Heartsa bergegas masuk kembali ke dalam area beach club, matanya langsung menangkap sosok Nick yang sedang mencarinya di tengah keramaian. Wajahnya terlihat sedikit cemas, tapi begitu melihat Heartsa, dia menghampirinya dengan cepat.
"Where have you been, babe? I've been looking for you!" tanya Nick dengan nada yang terdengar marah.
Heartsa, yang masih kesal, mengangkat alisnya. "Kamu ninggalin aku satu jam lebih Nick, aku sendirian di sini!" Suara Heartsa tidak kalah tinggi, membuat beberapa orang di sekitar mereka melirik penasaran.
"Come on, Heartsa. Aku lagi meeting aku tidak melakukan apapun selain bekerja," balas Nick sambil mencoba meredakan situasi, tapi nada suaranya tidak cukup meyakinkan.
Heartsa menatap Nick dengan tatapan tajam, jelas merasa tidak dihargai. "I’m done. Kalau kamu lebih peduli sama urusan bisnismu daripada aku, then go ahead, silahkan! Aku mau kembali ke Villa." katanya sambil meraih tasnya dan segera berjalan pergi, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekeliling mereka.
“Babe, tunggu!”
“Menyebalkan, kita itu LDR. Hanya beberapa minggu sekali bertemu tapi kamu seperti ini. Liburan apa ini? Omong kosong!” Gerutu Heartsa sambil berjalan pergi dan di kejar oleh Nick.
Di sudut ruangan, Gava yang sedang asyik berbincang dengan rekan-rekannya, membahas pertanyaan mengenai hubungan dia dengan Medina. "Bro, katanya lo bakal tunangan sama Medina? Udah fix, belum?" salah satu dari mereka bertanya sambil bercanda. Namun, Gava hanya setengah mendengarkan, matanya terus mengikuti pergerakan Heartsa dan Nick dari kejauhan.
Dia melihat perdebatan kecil di antara mereka, dan ketika Heartsa meninggalkan Nick dengan wajah marah, ada dorongan aneh di dadanya.
Medina, yang sedang ke toilet, tidak ada di situ. Gava mengabaikan pembicaraan tentang rencana tunangannya dan hanya berdiri, menatap punggung Heartsa yang semakin jauh.
“Tunangan? Siapa bilang?” Gava menoleh dengan ekspresi terkejut saat mendengar pertanyaan itu.
Salah satu temannya tertawa kecil. “Medina lah, dia selalu cerita itu ke kita-kita. Katanya lo udah siap dan sebentar lagi bakal ngelamar dia.”
Gava menggeleng sambil tersenyum kecut. “Gue nggak pernah bilang apa-apa soal itu. Itu cuma Medina yang terlalu jauh mikir,” jawabnya dengan nada santai, tapi ada sedikit rasa risih di dalamnya.
“Wah, jadi Medina yang salah tangkap nih?” temannya menatap Gava dengan tatapan menggoda. “Bro, lo hati-hati aja. Cewek kan bisa baper banget kalau udah mikir sejauh itu.”
Gava hanya menatap kosong ke arah luar, melihat sosok Heartsa yang semakin jauh meninggalkan tempat itu. “Nggak ada rencana apa-apa sama Medina,” ucapnya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada teman-temannya.
Gava memang tengah dekat dengan Medina, tetapi bukan hanya Medina yang ada di hidupnya. Ada beberapa perempuan lain yang juga sering bersamanya, meskipun tidak ada komitmen khusus. Bagi Gava, hal ini bukanlah masalah besar. Dia menikmati masa mudanya, berpikir bahwa seorang pria bebas memilih dan menjalani hidup sesuai keinginannya sebelum akhirnya menemukan yang benar-benar tepat.
“Why rush?” pikir Gava setiap kali ada yang mempertanyakan kedekatannya dengan beberapa perempuan. Menurutnya, ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati berbagai hubungan dan pengalaman, selagi belum ada satu pun yang membuatnya benar-benar ingin menetap.
Semakin malam, suasana di beach club itu semakin liar dan intens. Musik berdentum keras, menggema di seluruh ruangan terbuka yang menghadap lautan gelap. Lampu-lampu neon berwarna-warni—biru, ungu, dan merah muda—berkedip-kedip, menciptakan bayangan eksotis di atas lantai dansa. Di sekitar, orang-orang mulai hanyut dalam irama, tubuh mereka bergerak liar mengikuti setiap dentuman beat yang semakin cepat.
Alkohol mulai bergulir tanpa henti, gelas-gelas berisi koktail berwarna cerah diangkat tinggi, bersulang dalam keceriaan yang semakin memuncak. Aroma asin dari lautan bercampur dengan wewangian buah tropis dari minuman yang dihidangkan. Beberapa tamu mulai kehilangan kendali, tawa riuh dan obrolan semakin kencang, sementara suara ombak yang biasanya tenang kini hampir tak terdengar di tengah hingar-bingar musik dan tawa.
Energi di tempat itu semakin panas, seakan malam tak akan pernah berakhir.
Namun, Gava, yang biasanya ikut larut, kali ini menahan diri. .
Dia ingat tujuannya ke Bali adalah untuk berlibur bersama ayah, bunda, dan adiknya. Mabuk di malam ini bisa berakhir dengan ceramah panjang sampai pagi dari bundanya.
Dia menghela napas panjang, menyingkir dari kerumunan. Suara dentuman musik perlahan memudar saat dia menuju area yang lebih sepi. Gava mendadak teringat pada Heartsa. Ia menyapukan pandangan ke seisi ruangan, mencari sosoknya di antara kerumunan yang semakin padat. Tapi sepertinya Heartsa dan Nick sudah pergi dari sana. Entah kenapa, pikirannya mendadak tak bisa lepas dari gadis yang dulu mengisi hari-harinya dengan senyuman dan surat-surat anehnya itu.
Rasanya aneh bertemu lagi setelah bertahun-tahun, terutama saat melihat Heartsa yang kini berbeda.
Tidak berapa lama kemudian Gava memutuskan kembali ke Villa, Gava sadar malam ini bukan malam untuknya terlarut dalam pesta, dia ada di sana untuk keluarganya.
Di depan sana tiba-tiba Gava menghentikan mobil yang di bawa di tepi jalan, dan jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Heartsa berjalan sendirian. Penampilannya yang anggun dan menawan membuatnya tertegun. Rambutnya yang panjang tergerai, berpadu dengan gaun seksi namun elegan yang menyoroti kecantikan wajah dan kemolekan tubunya.
“Heartsa?” panggil Gava, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. “Apa yang kamu lakukan di jalanan sendirian, bahaya hey!” Gava membuka perlahan jendela mobilnya.
Ketika Heartsa menoleh, ekspresinya campur antara shock juga senang dia tidak sendiri Nick ada di area samping mengambil mobilnya. “Kak Gava, Kak Gava tolong aku! Aku butuh tumpangan. Izinin aku ikut, ya, kak?” Heartsa mengarahkan pandangannya ke arah lain, seolah melihat seseorang di sana.
Gava tidak bisa menahan senyum. “Ya, kenapa tidak,” jawabnya dengan nada santai. “Masuklah.” Gava tidak percaya orang yang dia cari meminta tumpangan padanya.
Heartsa pun melompat masuk ke dalam mobil, tampak sedikit terburu-buru. “Ayo jalan, kak! Aku ngantuk.” Katanya seperti menakuti sesuatu di arah yang jauh
Gava mengangguk sambil mengamati ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah Heartsa. “Ada masalah?” ingat Gava tadi Heartsa bertengkar dengan kekasihnya di dalam sana.
Heartsa menggeleng, namun Gava bisa melihat ada sesuatu yang mengganjal. “Tidak ada, hanya... merasa sedikit kesal,” jawabnya cepat.
Hanya kesal? Nggak putus aja? Bathin Gava spontan tersenyum bermonolog sendiri dengan dirinya.
Beberapa saat setelah Heartsa masuk mobil Gava tidak kunjung menjalankan mobilnya membuat Heartsa melihat pada laki-laki itu.
“Jalan, kak!”
“Ya, tolong seatbeltnya dulu. Menuju Villa hanya 30 menit, tidak ingin di salahkan berkali-kali lipat dari 30 menit atau seumur hidup gara-gara anaknya teman ayah kenapa-kenapa saat bersamaku."
Mendengar itu, Heartsa merasa sedikit malu. Tanpa berkata apa-apa, dia segera memasang seatbeltnya dengan tergesa-gesa.
“Sudah?” tanya Gava dengan nada menggoda, menoleh sejenak ke arah Heartsa.
“Sudah, ayo!” jawab Heartsa dengan cepat, sedikit tersipu. “Jalan sekarang, kak!”
Gava menginjak pedal gas, dan mobil pun melaju kencang menyusuri jalan yang sepi. Wajahnya tampak tenang, namun di balik eksterior dingin itu, ada kegugupan yang dia coba sembunyikan. Ujung matanya beberapa kali melirik ke arah Heartsa, yang duduk gelisah di sebelahnya.
Tutorial membuat mobil mogok, tutorial bocorin ban mobil. Bisa-bisanya tiba-tiba dia berpikir terbalik dari orang yang normal ynag ingin mobil mereka baik-baik saja
“Kenapa meninggalkan dia?” tanya Gava tiba-tiba, suaranya terdengar datar, tapi jelas. “Bertengkar?”
Heartsa hanya menggerakkan bahunya, menandakan rasa enggannya menjawab. Gava pun bisa apa di acuhkan dia pun memilih mengalihkan pandangannya keluar jendela, melihat jalanan malam yang remang.
Sudah setengah perjalan tapi sepatah katapun tidak juga keluar dari bibir Heartsa bahkan tadi Gava sudah mencoba mencairkan suasana dengan mengomentari pengguna jalan di luar sana tapi dia tetap tidak bereaksi, enggan untuk membalas berbasa-basi apalagi memulai percaka, Heartsa memperlakukannya seperti sekadar sopir.
Gava mengepalkan setir, mencoba menahan rasa kesal yang mulai menguar di dadanya.
Andai dia tahu... , begitu banyak wanita yang ingin berada di posisinya sekarang—duduk di sebelahku, dihantarkan olehku.
Dia menatap Heartsa sesaat, namun perempuan itu bahkan tidak melirik ke arahnya.Seolah keberadaan Gava sama sekali tidak berarti baginya. Gava merasa diabaikan, seperti hanya alat transportasi yang di butuhkan bukan sesuatu yang membantunya.
Bagaimana bisa dia mengacuhkanku seperti ini? Makinya dalam hati. Biasanya, hanya berada di dekatnya sudah cukup untuk membuat para wanita ingin berbicara, tertawa bahkan membuka-buka bajunya seperti cacing kepanasan atau setidaknya sedikit berinteraksi. Tapi Heartsa? Dia benar-benar membiarkan kesunyian itu menggantung di antara mereka.
Sebenarnya, Heartsa bukan tidak ingin berbicara dengan Gava. Dia hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri, memikirkan beberapa hal yang membebani hatinya. Pertama, tentang Nick—betapa menyebalkan pria itu malam ini, menghilang begitu saja dan membiarkan dia sendirian. Bukankah mereka berjanji untuk menikmati liburan bersama tanpa gangguan pekerjaan? Tapi Nick malah sibuk dengan kliennya, meninggalkan Heartsa terombang-ambing dalam keramaian dan pria-pria yang menggodanya.
Lalu, kedua orang tuanya. Mereka sama sekali tidak mencarinya atau bertanya kabar. Apakah mereka marah? Pikir Heartsa. Keadaan itu membuat dia semakin gelisah, dan bukannya melampiaskan kegelisahan itu dalam bentuk kata-kata, dia justru memilih diam, menekan semuanya dalam hati.
Sementara itu, Gava mungkin salah paham dengan sikap dinginnya. Sampai kemudian Heartsa pun bersuara mengudarakan sebuah deheman.
“Aku lari dari Nick. Dia di parkiran lagi ambil mobil.” Katanya dengan suara lemah seperti begitu kecewa dengan sikap nick. “Aku nggak mau balik ke Villa!” Kata Heartsa kemudian menoleh pada wajah Gava yang masih terus mengemudi.
"Apa?"
Gava menahan senyumnya, sulit menyembunyikan rasa puas yang mulai menggelegak dalam hatinya. Jari-jarinya mencengkeram setir dengan lebih santai, sementara matanya melirik Heartsa di kursi sebelahnya. Mendengar keluhan Heartsa tentang Nick, kekasihnya yang menyebalkan di matanya, membuat hati Gava terasa lebih ringan. Dia tak bisa menahan tawa dalam hati, merasa seperti ada bagian dari dirinya yang menang atas situasi ini.
Dengan tenang, ia mengarahkan mobil melintasi jalanan malam Bali yang semakin sepi, menikmati suasana di dalam mobil yang kian memanas dengan emosi Heartsa.
“Ngga mau kembali ke villa?” Gava mengulangi dengan nada santai, namun dalam hatinya ia merasa seperti memenangkan pertarungan kecil padahal dia tidak berniat merebut kekasih orang lain.
“Ngga mau.” Jawabannya lagi.
Gava menatap Heartsa sekilas, alisnya terangkat sedikit. “Jadi mau ke mana?” tanyanya, masih dengan nada tenang tapi terdengar sedikit geli.
“Entahlah.” Heartsa menghela napas, matanya menatap keluar jendela. “Kakak bisa turunkan aku di mana pun.”
Gava mendengus, hampir tidak percaya dengan permintaan itu. “Tidak waras? Menurunkan seorang wanita di jalanan? Dalam keadaan seperti ini?” Suaranya terdengar lebih keras, sedikit sarkastis. Ia memutar kemudi dengan pasti, memperlambat laju mobil.
“Ke suatu tempat?” tanya Gava dengan nada setengah penasaran, setengah mengejek.
Heartsa menghela napas berat, “Tidak ada. Tujuan aku ke sini Cuma untuk Nick,” ucapnya lirih, matanya tertuju ke luar jendela, mengingat segala usaha yang ia lakukan untuk datang ke Bali. Bahkan sampai harus berseteru dengan papanya, semua demi Nick.
Gava mengencangkan genggamannya pada setir, sedikit kesal dalam hati. Bucin sekali dia pikirnya, bibirnya tertarik tipis. Tunggu, kau belum kenal Gava. Siap-siap tenggelam dan sulit untuk menjauh darinya,nanti. Sesaat, tatapan dinginnya berubah penuh tekad.
Gava menggertakkan giginya pelan, lalu mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Apa yang barusan kau katakan, Captain oleng? Umpatnya. Astaga, aku tidak sedang mabuk padahal!
Dia menatap lurus ke jalan, berusaha menahan tawanya. Situasi di dalam mobil berubah hening, namun di kepalanya, pikirannya terus berputar, mempermainkan gagasan-gagasan yang tak ingin dia akui itu.