MUDIK

1132 Words
Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Mas Moondy fokus dengan kemudinya dan aku sesekali menatapnya penuh curiga. Otakku masih belum bisa menerima perubahan sikapnya malam ini kepadaku. "Jangan terus-terusan melihatku. Bisa tambah jatuh cinta kamu nanti padaku." Kata mas Moondy tanpa menoleh kepadaku. "Tambah ? Siapa memang yang mencintai kamu ?" "Ya kamulah, kamu kan selalu minta diperlakukan adil olehku apa itu bukan cinta namanya ?" "PD banget kamu mas. Aku ini istri kamu juga. Aku sama dengan Bulan statusnya. Jadi aku juga berhak dong meminta keadilan dari kamu ?" "Kamu aja tidak melakukan kewajibanmu padaku, untuk apa aku harus adil ?" "Kewajiban apa yang kamu maksud ?" Mas Moondy tak menjawabnya. Dia hanya tersenyum sinis. Astaga ! Aku tau apa yang dia maksud. "Jangan harap mas. Aku hanya akan memberikannya jika kamu sudah bisa mencintaiku." "Aku juga tidak akan meminta padamu. Cintaku hanya untuk Bulan. Aku juga tidak nafsu sama sekali padamu. Basan saja sudah kaya papan. Paham !" "Kalau begitu ceraikan aku mas. Untuk apa kamu harus mempertahankan pernikahan ini ? " "Nanti. Tunggulah. Tidak lama lagi aku akan menceraikanmu. Doakan Bulan segera hamil. Agar keinginanmu untuk berpisah dariku segera terkabul." "Jahat kamu mas !" "Tenanglah, aku juga tidak akan meminta hakku kepadamu, kalau bukan karena Bulan yang merengek-rengek agar aku tidur denganmu, aku tidak akan tidur sekamar denganmu." "Sudah cukup! Aku sudah tau. Tidak perlu kamu mengulanginya kembali. Kamu tidak perlu repot-repot tidur denganku. Aku juga gak butuh." Aku duduk memunggungi mas Moondy. Aku tak habis pikir jika di dunia ini ada lelaki sekejam dia. Aku tak sudi melihat wajahnya. Terlalu sakit perlakuan mas Moondy padaku. "Segera bereskan pakaianmu!" Perintah mas Moondy begitu kami sampai rumah. "Besok pagi setelah subuh kita akan pulang ke Solo." Lanjutnya. Aku tak menjawabnya, terus melangkah menuju kamarku. "Tujuan pertama kita kerumahmu. Besok setelah shalat ied, kita langsung kerumahku. Kita akan di rumahku selama 3 hari. Siapkan apa yang kamu butuhkan." Aku masih tetap tak menghiraukan perkataan mas Moondy. Hanya menghentikan langkahku untuk mendengarkan perkataannya. "Dan ingat, bersikaplah sebagai seorang istri yang baik. Sekali mereka curiga terhadap pernikahan kita karena tingkahmu,, kamu akan tau akibatnya. Pikirkan penyakit jantung bapakmu." Brak !!! Aku menutup pintu kamarku dengan kencang. Aku menangis. *** Kami berangkat menuju Solo selepas Subuh. Sepanjang perjalanan kami saling diam. Aku pura-pura tidur di mobil, dan sesekali kulirik mas Moondy yang fokus dengan kemudinya. Setelah 3 jam perjalanan sampai juga kami dirumahku. "Assalamuaikum Buk, Pak." Salam kami saat sampai di rumah. "Walaikumsalam. Oalah mas Moondy sama Pelangi." Sambut ibuku dari dalam. "Ayo masuk-masuk, istirahat dulu kalian. Pasti capek perjalanan jauh Semarang Solo." Perintah bapak. "Njih bapak, matursuwun." Ucap mas Moondy sopan. Pada dasarnya mas Moony ini orangnya sopan. Dia juga rajin beribadah kalau dirumah. Kami sering beribadah bersama jika lagi berkumpul. Namun belakangan memang aku memilih untuk menghindar dari mereka. Kujadikan pekerjaanku sebagai alasan untuk tidak shalat berjamaah dengan mereka. Tuhan ampunilah dosaku. Di depan orang tua kami dia selalu ramah. Mungkin dia pantas mendapatkan piala citra untuk aktingnya. Akting tentang sikap dia kepadaku saat di depan orang dan dibelakang orang. "Besok belilah kasur busa. Gak bisa aku tidur di kasur kapuk kaya gini !" Perintah mas Moondy begitu kami memasuki kamar. "Belajarlah hidup susah." "Aku tidak pernah susah dari kecil. Jadi kamu harus mengerti." Aku mendengus mendengar kesombongan mas Moondy. Ingin sekali aku melempar pakai tas yang saat sedang kupegang. "Pakainya kipas angin ? Ah aku lupa. Tau gitu kemarin sebelum kesini aku beliin ac dulu ." "Mas, berhentilah menghina. Bukankah dulu kamu juga pernah tidur disini ? Dulu kamu juga tidur kan ?" "Hanya sekali. Itu juga karena aku capek karena seharian resepsi pernikahan." "Lagian tujuan akhir kita kan bercerai, jadi untuk apa beli kasur busa dan AC." Ucapku menyindir. Dan berhasil membungkam kesombongan mas Moondy. *** Allahuakbar ... Allahuakbar ... Allahuakbar ... Lailahaillalah Allahuakbar .. Allahuakbar walilailham... Alhamdulillah setelah sebulan penuh kami melaksanakan ibadah puasa, akhirnya dipertemukan juga dengan hari kemenangan. Aku sibuk membantu ibuku memasak untuk besok. Sedangkan mas Moondy dia ikut bapakku ke masjid untuk shalat isya dan takbir di masjid. "Bangun . Bangun .... " Mas Moondy membangunkan tidurku. "Apa mas ?" "Tidurlah dibawah. Aku mau tidur." "Apa ?" "Aku tidak terbiasa tidur dikasur yang sempit, keras dan tanpa ac, pasti akan gerah. Sebaiknya kamu turun dan aku mau tidur disini. Aku ngantuk." Aku menggelengkan kepalaku. Aku sedang tidak ingin berdebat. Aku mengambil selimut dan tidur dibawah beralaskan karpet. Sungguh keterlaluan mas Moondy. Shalat ied telah usai. Kami semua berkumpul di ruang tengah. Sesuai tradisi, kami sungkem satu persatu. Dan tibalah saatnya aku sungkem kepada mas Moondy. "Mas, aku minta maaf kalau selama ini aku ada salah. Bimbing aku untuk menjadi istri yang baik yang bisa berbakti kepadamu." Pintaku saat aku sungkem pada mas Moondy. mas Moondy terdiam. Hening. Tiba-tiba sebuah kecupan hangat mendarat di ubun-ubunku. Hembusan nafasnya berdesir menembus jantungku. Aliran darahku mengalir dengan derasnya, mungkin jantungku sedang senam di dalam sana. Semoga mas Moondy tidak mendengarnya. "Aku juga minta maaf kalau ada salah. Kita sama-sama memperbaiki diri ya untuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah." MasyaAllah ..... Jika boleh bercerita, aku ingin segera loncat kesana kemari saat mas Moondy mengucap itu. Aku berharap ini bukan sekedar ucapannya. Aku berharap semoga mas Moondy tulus, dan kita benar-benar bisa memperbaiki diri. Setelah acara sungkem dan sarapan selesai, mas Moondy mengajakku untuk pulang menuju rumah orang tuanya, mertuaku. Sekitar pukul 1 siang kami berangkat. Perjalanan dari rumahku menuju rumah mertuku tidak begitu jauh, masih satu karesidenan Solo. Setelah kurang lebih satu jam kami sampai. Disana kami disambut oleh pembantu mas Moondy. Semua keluarga besar mas Moondy berkumpul jadi satu. "Hai... Anak mama sudah sampai." Sambut ibu mertuaku sambil memeluk dan menciumku. "Mama apa kabar ?" Tanyaku. "Baik sayang." "Hei ... Gimana udah isi belum ?" Tanya iparku. Kakak kandung mas Moondy. "Belum mbak." Jawabku. Gimana aku bisa hamil, sementara mas Moondy tak pernah sekalipun menyentuhku. **** Ini pertama kali aku memasuki kamar tidur mas Moondy selama setahun kita menikah. Kamar mas Moondy memiliki besar 2x lipat dibanding kamarku. Pantas jika dia mengeluh kamar di rumahku kecil. Tidak menutup kemungkinan jika kamar mas Moondy dan Bulan di rumah Semarang juga seperti ini. Rasa lelah menjulur ke seluruh tubuhku. Aku belum istirahat sama sekali dari dua hari kemarin. Kuputuskan untuk mandi sejenak sekaligus merilekskan diri. 15 menit cukup untukku mandi "Mas Moondy ?" Aku kaget melihat mas Moondy berada di kamar saat aku keluar dari kamar mandi. Kamar mas Moondy memiliki kamar mandi dalam. Bagaimana bisa tiba-tiba dia ada di dalam kamar ? Bukankah dia tadi sedang berkumpul dengan mama dan papa ? Dan bodohnya aku tidak membawa baju ganti di kamar mandi, sekarang aku sungguh menyesal tubuhku dilihat oleh mas Moondy tanpa sehelai benangpun. "Aku keluar. Cepat ganti bajumu. Aku mau istirahat." Teriak mas Moondy dari luar kamar mandi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD