Episode 4 : Sepenggal Cerita Tentang Dharen

1516 Words
“Jadi, Dharen satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia?” Episode 4 : Sepenggal Cerita Tentang Dharen *** Shelena terbangun dengan kepala yang terasa sangat pusing sekaligus berat. Selain terasa sakit semua, tubuhnya juga tidak bertenaga. Namun ketika wajah Shean menjadi wajah pertama yang menyambutnya, semua rasa sakit itu hilang seketika.  Senyum bahagia menghiasi wajah cantik Shelena hanya karena mendapati Shean tertidur terduduk, di sofa kecil di sebelahnya, dengan wajah pria itu yang bersemayam tak jauh dari bantal tempat Shelena berbaring. Wajah tampan Shean terlihat kelelahan. Dan tiba-tiba saja, Shelena tersadar; bukankah tadinya ia sedang bersama pria asing, di tempat yang juga tak kalah asing dan sampai Shelena pikir sebagai dunia lain? Shelena sedang menikmati indahnya alam bebas, matahari terbenam yang begitu kental dengan warna jingga, sambil mengobati luka gores pria berambut emas? Lantas, kenapa sekarang Shelena justru berada di kamar dan bahkan Shean terjaga untuknya? Selain itu, Shelena juga merasa sangat kelelahan seperti baru saja melakukan hal yang begitu menguras tenaga, semacam melakukan perjalanan jauh? Belum sempat mendapat jawaban dari pertanyaan yang memenuhi benaknya, Shelena dikejutkan oleh sebelah tangan Shean yang menahan sebelah wajah Shelena. Pria itu terbangun dan menatapnya sarat kecemasan. Dan selain masih terlihat sangat mengantuk, Shean juga terlihat kelelahan. “Kamu enggak apa-apa? Lena, jawab Kakak,” ulang Shean makin cemas lantaran Shelena tak kunjung menjawab pertanyaannya. Bahkan, adiknya itu terkesan linglung. Shelena terkesiap dan beranjak dari lamunannya. Ia buru-buru mengulas senyum membalas Shean. “Sebenarnya, aku kenapa?” batin Shelena. Jika diingat, semua keanehan bermula ketika tiba-tiba, buku usang berjudul Pernikahan Tuan Putri Rosella, bergerak-gerak dan mengeluarkan aura panas, lengkap dengan cahaya yang begitu menyilaukan bahkan menarik Shelena untuk masuk ke dalam buku tersebut. Hal yang sangat aneh dan tidak bisa dimengerti, terlebih diterima akal sehat. Bahkan setelah kejadian itu, tiba-tiba saja Shelena menumpangi sebuah delman tak berkusir, peperangan, serta semua hal yang asing, meski alam bebas di sana begitu membuat Shelena terpikat. “Benar, satu minggu ini, kamu bersama Dharen?” tanya Shean. Shelena terdiam tak percaya. “Atas dasar apa? Satu minggu bagaimana? Bukankah—” Shelena nyaris mengelak, tetapi ia justru kembali bingung.  Shelena saja tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk mengenai Dharen. Shelena hanya mengenal pria itu sebatas nama, terlepas dari kenyataan Dharen yang menjebaknya dalam perjodohan. Dan mau-tidak mau, Shelena harus menikah dengan pria itu karena masa depan keluarganya menjadi taruhan. “Memangnya, ... apa yang sebenarnya terjadi, Kak?” Shelena justru balik bertanya. “Kenapa Kakak, menuduhku menghabiskan waktu satu minggu bersama Dharen?” Shean menatap Shelena tidak yakin. Antara ragu sekaligus kecewa. “Selama ini Shelena tidak pernah berbohong. Bahkan Shelena merupakan orang paling jujur yang pernah kutemui di dunia ini. Namun, fakta yang bergulir sekarang sangat berbeda dengan pengakuan Dharen. Terlebih kemarin malam, pria arogan itu dengan bangganya membawa pulang Shelena dalam keadaan terlelap,” batin Shean. Dan apa yang Shean pikirkan, mau tak mau membuatnya teringat kejadian tersebut. Kejadian ketika Dharen mengantarkan Shelena pulang. “Kenapa Shelena bisa bersamamu?” tanya Shean kemarin malam. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah sudah sewajarnya, kami menghabiskan waktu bersama karena sebentar lagi, kami akan menikah?” balas Dharen dengan entengnya tanpa membiarkan orang lain termasuk pelayan-pelayan Shelena mengambil alih Shelena dari gendongannya. “Biarkan aku saja yang mengantarkannya ke kamar,” tolak Dharen ketika Shean mencoba mengambil alih Shelena. “Berikan Shelena kepadaku!” tuntut Shean geram lantaran ulah Dharen sukses membuat emosinya mendidih. Dharen yang masih mengenakan setelan jas merah maroon, tak mengindahkan tuntutan Shean. “Aku sudah mendapat izin dari papamu,” ucapnya sebelum berlalu mengikuti panduan Ratri. Dan jika mengingat kejadian itu, Shean jadi ragu. Ia bahkan ragu pada Shelena. Tidak mungkin adiknya itu tidak memiliki hubungan spesial dengan Dharen. Bayangkan saja, setelah tiba-tiba menghilang padahal biasanya keluar dari kamar saja juga jika ada hal yang sangat penting, tetapi kemarin Shelena justru pulang dalam keadaan tertidur pulas, dan bahkan dalam gendongan Dharen! Anehnya, setelah dua hari dua malam pulang diantar Dharen, Shelena baru terbangun. Namun jika melihat ekspresi apalagi tatapan Shelena yang terlihat begitu polos, adiknya itu seperti tidak tahu-menahu. Bahkan Shelena terkesan kebingungan? “Kakak, tolong jawab aku. Sebenarnya ada apa? Kenapa Kakak diam, cemas begitu?” rengek Shelena lantaran Shean hanya diam terpaku menatapnya dengan pandangan sedih. “Apakah aku telah melakukan kesalahan?” “Tidak ... tidak. Sejak awal, aku memang sudah salah karena terlahir menjadi wanita. Aku memang tidak seharusnya ada ....” Shelena tertunduk sedih. “Lena, apa maksudmu? Jangan berkata seperti itu!” tegur Shean yang menjadi merasa sangat terluka. Shelena mulai merasa takut. Ia takut telah melakukan kesalahan yang berdampak fatal pada keluarganya khususnya Shean. Dengan hati yang terasa perih di antara kesedihan yang menguasainya, ia berkata, “maaf, Kak. Namun ke depannya aku janji, untuk lebih berhati-hati. Sebisa mungkin, aku akan menjadi orang yang berguna untuk keluarga ini,” ucapnya sambil tertunduk sedih.  “Meski kalau boleh memilih, alangkah baiknya tidak ada perjodohan. Bahkan aku lebih suka menggantikannya dengan prestasi,” batin Shelena tak kuasa menuangkannya.  Karena sampai kapan pun, apa yang dilakukan Shelena jika itu bukan perintah dari papanya, pasti akan selalu salah. Karena telah terlahir ke dunia juga sudah menjadi kesalahan terbesar Shelena, di mata papanya. *** Shelena terus bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada dirinya? Apalagi, selain tidak memberi penjelasan, ekspresi Shean ketika meninggalkannya begitu sarat rasa kecewa bahkan marah. Dan kebingungan itu terus berlanjut, meski Shelena sudah membenamkan dirinya ke dalam bak besar yang dipenuhi busa dan kelopak bunga mawar merah. “Tetap enggak menemukan jawaban ... kenapa Kak Shean begitu kecewa bahkan marah? Kenapa juga aku merasa aneh dengan semua yang terjadi, setelah aku mendapatkan buku Pernikahan Tuan Putri Rosella? Tapi tunggu ....” Yang Shelena bingungkan, kenapa buku usang itu berada persis di sebelahnya? Siapa yang menaruhnya di sana? Bukankah sebelumnya, tidak ada apa-apa di sekitar bak mandinya, selain handuk berikut pakaian ganti yang sudah disiapkan Ratri? Tidak mungkin juga, kan, buku itu jalan sendiri? Memikirkan semua itu, Shelena menjadi curiga. Shelena merasa ada yang tidak beres dengan buku tersebut. Ia bergegas meraih handuk yang kebetulan ada di sebelahnya, kemudian melakukan semuanya dengan cepat. Kemudian, gadis itu bergegas meninggalkan kamar mandi sambil membawa buku usang pemberian Shean. Ratri yang terjaga di depan pintu kamar mandi pun segera mengikuti Shelena. “Nona mau langsung disiapkan sarapan?” tanyanya. Shelena yang menghentikan langkahnya kemudian balik badan, menatap Ratri yang seketika itu juga langsung berhenti melangkah. Ratri tertunduk sopan dengan kedua tangan tersimpan di depan perut. Wanita yang di setiap harinya mengenakan setelan panjang motif batik itu kembali bersikap santun kepadanya. “Ratri, kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Shelena yang kemudian menarik sebelah tangan Ratri untuk mengikutinya.  Bersamaan dengan itu, Shean yang memasuki kamar menjadi undur dan memilih untuk menguping. Shelena duduk di jok mengjadap cermin rias, sedangkan Ratri terduduk di hadapannya. “Mengenai Dharen, Ratri. Tolong ceritakan semuanya. Ceritakan semua yang kamu tahu tentang dia. Oh, iya, ... apa kamu juga punya fotonya?” Baru mendengar nama Dharen disebut Shelena saja, Ratri sudah begitu antusias. Apalagi ketika Nonanya itu juga sampai meminta foto Dharen. Namun, lain halnya dengan Ratri yang begitu bersemangat dan langsung memberikan ponselnya, setelah mendapatkan banyak foto Dharen hanya dengan mengetikkan nama pria itu di pencarian internet, Shean yang masih menyimak justru merasa sangat kesal. Kedua tangan Shean, sampai mengepal. Terlebih ketika seulas senyum sampai menghiasi wajah cantik Shelena. Kedua mata indah Shelena juga sampai menjadi berbinar-binar, tatkala gadis itu menatap layar ponsel Ratri. “Mata cokelat ini ... mata dingin yang menyimpan banyak kehangatan,” batin Shelena terkagum-kagum. Shelena masih menatap lekat setiap lekuk wajah Dharen. Meski gayanya kontras dari Dharen yang ia temui di dunia asing, tetapi wajah sekaligus garis ekspresi keduanya teramat mirip. Pun meski rambut Dharen yang di foto tidak berwarna emas. Dalam foto tersebut, Dharen terlihat sangat gagah memakai setelan jas hitam, berikut rambutnya yang juga berwarna hitam. “Bukankah Tuan Dharen sangat tampan, Nona?” tanya Ratri. Shelena hanya tersipu sambil mengembalikan ponsel Ratri. Melihat tanggapan Shelena, Ratri makin gemas. “Saat mengantar Nona, Tuan Dharen tidak mengizinkan siapa pun menyentuh Nona, bahkan Tuan Muda Shean sekalipun!” “Tuan Dharen terlihat sangat menyayangi Nona!” Shelena tersenyum dengan sendirinya lantaran ia teringat pertemuan awalnya dengan Dharen. Pria itu menolong, bahkan berkorban untuknya. “Dia memang sangat baik. Dia juga yang menolongku. Kalau tidak ada dia, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku ...?” Mendapati Shelena yang sampai menerka-nerka dan jelas sedang mengutarakan apa yang memenuhi pikirannya, Ratri semakin gemas dan tak sabar melihat Nonanya itu berkencan lagi dengan salah satu pria terkeren di negara mereka. “Kemarin kami naik kuda. Dia membawaku ke tempat yang sangat indah, Ratri! Kami melihat matahari terbenam!” Lanjutan cerita Shelena sampai membuat Ratri menitikkan air mata saking bahagianya. “Ratri, kok kamu menangis?” Ratri segera menyeka air matanya. “Seumur-umur kerja di sini, aku belum pernah melihat Nona sebahagia sekarang!” Balasan Ratri juga membuat Shelena tak kalah terharu. Pantas Ratri mengatakan itu, lantaran sejak kecil pun, mereka sudah bersama dikarenakan Ratri merupakan anak dari ART kepercayaan di rumah orang tua Shelena. “Iya, Ratri. Aku memang sangat bahagia. Karena Dharen telah membuatku merasakan kebebasan yang selama ini belum pernah kurasakan!” ucap Shelena sambil menahan kedua bahu Ratri. Dalam diamnya, Shean juga menitikkan air mata. “Jadi, Dharen satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia?” batinnya. Seharusnya, melihat Shelena begitu bahagia, Shean juga bahagia lantaran selama ini, hal tersebutlah yang menjadi tujuannya. Namun, melihat kebahagiaan yang begitu besar itu justru karena orang lain bahkan Dharen, rasanya, ... Shean justru menelan banyak luka. Namun, kenapa ia begitu terluka melihat Shelena bahagia karena Dharen? “Kalau begitu, tolong keringkan rambutku, ya, Ratri,” pinta Shelena yang kemudian bersiap membaca buku pemberian Shean, yang semenjak awal obrolannya dengan Ratri, ia simpan dalam pangkuan. “Siap, Nona. Dengan senang hati!” seru Ratri yang begitu bersemangat. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD