “Kenapa? Lagi nyari inspirasi atau pengen sendiri?” Gava mengangkat bahu, “Gak ada apa-apa. Cuma pengen tenang.” Dia kembali mengalihkan perhatian pada gelasnya, berharap si wanita itu mengerti dan pergi Wanita itu tidak menyerah, malah duduk di sebelah Gava dengan percaya diri. “Aku Luna, kamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah. Gava melirik sekilas, merasa sedikit terganggu. “Edi,” jawabnya acuh. “Edi? Hem kamu liburan?” Luna menatapnya, seolah mencoba mencari tahu lebih banyak tentang pria di hadapannya. “Supir travel, bos lagi di dalam sama buang air besar,” Gava menjawab sambil meneguk minuman, tidak terlalu peduli dengan rasa ingin tahunya. Luna terdiam sejenak, memandang Gava dari atas sampai bawah dengan ekspresi tidak percaya. “Supir travel?” Gava mengangguk santai. “Ya, mau keliling Bali atau sekitarnya, hubungi aku aja.” Dia menampilkan senyum kecil seolah meyakinkan. Luna tertawa ringan, tetapi senyumannya terlihat kecut. “Oh, wow! Pekerjaan yang menyenangkan ya.” Ada nada sinis di suaranya, seolah menilai status Gava. Gava merasakan sedikit ketidaknyamanan. “Ya lumayan, bisa jalan-jalan sambil kerja.” “Ya, iya sih. Tapi...,” Luna mencari alasan untuk pergi, tidak ingin terjebak dalam obrolan yang tidak menyenangkan sebab sepertinya dia salah sasaran.“Aku harus pergi. Ada temen yang nunggu,” katanya sambil bangkit dari tempat duduk. Gava hanya mengangguk, “Silahkan....enyahlah!” katanya saat wanita itu terburu-buru pergi. Di saat Gava masih meresapi momen kesendiriannya di bar, ponselnya bergetar. Dia melihat notifikasi pesan masuk dari Heartsa. Dengan rasa penasaran, dia langsung membuka pesan itu. "Kak Gava, bisa share location? Aku mau bertemu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD