Natia tidak menemukan Letta di kamarnya pagi ini. Dia menyangka gadis itu sedang mandi atau sudah bersiap-siap di meja makan. Wanita tambun itu mengecek pekerjaan para pelayan yang membersihkan beberapa bagian rumah sebelum bergegas menuju kamar mendiang Anastasia.
Almarhum nenek Letta menganggap hubungan mereka bukan lagi sebagai majikan dan asisten tapi sudah seperti sahabat sekaligus saudara sendiri. Semasa Anastasia hdup, hanya dirinya yang boleh mengakses kamar itu selain Violetta.
Betapa terkejutnya Natia ketika menemukan Letta masih tidur pulas di ranjang neneknya. Sebuah buku terjatuh di lantai dalam keadaan terbuka.
“Oh my Lord,” ucapnya ketika hendak membuka tirai di kamar Granny Ana. "Miss Lettaaaa! Ayo bangun, Young Lady!"
Letta hanya mengeliat lalu menutup kepalanya dengan selimut.
Natia sudah hapal perilaku Letta yang susah dibangunkan, bahkan di hari pertama sekolah dia pun terlambat. Akhirnya wanita berusia lima puluhan itu pergi ke meja kecil dekat jendela. Di sana terdapat teko air dan cangkir. Dibawanya teko itu mendekat ke ranjang tempat tidur lalu membuka selimut yang menutupi kepala si rambut merah. Dia menuangkan sedikit air ke telapak tangan lalu memercikkannya ke wajah gadis yang masih terlelap itu.
Letta gelagapan bangun dan menangkis tangan Natia dari wajahnya. Terpaksa dia membuka mata kemudian duduk. Awalnya gadis yang masih mengantuk itu mau protes, tapi urung dilakukan begitu melihat cahaya terang benderang dari jendela yang terbuka.
"Nanny, jam berapa sekarang?" Matanya mengerjap menahan silaunya sinar matahari yang masuk dari jendela.
"Enam lewat lima belas,” ujar Natia santai.
Letta terbelalak. "What? Kenapa tidak membangunkanku jam lima?"
Wanita yang dipanggilnya Nanny itu berkacak pinggang seraya memberikan tatapan 'dasar tukang tidur'. Tak lupa pula ia menggelengkan kepalanya berulang kali melihat ekspresi panik di wajah gadis muda itu.
Letta meloncat secepat kilat dari tempat tidur lalu segera berlari ke kamarnya. Ia harus bersiap-siap hanya dalam waktu sepuluh menit. Untung saja semua baju dan peralatan pribadinya sudah ter-packing dalam koper. Kemarin Natia membantunya mempersiapkan semua keperluan setelah pulang sekolah.
Usai mengenakan seragam dan mantel almamaternya, Letta menuju meja rias untuk bersisir. Seperti biasa diikatnya rambut lebat itu ke belakang membentuk ekor kuda. Tidak lama kemudian Natia masuk ke kamar membawakan bekal sarapan.
"Niko akan membawa kopermu turun. Minumlah s**u ini dulu, kamu bisa sarapan di mobil," kata Nanny.
Senyuman Letta mengembang saat meraih gelas yang diberikan Nanny. Ditandaskannya segelas s**u itu dengan kecepatan yang mengagumkan. Setelah meletakkan gelas di nampan, Letta menunduk untuk memasang sepatu. Tanpa sengaja liontin kalung batu kuning jernih menggelantung di lehernya.
Natia memperhatikan kalung itu dengan seksama. Perlahan didekatinya Letta dan meletakkan nampan yang dibawanya ke atas nakas.
"Kau menemukan kalung Ana di mana?" tanya Natia.
Letta yang sedang sibuk menalikan sepatunya sedikit terkejut. "Oh, ini. Tergeletak begitu saja di sudut lantai tempat tidur Granny," jawab Letta.
Dia tidak menceritakan detil penemuan kalung itu untuk dirinya sendiri. Pun ketika dia merasakan getaran aneh yang membuatnya ingin pergi ke kamar neneknya setiap malam. Tidak pula menceritakan jika liontin itu teraba hangat serta bergetar halus sejak pertemuannya dengan Alec.
Ah, cowok aneh itu.
Letta berharap tidak banyak berinteraksi dengannya lagi sejak kejadian kemarin. Apa mungkin itu bisa terjadi, jika dalam beberapa hari ke depan dia harus mengikuti acara karya wisata bersamannya. Belum lagi nomor kursi bus yang didapatnya kemungkinan besar berdekatan. Mengingat mereka melakukan registrasi keikutsertaan dalam waktu bersamaan.
"Aneh, kalung itu sudah lama dicarinya. Aku pun sudah memeriksa seluruh kamar. Kupikir sudah hilang di kebun anggur. Maklum Granny-mu sudah pikun," kata Nanny dengan pandangan menghangat.
Perkataan Natia mengembalikan konsentrasinya dalam mengikat tali sepatu setelah terhenti beberapa saat yang lalu. Selesai memakai sepatunya, Letta duduk tegak kembali menghadap meja rias. Natia beringsut ke belakangnya sehingga pantulan mereka berdua muncul di cermin.
"Kamu benar-benar mirip dengannya, Letta. Hanya warna mata kalian saja yang sedikit berbeda," kata Nanny sambil memeluk Letta.
"I miss her too, Nanny."
Letta membalas pelukan itu dengan hangat sambil memejamkan matanya. Nanny sangat baik, mengingatkannya ada Granny yang suka tiba-tiba memeluknya dari belakang. Ketika mereka sedang berpelukan, terdengar langkah kaki memasuki kamar.
"Are you ready?" tanya Niko yang dijawab Letta dengan anggukan.
"Kopernya saja, Niko. Ranselnya biar kubawa sendiri," ujar Letta ketika Niko hendak mengambil ransel yang tergeletak di kasur.
Niko menenteng koper berwarna hijau botol itu seolah-olah beratnya tidak berarti. Sambil tersenyum melihat Letta dan istrinya yang sedang berpelukan, dia keluar kamar. Mereka belum dikaruniai anak hingga setua itu. Hal itulah yang membuat dirinya dan Natia sangat menyayangi Violetta.
Cucu tunggal Annastasia itu memang sangat menggemaskan sejak bayi. Sayang, dia kurang beruntung. Gadis manis itu telah menjadi yatim piatu karena kecelakaan pesawat yang menimpa kedua orang tuanya. Dan yang lebih menyedihkan lagi, kini dia juga harus kehilangan nenek yang sangat menyayanginya.
"Bawa sarapanmu, cepat! Selamat bersenang-senang, Young Lady." Nanny Natia melepaskan pelukannya dan mencium pipi gadis itu.
"I will. Makasih bekalnya." Letta memasang ransel di punggungnya lalu menyambar kotak makan di meja. Dia setengah berlari keluar kamar menyusul Niko.
Begitu Letta sampai di garasi mobil, Niko sudah selesai meletakkan koper di bagasi. Dia masuk ke kabin penumpang depan, disusul Niko di kursi sopir.
"Kukira aku akan terlambat," ujar Letta sambil menutup pintu.
"Makan saja sarapanmu dan pasang sabuk pengaman. Serahkan saja urusan itu padaku," jawab Niko sambil mengedipkan sebelah matanya.
Letta menuruti perintah Niko. Setelah memasang seatbelt, dia mencomot sandwich buatan Nanny. Sedap seperti biasanya, roti isi fillet ayam krispi dan saus mayo pedas dengan ekstra tomat dan bawang putih. Natia hapal selera Letta dengan baik.
Niko sudah membawa mobil meluncur di jalanan. Dia tersenyum melihat Letta yang sedang makan dengan lahap. Gadis di sebelahnya itu membuat Nico merindukan nyonya tua itu. Suatu kehormatan baginya bisa menjadi sopir kepercayaan Ana dan juga cucu wanita ramah itu.
Letta balas tersenyum ke arah Niko. "Kau tahu, sebentar lagi aku akan cukup usia untuk bawa mobil sendiri," kata Letta di antara kunyahannya.
"Iya, aku tahu," balas Niko singkat. Suami Natia itu adalah favorit Letta sejak kecil. Laki-laki itu siap mengantar dirinya dan Granny ke mana saja. Letta kecil selalu ingin bisa menyetir mobil seperti Niko sekaligus membayangkan dirinya menjadi seorang pembalap.
"Masih ingat tidak dengan janjimu?" tanya Letta.
"He em." Konsentrasi Niko masih terpusat ke jalan.
Ketika berusia 14 tahun, Letta mulai membujuk Niko untuk mengajarinya menyetir–tapi tidak pernah berhasil.
"Dan bukankah kau juga masih ingat kalau aku akan mengajarimu menyetir ketika usiamu sudah cukup bertanggung jawab, Nona Kecil," imbuhnya.
Letta mengangguk senang, membayangkan sebentar lagi dia layak menyetir dan mendapatkan SIM. Itu artinya hanya tinggal beberapa hari lagi dia menjadi seorang gadis dewasa yang bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Dengan kelihaian Niko, mereka sampai di sekolah tepat waktu. Teman-teman Letta sudah mengantri untuk masuk ke dalam bus-bus yang sudah terparkir. Menurut keterangan formulir yang dikumpulkannya kemarin, ia mendapat jatah tempat duduk pada bus nomor 3. Letaknya paling belakang diantara deretan bus yang terparkir. Suami Natia bergegas mengeluarkan koper dari bagasi. Dia hendak mengantar gadis favoritnya menuju bus.
"Sudah, biar kubawa sendiri kopernya. Aku malu dilihat teman-teman," kata Letta.
"Okelah, selamat bersenang-senang," jawab Niko sambil menyerahkan pegangan koper pada Letta. Gadis itu menarik geretan koper agar menjadi lebih panjang agar mudah menyeretnya nanti. Dia mulai melangkah menjauh, tapi beberapa saat kemudian langkahnya terhenti. Letta berhenti sejenak dan berbalik menghadap Niko.
"Oh, iya Niko?"
"Ada apa?" tanya Niko.
"Tiga hari lagi kutagih janjimu," katanya sambil berjalan lagi meninggalkan pria tua itu.
"Siap, Princess!"
"Bye," tukas Letta sambil berbalik kembali dan berjalan cepat menuju busnya.
"Bersenang-senanglah!" ujar pria ramah itu.
*
bersambung...