Pagi ini begitu Wina keluar dari kamar, Seorang wanita cantik tersenyum padanya.
“Selamat pagi calon kakak ipar.” Ucap wanita itu sambil meraih tangan Wina dan menyalaminya dengan penuh semangat. “Akhirnya kakak jombloku laku juga, jangan sungkan untuk melaporkan padaku jika laki-laki durjana itu berbuat macam-macam padamu oke! Namaku Dewi.” Ucapnya lagi dengan begitu semangat. Wina sedikit kebingungan untuk bersikap, sehingga dia hanya tersenyum saja sebelum menyebutkan namanya.
“Aku Wina.”
“Berhenti mengganggunya Dewi! Malaikat kembarmu itu hampir saja menghancurkan seisi rumahku dan kau malah disini dengan tanpa rasa bersalah? Dasar Adik durhaka.” Dewi hanya terkekeh saja sambil merangkul tangan Wina.
“Sudah seharusnya sebagai om yang baik adalah mengurus dua keponakanmu yang lucu-lucu itu. Lagipula salah siapa kau meninggalkan dua anak lucu milikku itu tanpa pamit huh?” Perdebatan itu menjadi sangat sengit dan panjang. Wina merasa berada di dunia yang asing tapi sekaligus menyenangkan.
“Kapan sih kalian gak ribut?” Wina menoleh ke asal suara dan menemukan Dimas sedang menggendong seorang anak laki-laki yang begitu tampan dan menggemaskan.
“Sayang, masa aku mau kenalan sama kakak ipar gak boleh sama kakak Durjana ini.” Adu Dewi pada suaminya. Dimas melirik Alvin sambil tangannya mengelus-elus kepala putranya dengan sayang. Wina menunduk tidak enak melihat Dimas ada di sana. Sebenarnya tanpa berkenalanpun Wina sudah tahu jika Dewi adalah istri dari Dimas bossnya, tapi mereka memang belum pernah bertemu langsung seperti ini.
“Udah mendingan lo berdua pulang sana, urus dua little monster itu, karena rumah gue sebentar lagi akan dihancurkan kalau mereka masih dibiarkan berkeliaran disini.” Ucap Alvin dengan nada yang lumayan keras sehingga Brian yang berada di gendongan Dimas dan hampir saja tidur sedikit kaget dan menangis. Baik Dewi ataupun Dimas melotot bersamaan ke arah Alvin, laki-laki itu meringis saja. Lupa jika keponakannya jika sudah mennagis akan sulit di diamkan. Dan lebih hebohnya lagi dua anak kembar itu adalah satu paket, jika satu menangis maka yang satu lagi ikut menangis.
Benar saja tidak perlu waktu lama dari arah ruang tamu seorang gadis kecil berjalan tertatih menuju ke arah mereka sambil menangis. Dibelakangnya ada seorang suster yang berusaha untuk mendiamkan tapi tidak dipedulikan.
“Lo harus tanggung jawab!” Ucap Dimas kesal. Dewi juga mulai sibuk mendiamkan Brie, tapi Alvin hanya terkekeh saja sambil menarik Wina keluar dari suasana rusuh itu.
Membawa wanita itu menyusuri lorong demi lorong hingga sampai di sebuah taman yang dipenuhi bunga mawar beraneka warna. Wanita itu masih membisu , bahkan ketika mereka berdua mulai duduk di sebuah Gazebo yang terlihat mewah seperti di dalam istana kerajaan.
“Apa saja yang kamu lakukan selama satu tahun aku tidak ada?” Tanya Alvin, kembali menggores semua luka Wina.
“Untuk apa kau tahu? Semua tentangku tidak penting untuk di bicarakan.” Jawaban Wina membuat Alvin menghembuskan napasnya lelah. Laki-laki itu tahu ada yang tidak beres dengan informasi yang didapatkan Wina tentang kepergiannya satu tahun lalu. Tapi ini lebih baik dibandingkan jika wanita itu tahu apa saja yang sudah Alvin alami karena berusaha menyelamatkan dia.
“Kau benar! Tidak penting. Tapi belakangan ini aku suka membicarakan hal-hal yang tidak penting.” Wina diam saja tidak menanggapi ucapan Alvin. Membuat laki-laki itu kembali mendesah. “Baiklah, maafkan aku karena—” Belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya, ponsel laki-laki itu berdering. Dan kalimat yang diucapkan Alvin ketika mengangkat telpon itu, membuat Wina semakin terluka.
“Hallo Vanessa kenapa? Iya gue ke sana sekarang.” Laki-laki itu berlari meninggalkan Wina tanpa mengucapkan apapun bahkan mungkin tidak ingat lagi jika ada Wina disana. Tanpa bisa dibendung, sebutir air mata Wina jatuh.
Dewi yang melihat hal itu dan mendengarkan percakapan Alvin di telpon menghembuskan napasnya kesal. Sambil masih menggendong Briana, wanita itu menghampiri Wina. Melihat Dewi mendekat, Wina buru-buru menghapus air matanya dan tersenyum pada wanita cantik itu.
“Aku pernah menggagalkan pernikahan Dimas tiga kali, aku pernah membuat seorang penjahat tertangkap basah oleh semua orang, dan masih banyak hal lain yang tidak akan mungkin dipikirkan orang bisa aku lakukan. Jika masalahmu hanya Vanessa si nenek sihir itu, aku akan membantumu dengan senang hati. Sudah lama aku tidak membuat siasat mengerjai orang lain.” Wina menatap Dewi tertarik.
“Menggagalkan pernikahan pak Dimas tiga kali? Bagaimana bisa? beliau adalah orang yang pintar dan cerdik.” Ucap Wina penasaran. Dewi terkikik geli.
“Tentu saja karena aku jauh lebih pintar dan cerdik darinya. Menjadi seorang wanita itu tidak boleh lemah, atau kamu akan di perlakukan tidak adil terus-menerus. Aku tahu mbak mungkin tidak akan percaya begitu saja padaku, tapi kak Alvin adalah orang yang baik dan bertanggungjawab. Aku bisa memastikan mbak akan hidup bahagia dengannya.” Ucap Dewi panjang lebar, tapi tetap saja tidak merubah ekspresi Wina yang tampak sedih dan terluka. “Urusan Vanessa biar aku yang mengatasinya, wanita itu memang sudah menjadi nenek sihir sejak pertama kali aku mengenalnya. Mbak Wina tidak perlu khawatir karena aku adalah Ratu Strategi begitulah Dimas menjuluki aku.” Ucapan Dewi sedikit mengganggu ketenangan Briana. Gadis kecil itu membuka matanya dan menemukan tatapan Wina kemudian tersenyum.
Melihat mata biru dan bulu mata lentik gadis kecil itu Wina tidak tahan untuk tidak menoel pipi gembulnya. Briana terkikik terlebih ketika Wina mulai meledeknya dengan candaan-candaan yang menggemaskan.
“Lihatkan, bahkan Monster keciku yang pemilih ini saja menyukaimu. Sudah bisa dipastikan mbak adalah calon terbaik untuk kak Alvin. Jika Vanessa berusaha mengganggu kalian aku sendiri yang akan menjebloskannya ke dalam kuburan.” Wina tertawa mendengar pemilihan kata yang diucapkan Dewi.
“Kenapa gadis manis ini disebut Monster? Dia lucu banget loh, aku aja gemes.” Dewi tertawa mendengar komentar Wina mengenai putrinya.
“Itu karena mbak belum melihat bagaimana luar biasanya putri kecilku dan putraku ketika di biarkan berkeliaran di ruangan penuh barang. Tapi walaupun begitu, mereka berdua adalah senjata yang paling ampuh untuk membuat kak Alvin jengkel dan akhirnya menuruti semua kemauanku.” Wina kembali dibuat tertawa. Tidak menyangka akan bertemu wanita semenyenangkan Dewi diantara semua masalahnya.
“Mereka kembar yah?” Tanya Wina penasaran. Dewi mengangguk dengan antusias. Selalu menyenangkan jika membicarakan dua malaikat nakalnya itu.
Saat ini Briana bahkan sudah berisik meminta di gendong oleh Wina. Dewi terkikik senang, karena Briana bisa dijadikan patokan untuk memilih orang baik dan jahat. Anak kecil pemilih itu seolah bisa merasakan isi hati orang dewasa, masih jelas diingatan Dewi bagaimana putri kecilnya itu ketika menjambak rambut Vanessa dan membuat pipi wanita itu tergores oleh kuku-kuku mungilnya. Saat itu bukannya membantu, Dewi malah membiarkannya dan tertawa terbahak di dalam hati. Briana dan Brian memang benar-benar malaikatnya.
“Oh iya ngomong-ngomong mbak Wina katanya punya adik yang lagi sakit yah?” Tanya Dewi mulai mencoba memasuki obrolan dalam dengan calon kakak iparnya itu. Wina mengangguk sedih, sambil sebelah tangannya mengelus-elus rambut Briana lembut.
“Iya kecelakaan, keadaanya lumayan parah.”
“Mbak tenang saja, karena Dimas sudah urus segalanya atas arahan kak Alvin. Pokoknya sekarang pikirkan saja kerjasama kita untuk memberi kak Alvin pelajaran begitu juga si nenek sihir Vanessa itu.” Wina tersenyum kemudian mengangguk. Berkenalan dengan Dewi seperti mengulang kembali perkenalannya dengan Olin dulu. Mereka berdua seperti memiliki keceriaan yang sama.
“Kamu mirip dengan Olin, kalian sama-sama ceria dan menyenangkan. Maaf jika aku kembali membahas ini, tapi berkenalan dengan kamu seperti kembali dipertemukan dengan Olin. Dia bahkan menyebutmu di dalam surat terakhir yang dia berikan untukku.” Ucap Wina jujur. Dewi tersenyum haru.
“Carol dan Olin memang satu paket mbak, apa yang olin tidak punya Carol miliki begitupun sebaliknya. Sama persis dengan Brian dan Briana mereka juga satu paket dalam hal kenakalan.” Kedua wanita itu terkikik. Dimas yang melihat dua wanita itu bercengkrama dengan asyik tersenyum kemudian ikut mendekat sambil menggendong Brian.
“Apa yang sedang dibicarakan para wanita.” Tanyanya kemudian tersenyum pada Wina.
“Tentu saja kami sedang membicarakan sepupu kesayanganmu yang sukses membuat kak Alvin meninggalkan calon pengantinnya begitu saja.” Sindir Dewi keras. Wina cukup kaget dengan keberanian Dewi mengucapkan itu.
“Vanessa masuk rumah sakit lagi sayang, makanya Alvin buru-buru ke sana karena dia kan dokter yang menangani dia.” Ucap Dimas, tapi bukan Dewi namanya jika tidak pandai membalikkan perkataan.
“Memangnya dokter di dunia ini hanya kak Alvin saja huh? Keluargamu kaya, bahkan doker terbaik di ujung dunia saja bisa kalian datangkan. Memang kalau sudah berniat mengganggu itu sulit untuk di hentikan. Pada dasarnya memang di dalam hati bukan soal yang terbaik, tapi yang diinginkan.” Dimas tersenyum mendengar jawaban istrinya. Beberapa bulan belakangan ini mereka memang kerap kali berdebat mengenai Vanessa. Wina yang mendengar perdebatan suami istri itu menjadi tidak enak sendiri.
“Apakah kita akan kembali melanjutkan perdebatan ini terus-menerus?” Tanya Dimas yang sudah mulai terganggu dengan masalah itu.
“Tentu saja tidak, karena aku lebih suka bertindak daripada berdebat. Kita lihat saja nanti siapa yang akan menang, Aku atau sepupu kesayanganmu itu. Yang jelas aku berada di pihak mbak Wina jika kamu atau kak Alvin mulai mengganggu dengan alasan Vanessa kamu tahu bahwa apa yang aku lakukan di belakang kalian akan sangat merepotkan.” Jawab Dewi dengan lancar dan penuh kesadaran. Wanita itu bahkan tersenyum begitu ramah ketika mengucapkan itu tapi dimata Dimas terlihat mengerikan karena laki-laki itu adalah seseorang yang paling tahu apa yang mampu dilakukan Dewi secara diam-diam atau terang-terangan.
“Apa tidak bisa kamu sedikit saja memahami posisi Vanessa? Dia tidak mungkin merepotkan Alvin jika tidak sakit.” Ucap Dimas mesih mencoba membuat Dewi mengerti. Tapi wanita itu justru tertawa sumbang.
“hah? Omong kosong. Sejak dulu yang dilakukan Vanessa memang hanya merepotkan kak Alvin saja baik sakit maupun sehat. Aku adalah saksi hidupnya.” Dewi tentu saja tidak mau kalah. Wina juga ikut kesal dengan ucapan Dimas berusan.
“Jika semua orang harus memahami posisi Vanessa pernahkah pak Dimas mengatakan pada Vanessa bahwa dia juga harus memahami posisi orang lain. Karena jika terus-terusan disuruh untuk mengerti tanpa pernah dimengerti juga melelahkan. Maaf jika saya lancang.” Dmas langsung terdiam mendengar perkataan Wina, sementara Dewi tertawa terbahak.
“Maaf tuan Dimas Prayogo, aku punya sekutu sekarang. Silahkan lawan saya sesuka hati anda, tapi ingat jika saya marah maka silahkan tidur di luar dan jangan coba-coba menyentuh dua monster kesayanganku.”
***