Sengatan Listrik

1260 Words
Letta baru menyadari bahwa Vaskha bukanlah cowok biasa, dia terkenal di sekolah ini. Hampir sepanjang jalan menuju ruang administrasi, semua siswa menyapanya. Bahkan beberapa cewek terlihat melemparkan tatapan menggoda yang dijawab dengan senyuman ramah olehnya. Alec yang berjalan di sisi kanannya juga mendapatkan perlakuan serupa. Bedanya adalah dia tidak tersenyum sedikitpun. Bahkan terkesan mengacuhkan cewek-cewek centil itu. Letta merasa menjadi selebritis sekolah dadakan. Dia tidak tahu harus bersyukur atau menyesal telah mengenal Vaskha dan Alec. Karena sebagian besar cewek yang dijumpainya memberi tatapan sinis dan meremehkan. Tidak berapa lama kemudian, mereka bertiga sampai di loket administrasi. Sudah ada beberapa siswa yang berlalu lalang di depan loket. Letta dan Alec mengantri di bagian paling belakang. Sementara Vaskha menunggu di kursi tunggu yang ada di seberang koridor loket. Antrian itu bergerak maju dengan cepat, tidak terasa Letta yang berdiri di depan Alec telah sampai di muka loket. “Violetta Aachivelli?” tanya Madam Lorainne dari balik loket. Mata Alec terfokus pada Letta yang mengganguk di sampingnya. Ia memperhatikan setiap gerakan gadis itu saat menerima lembaran blanko kosong. Seakan hendak merekam segala bentuk visual Letta dalam benaknya. Rambut merah lurus yang ikal diujungnya terikat rapi di belakang kepala. Menyisakan sedikit poni dan beberapa rambut yang jatuh menjuntai di sisi wajahnya yang imut. Hidung mancungnya berada tepat diantara dua buah pipi yang bersemu merah. Bibir mungilnya penuh dan memiliki warna asli pink pucat seperti mahkota bunga sakura, murni tanpa polesan lipstick atau pun lipgloss. Ketika Letta tanpa sengaja menjilatnya, membuat Alec ingin merasakan permukaan lembutnya yang selalu tampak basah itu. Tanpa sadar Alec menelan ludah. Ia masih saja terpaku berdiri di tempatnya saat Letta melewatinya tanpa menoleh. Meski pun ia hanya sebatas d**a Alec, tapi bodynya yang curvy tampak proporsional. Kaki jenjang yang berbalut legging hitam itu membawa gadis itu pergi ke sudut ruangan untuk mengisi formulir. Di sana Vasha menunggu mereka berdua sambil memainkan ponselnya. “Oh, Tuan Muda Pruidze.” Sapaan Laura yang ramah mampu membuat Alec tersadar. “Ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya. “Emm, begini. Kemarin aku sudah mendapat formulir kesediaan Karya Wisata dari ketua kelas, tapi hilang,” ujar Alec berbohong. Tidak peduli seberapa keras Vaskha berusaha membujuknya tempo hari, ia langsung membuang formulir itu ke tempat sampah begitu mendapatkannya. Alec sedikit merasa bersalah mengingat kejadian itu. “Aku ingin ikut, jika masih dibolehkan,” tuturnya pada Laura dengan kikuk. “Oh, tentu saja.” Wanita itu mengulurkan blanko yang sama dengan milik Letta. “Terimakasih Laura,” kata Alec. Cowok jangkung itu menuju tempat Letta dan Vaskha berada. Mengambil tempat duduk di sebelah Letta, Alec segera merampas pulpen yang sedang Letta pegang. “Hei!” protes gadis itu. Namun tangan Alec lebih gesit menyelamatkan pulpen itu dari jangkauan Letta. “Pinjam,” kata Alec enteng. Ia juga mengambil formulir yang sedang diisi Letta dan membacanya tanpa ijin. Vaskha yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Jarang sekali ia menemui Alec bertingkah sangat iseng seperti ini. “Sudah biar saja,” sarannya pada Letta yang cemberut. Sahabat Alec itu kembali sibuk dengan gawai di tangannya. Gadis itu hanya bisa pasrah melihat kelakuan Alec karena Vaskha tidak berusaha membantunya. Lagi pula, ia juga sudah selesai mengisi formulir kesediaan mengikuti Karya wisata budaya esok hari itu. Diam-diam diliriknya Alec yang sedang serius mengisi blanko. Cowok berwajah aristokrat di sampingnya itu terlihat sangat ganteng dari jarak sedekat itu. Rambutnya yang hitam kelam dipotong pendek itu selalu terlihat rapi meskipun si empunya banyak bergerak. Dari samping, Alec tampak seperti tokoh cowok di kartun manga atau oppa korea jika sedang menyipitkan matanya. “Enjoy what you see?” tanya Alec tiba-tiba bahkan tanpa menoleh pada Letta. “A-apa?” Letta gelagapan mendapatkan pertanyaan demikian. “Aku tahu aku keren, kau boleh melihatku kapan saja.” Senyuman tipis di bibir Alec terbentuk dan segera menghilang. “Lagi pula kamu sudah mengakuinya di balkon tadi.” Ia menelengkan kepalanya ke arah Letta. “Jadi, kamu pewaris Aachivelli itu?” tanya Alec sembari mengulurkan pulpen yang dipinjamnya. Letta mengangguk kikuk sambil menerima pulpen itu. Tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan. Muncul lompatan listrik statis yang membuat mereka berdua sama-sama terkejut. Alec melepaskan pulpen itu segera. Mereka berdua saling memandang dengan perasaan tidak menentu. Segera Alec berdiri sambil membawa kedua formulir tadi. “Biar aku saja yang mengumpulkan.” Ia kemudian beranjak pergi ke loket meninggalkan gadis itu bersama Vasha. Letta otomatis ikut berdiri dan menjauh dari Alec. Ia masih bingung dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Berkali-kali diusapnya telapak tangannya yang tadi tanpa sengaja bersentuhan dengan Alec. Selagi ia membolak balikkan tangannya–berharap menemukan jawaban di sana–dadanya terasa menghangat, seiring dengan munculnya getaran halus yang sekejap kemudian menghilang. Bukan berasal dari jantung, tapi dari bandul kalung yang Letta pakai. Serta merta disentuhnya badul kalung itu sembari perlahan duduk kembali. Padahal tadi ia sama sekali lupa jika sedang memakai kalung neneknya. Vaskha menyadari ada yang salah dengan gadis di hadapannya bertanya, “Kamu kenapa?” “Ng-nggak apa-apa,” jawab Letta gugup. Ia melepaskan pegangan tangannya pada bandul kalung itu. “Jangan terlalu memikirkan Alec. Dia memang agak arogan, tapi hatinya baik kok,” bela Vaskha pada sahabatnya. Hampir seumur Alec, Vaskha bersamanya. Menjadi anak angkat seorang Pruidze, keluarga bangsawan yang tersohor di Georgia. Ayah Alec adalah seorang senator utama dan pemilik yayasan Pruidze yang menaungi sekolah mereka ini. Bahkan Galina Pruidze adalah bibi Alec. Vaskha bisa dikatakan sangat mengenal Alec luar dalam. Ia ditugaskan menjadi teman Alec, pewaris kerajaan bisnis Pruidze dan tentu saja seluruh kekayaannya sejak mereka berusia lima tahun. Memiliki kamar yang sama, sekolah yang sama, fasilitas yang sama. Vaskha sangat paham kekecewaan Alec yang ditelantarkan sejak kematian ibunya karena kanker. Kemudian karena kurang kasih sayang, Alec menjadi sakit-sakitan hingga Rezy Pruidze putus asa memiliki pewaris yang lemah. Karena itulah, Rezy Pruidze menikahi Diane dan memiliki dua anak laki-laki lainnya ketika Alec berusia tujuh tahun. Sahabatnya itu semakin terpuruk. Namun secara ajaib cowok itu sembuh dari sakit yang menderanya ketika berusia tiga belas tahun. Meskipun telah Alec yang sembuh dari sakitnya, tidak serta merta mendapatkan kepercayaan ayahnya kembali. Ia harus membuktikan bahwa dirinya mampu dan layak menjadi pewaris Pruidze. Untungnya ia memiliki kemampuan di atas rata-rata, mampu menyelesaikan studinya dengan sistem akselerasi. Bahkan Alec bersedia kembali sekolah di yayasan selepas program pertukaran pelajar ke Jepang hanya untuk meyakinkan ayahnya. “Ini rundown untuk acara tour besok serta nomor bangku di bus,” ujar Alec yang tahu-tahu sudah kembali dari loket. Dia memilih meletakkan kertas itu di meja daripada memberikan langsung pada Letta. “Aku cabut dulu,” lanjut Alec singkat. “Bukannya kamu masih ada dua jadwal lagi hari ini?” tanya Vaskha. “Aku tidak terlalu suka sejarah dan aku ada jadwal wall climbing dan archery hari ini,” jawab Alec seraya memasang hoodie di kepalanya. Ia tidak menoleh sedikit pun pada Letta. Berharap keadaan yang mereka alami tadi hanya sebuah kebetulan yang tidak berarti apa-apa. Kejadian yang bisa dijelaskan dengan listrik statis dalam fisika dan logika. Walau kemungkinan anomali tetap ada dan itu yang sedang menghantui pikirannya. Mendesak kebutuhannya untuk mencari tahu tentang siapa Violetta sebenarnya. “See you after school, then?” tukas Vaskha. “May be,” jawab Alec lalu beranjak pergi. Letta hanya diam saat kedua cowok itu ngobrol tanpa melibatkan dirinya. Ia tidak berani melihat ke arah Alec sedikit pun. Khawatir akan terjadi hal yang lebih aneh dari loncatan listrik dan bergetarnya bandul batu di kalungnya. Setelah cowok itu menjauh, Letta baru berani menatap punggung Alec dari tempatnya duduk. “Bagaimana denganmu, Letta? Masih ada 15 menit sebelum jam pelajaran berikutnya. Tertarik untuk tour singkat ke kantin? Khusus hari ini ada menu ala Italia. Pasta lezat dan gelato vegan, jika kau tertarik,” ajak Vaskha. “Perfect.” Letta memungut kertas yang ditinggalkan Alec di atas meja lalu ia masukkan ke dalam tas punggung tanpa dibaca. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD