BAB 9

1288 Words
   Pak Herman baru saja selesai menikmati makan siang di kantin khusus para guru, ia terlihat begitu santai sambil menikmati semilir angin yang berembus siang itu.    Hari ini ada beberapa hal yang aneh menurutnya secara pribadi, lorong-lorong sekolah terlihat sepi, bahkan tadi ada beberapa orang murid yang berlari cepat sampai tak sadar jika dirinya sedang ada di sana.    Merasa sangat penasaran, bukannya kembali ke ruang Guru B.K, ia malah berkeliaran demi mendapatkan informasi.    “Oke, deal!”    Pak Herman menghentikan langkahnya, ia menatap ke arah sumber suara dan cukup kaget melihat kejadian di sana. Murid-murid sekolah sedang berkumpul, sepertinya juga ada sesuatu yang sangat menarik akan segera terjadi.    Dengan cepat, pria itu mendekatkan diri. Ia diam dan hanya memerhatikan keributan yang sedang terjadi, semoga saja ini bukan sesuatu yang serius.    “Ranjiel! Ranjiel! Ranjiel!” sorak cewek-cewek dengan intonasi suara tinggi.    “Theo! Theo! Theo!” sorakan dengan intonasi yang sama kembali terdengar, bedanya kali ini menyorakkan nama Theo, salah satu anak G.A.S, dan orang yang cukup dekat dengan Ranjiel.    Pak Herman yang tak ingin menambah beban pikirannya segera menyerobot dan menembus kerumunan murid-murid yang ada di lapangan, ia menatap Ranjiel dan Theo yang kini sedang berdiri dengan wajah malas. Di hadapan keduanya juga sama, sepuluh orang muridnya sedang berdiri.    “Mulai!” seru Lia.    Pak Herman yang mendengar seruan itu segera masuk ke tengah pertandingan. “Setopppppp ... ngapain kalian, hah? Mau bikin masalah lagi?”    Semua murid cukup kaget dengan kehadiran guru itu, mereka berhenti bersorak, bahkan beberapa di antaranya melarikan diri dengan cepat dari sekitar lapangan.    “Awas ... Ada Pak Heran!” seru Ranjiel tanpa malu-malu. Cowok itu tertawa saat tatapan mata Pak Herman memindainya, ia langsung mengangkat tangan kanan dan membentuk huruf 'V' dengan kedua jarinya.    “Kaburrrrr ....” Theo mengangkat tangannya, ia mengepalkan tinju ke udara, dan cara itu cukup berhasil untuk mempermainkan Pak Herman hari ini.    “Mangapkan diri ini, Pak. Abisnya kalo liat Bapak, lidah saya mendadak keseleo.” Ranjiel lagi-lagi mengatakan sesuatu yang membuat Pak Herman semakin jengkel.    Theo yang mendengar ocehan sahabatnya itu tertawa kecil, cowok itu melemparkan bola basket yang ada di tangannya ke arah Pak Herman.    Dengan cepat Pak Herman menangkap bola basket tersebut. “Theo, kamu ngapain lempar bola ke Bapak?”    “Iseng aja, Pak.” Theo terlihat santai, ia kemudian merangkul pundak Ranjiel.    “Bubar! Ngapain kalian semua kumpul di sini. Dan kalian berdua, bukannya kelas XI IPS-5 lagi latihan, ngapain kalian malah gangguin?” tanya Pak Herman.    Ranjiel dan Theo menatap sekitar, para murid yang tadinya ramai kini sudah membubarkan diri. Kedua cowok itu terlihat semakin tak bersemangat, mereka kemudian meninggalkan lapangan basket tanpa mengucapkan apa pun.    “Mau ke mana kalian?” tanya Pak Herman.    “Mau nyari masalah, Pak,” sahut Ranjiel dan Theo bersamaan.    Pak Herman mengelus d**a, ia kemudian menatap kesepuluh cowok dari kelas XI IPS-5. Ia benar-benar lelah dengan jawaban Theo dan Ranjiel, dan dirinya berharap tidak mendapat jawaban dengan jenis yang sama dengan kesepuluh muridnya yang lain.    “Mereka yang duluan mulai, Pak.” Salah seorang dari cowok-cowok itu mengadu, berharap mendapatkan pembelaan.    “Udah, saya capek, mau balik ke kantor.” Setelah itu Pak Herman langsung pergi, sejujurnya ia heran, kenapa Ranjiel dan Theo tidak mendebatnya seperti biasa? Tapi ... ya sudahlah, mungkin setan yang bersemayam ditubuh keduanya sedang cuti kerja hari ini.    Sementara Pak Herman menuju ke ruangannya, Ranjiel dan Theo malah sedang bersantai di gudang sekolah. Kedua cowok keren itu sibuk dengan kegiatan masing-masing, sampai mereka tidak masuk ke dalam kelas. Alasannya cukup simpel, mereka sudah tahu semua materi yang akan dibahas, dan semua tugas yang ada di dalam buku sudah selesai mereka kerjakan.    “Jiel, gue denger si Rieka sekolah di sini juga.” Theo meletakkan ponselnya, ia bersandar pada dinding, dengan kedua kaki yang diletakan di atas meja.    “Lah, terus nape?” tanya Ranjiel dengan singkat, cowok itu juga tidak memerhatikan wajah Theo.    “Masalah gede oi, lo pan tau, si Rieka itu kacungnya si Tuti.”    Ranjiel yang mendengar nama Tuti teringat akan kejadian beberapa saat lalu, ia meletakkan ponselnya dan menatap Theo.    “Kebetulan banget lo bahas si Tuti. Gue punya info nih, nggak usah heboh pas denger.”    Theo menatap bingung. “Apaan? Tumbenan lo ngegosip.”    Ranjiel yang sudah mendapatkan perhatian dari Theo segera menceritakan saat ia melihat Tuti yang pergi ke bagian belakang sekolah mereka, ia juga mengatakan ciri-ciri dari pria yang bersama Tuti dengan detail.    “Pas denger cerita lo, gue jadi mikir. Sebenernya, di belakang sekolah ada apaan yah?” Theo terlihat mulai penasaran.    “Lo pikir kalo gue tau, gue bakalan minta pendapat lo?” Ranjiel balik bertanya, tetapi dengan raut wajah masam.    “Enggak sih ... terus gimana? Lo mau nyelidikin?” tanya Theo.    Ranjiel yang mendapat pertanyaan demikian terlihat berpikir, jika ia melakukan penyelidikan memang bukan hal yang salah. Tetapi ... yang jadi masalah jika penyelidikannya tidak menghasilkan apa pun. Itu sama saja dengan buang-buang waktu.    “Woi! Kesambet pocong lo yak?” Theo bicara cukup keras.    “Buset ... lo doyan bener nyumpahin temen.”    “Mangkanya nggak usah sok ngayal. Lo kagak cocok pakek tampang serius begitu,” balas Theo.    Ranjiel yang mendengar penuturan Theo mencibir pelan, ia kemudian memutar otaknya yang cemerlang itu secepat mungkin.    “Eh, Teh Oreo, lo mau kagak ikut ama gue besok subuh.” Ranjiel menatap temannya itu dengan senyuman lebar.    “Mau ngapain lo? Sholat subuh? Udah pindah agama lo?” tanya Theo tanpa pikir panjang.    Ranjiel yang mendengar jawaban Theo sedikit kesal. Sedangkan Theo yang tahu rasa kesal Ranjiel tidak peduli dan berpura-pura tak tahu.    “Ya kagak, gue mau ngajakin lo nyelidikin si Tuti. Kalo sendirian mah gue juga kagak punya iman,” ucap Ranjiel dengan wajah agak pucat, ia sering mendengar gosip jika di belakang sekolah mereka memang angker, dan sialnya lagi, sekolah mereka berdiri di atas kuburan tua yang sudah lama tergusur.    “Kagak deh, kalo lo emang mau nyelidikin, mending ajakim kacung-kacung setia lo itu.”    “Gue pan niatnya mau jadiin lo kacung gue juga,” balas Ranjiel.    “Anjeli, kasta gua bukan kacung ye, nggak usah ngajak gelud.”    “Iyah ... iyah ... iyah ... elu pan Kaum Dalit.”    Theo membelalakkan mata. “Anjeli, lo beneran ngajak ribut. Anjirrrr ... sini gue potong titit lo.”    Bagaimana Theo tak kesal, dengan seenaknya Ranjiel mengatakan ia berasal dari Kaum Dalit. Kaum Dalit atau juga Paria selama ini dianggap sebagai kasta terendah. Dengan alasan 'tak murni', mereka dilarang masuk ke mayoritas kuil, bahkan seringkali dianggap komunitas yang 'untouchable' alias 'haram' untuk disentuh. Keberadaan mereka tak dianggap dalam masyarakat tradisional India.    “Jangan emosi dong, Kaum Dalit. Iyeh, gue paham, palingan lo subuh-subuh masih ngelonin bini, pan?”    “Lah, itu lo tau. Udah ah ... gue mau ke kelas, bentar lagi jam pulang.” Setelah itu Theo berdiri, ia segera keluar dari gudang.    Ranjiel yang kini ditinggal seorang diri kembali meraih ponselnya, cowok itu menghubungi Fadhol dan Samudra untuk membahas rencananya. Ia benar-benar penasaran dengan kegiatan apa yang Tuti lakukan di belakang sekolah, apalagi cewek itu bersama seseorang dengan jenis kelamin jantan.    “Jangan-jangan Tuti main kuda-kudaan lagi,” ujar Ranjiel pada dirinya sendiri.    “Harus bawa kamera ini mah, sapa tau nemu bokep live action.” Cowok itu terlihat semakin bersemangat, ia benar-benar harus menyelidiki kegiatan Tuti dengan baik.    Setelah beberapa menit berlalu, dan rencana juga sudah tersusun rapi di grup chat, Ranjiel keluar dari gudang sekolah. Cowok itu harus cepat menjemput sang pacar, ia punya janji untuk pergi ke beberapa tempat dengan Lia.    Senyuman Ranjiel terpasang dengan rapi, ia terlihat sangat bahagia. Banyak hal yang akan ia lakukan besok, dan semoga saja sesuatu yang besar terjadi dengan ajaib.    “Mikirin yang gede-gede, gue kok malah kangen semangka di d**a Yaya.” Ranjiel tertawa kecil, memikirkan buah d**a pacarnya yang berukuran lumayan besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD