Chapter 6 - Tantangan

1762 Words
Ternyata dia diberikan baju koki untuk di pakai, Serena membulatkan matanya. Dia menerima baju itu dengan tangan terbuka, tetapi masih tidak mengerti sehingga dia hanya memegang baju itu di depan dadanya. “Pakailah, ini tes sederhana yaitu dengan memasak. Kami harus melihat keahlian dan seberapa cepat jika pesanan masuk dengan sangat banyak.” Ucap Erwin. Serena terbelalak, dia langsung bergegas ke ruang ganti. Serena mengganti bajunya secepat dan serapih mungkin. Dia menjepit rambutnya agar tidak berantakan atau terjatuh saat memasak nanti. Sepuluh menit kemudian dia sudah ada di dapur dan hanya ada mereka bertiga disana yang sudah berpindah tempat. “Ayo dimulai!” Erwin memberikan tempat kepadanya, mereka memasak secara berhadapan dengan tempat penggorengan dan bumbu sebagai pemisah. Kompor-kompor besar mulai di nyalakan satu persatu. Serena bisa menggunakan empat atau lima kompor sekaligus dalam satu waktu dan beruntungnya disini diberikan banyak kompor untuk memasak dan tempatnya juga sangat bagus bagi dia yang menggunakan kedua tangan untuk memasak. Tiba-tiba pesanan berdatangan, pesanan itu berasal dari para koki dan staf di dalam restoran. Hari ini mereka tutup sebagai gantinya akan memberikan reward kepada semua orang yang bekerja. Katanya, setiap bulan restoran ini selalu memberikan hadiah seperti itu agar membaut semua orang yang bekerja senang dan juga tidak bosan. Serena tahu pemilik restoran ini pasti sangat baik dan bisa mengerti tentang orang yang bekerja kepadanya. Dia juga bisa melihat waktu istirahat yang cukup lama diberikan setelah jam makan siang selesai. Itu karena para koki tidak bisa atau bahkan melewatkan jam makan siang karena mereka harus terus memasak agar pelanggan tidak menunggu terlalu lama. “Siap?” tanya Erwin. Serena mengangguk mantap, “Siap, Pak!” Kompor mulai di nyalakan ketika dia mendengar pesanan demi pesanan disebut. Serena mengerjakann bagian pasta dan juga steik, beruntung dia memiliki seorang asisten yang membantunya untuk menyiapkan bahan-bahan. Tangannya bergerak cepat, hanya beberapa detik dapur itu menjadi penuh dengans uara penggorengan yang berbenturan, dessian masakan dan juga suara api dan perintahnya untuk mengambilkan bahan makanan. Serena bergerak snagat cepat, dia menyesuaikan dengan tubuhnya agar tidak berbenturan satu sama lain. Bekerja di dapur restoran tentu saja berbeda dengan di rumah. Hawa panas menyengat dari mata kompor membuatnya berkeringat. Belum lagi dia harus fokus mengingat makanan apa yang sudah dan belum di sajikan. Serena terlalu fokus dengan masakannya sampai tidak menyadari semua orang di sana kagum dengan pergerakan dan juga kebersihannya yang sangat tertata. Serena memang sudah membiasakan diri untuk menjaga kompornya agar selalu bersih setiap saat. Waktu satu jam berlalu dengan sangat cepat, pesanan sudah di selesaikan semua. Serena mematikan kompor terakhir lalu bersandar di dinding dapur. “Kerja bagus! Kamu memiliki kemampuan luar biasa!” “Terimakasih, Pak. Anda juga sangat hebat.” Erwin tersenyum, “Ayo, kita keluar. Mari mencicipi masakan satu sama lain.” Serena berjalan di belakangnya, ternyata di depan masih banyak staf yang sedang makan. Mereka mengacungi jempol saat melihatnya keluar dari dapur. Itu sebuah kebanggaan tersendiri membuatkan orang lain makanan. “Silahkan dimakan.” Serena mengangguk, dia segera makan siang. Kedua bahunya pegal karena tiba-tiba di suruh masak tanpa persiapan. Rasa pegal yang sudah lama dia tidak rasakan.   Di sana, Serena berkenalan dengan semua orang yang dulu dia tidak kenal sebelumnya. Dia sudah berharap banyak akan diterima di tempat ini tetapi sampai dia pulang, belum ada yang memberitahunya. Serena masuk ke dalam mobil dengan gelisah, dia memejamkan mata lalu menurunkan kursinya untuk berbaring sedikit. Rasanya sangat lelah karena melakukan ini. Jika saja besok dia tidak diterima, Serena tidak tahu lagi harus mencari kerja dimana.   …. Agam baru saja kembali dari luar, dia membeli bakso karena tidak bisa membuat makan malam. Hari ini dia di rumah saja dan tidak akan kemana-kama sampai masa liburnya selesai. Agam tidak memiliki pembantu yang tinggal di rumahnya, hanya ada pembantu yang datang saat pagi dan pulang disiang hari setelah membersihkan rumahnya. Sekarang, Savia sedang tidur nyenyak di ayunan. Dia mengambil kesempatan untuk membuat laporan. Agam sudah merindukan pekerjaan lapangannya sekarang, dia bosan melihat layar komputer dan menulis laporan terus-menerus. Tiba-tiba terdengar suara bel rumahnya yang berbunyi, Agam mengernyit karena sekarang sudah hampir jam sembilan malam dan tidak ada anggota atau teman yang membuat janji untuk bertemu dengannya. Agam beranjak lalu berjalan ke depan, saat membuka pintu dia terkejut dengan dua buah kantong pelastik yang di arahkan kepadanya. “Abang! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa cemberut. Agam menaikkan satu alisnya, “Tumben kamu datang jam segini? Ini apa?” “Ayam bumbu kecap sama ayam goreng buatanku. Tadi, aku membuatnya terlalu banyak, jadi kubawa kesini separuh.” Jawab Syifa lalu masuk ke dalam rumah. Agam menggeleng-gelengkan kepalanya lalu beralih menutup pintu dan menguncinya rapat. “Terus? Mau ngapain?” Syifa yang sedang berdiri di meja makan menatapnya sebal.  “Mau nonton bola! Kan nanti malam main tim andalan Abang!” Agam menepuk keningnya, “Astaga, untung kamu ingetin. Ya sudah nanti malam kita begadang, Abang pindahin Sivia dulu ke kamar.” Dia langsung ke ruang tengah dan menggendong anaknya dengan berhati-hati. Agam memindahkannya karena ruangan itu akan dia gunakan bersama adiknya. Ini kesempatan sangat langka dan dia sudah lama tiak menonton pertandingan sepak bola. “Untung kamu datang, Abang sama sekali nggak ingat.” Ucap Agam memberi tahu. Syifa tertawa, “Bang, beli soda dong!” “Oke, mau berapa?” “Beli banyak aja yang ukuran sedang. Syifa nggak suka yang ukuran besar, rasanya kurang nyengat.” Jawabnya. Agam ke kamar mengambil dompet dan kunci motor. “Baiklah, kakak pergi dulu.” Dia langsung pergi menuju sebuah minimarket yang terbuka hingga larut malam. Di pingir jalan dia melihat beberapa anak muda dan orangtua tampak memenuhi sebuah kafe untuk menonton bola. Agam langsung tancap gas pergi dari tempat itu karena takut dengan virus yang sedang marak-maraknya, dia harus menajga kesehatan agar anaknya tidak sakit. “Lama banget? Dari mana?” tanya Syifa ketika dia masuk ke dapur. Agam langsung mengganti pakaiannya, “Di luar ramai banget” “Oh, iya tadi aku sempat liat banyak yang mau nonton bareng. Maklum, sekarang belum terlalu ketat.” jawab Syifa sembari meletakkan piring berisi ayam di atas meja. Dia tidak ingin membahas mereka dan memilih duduk di seberang sembari mengamati tv dan mengambil satu ayam krispi. “Eh, ini kamu sendiri yang buat?” “Iya kak. Kenapa? Enakkan?” Agam menatap ayam goreng di tangannya dengan tatapan menyipit. “Ini seperti beli di restoran cepat saji.” Sebuah bantal langsung melayang ke arahnya, Agam menangkapnya dengan gesit dan tertawa. “Karena enak, jadi kukira kamu membelinya di restoran.” Syifa mendengkus, “Tadi sore aku sendiri yang membuatnya dan kesini karena tidak enak makan sendiri di apartemen.” “Tumben baik, biasanya nggak sama sekali.” Balas Agam setelah mengambil ayam kedua. Syifa melirk Abangnya, “Yah, sekarang kan Abang lagi libur. Bisa lewatin waktu luang jadi bisa makan sama nonton bareng-bareng.” Keduanya langsung fokus ke arah tv begitu pertandingannya di mulai. Agam membawa dua buah piring yang akan mereka gunakan sebagai tempat tulang ayam. Mereka sudah melakukan ritual ini sejak lama, sejak kedua orangtua mereka masih hidup. Ini semua ide ayahnya dan mereka menyukainya sampai sekarang setelah mereka tiada. Mereka menikmati pertandingan itu dengan hati senang karena tim yang mereka jagokan menang dalam laga. Agam berdiri setelah siarannya benar-benar berakhir sementara adiknya sudah masuk ke dalam kamar untuk tidur. Agam membersihkan kekacauan mereka, dia mengelap meja dan mengambil remahan yang tertinggal lalu masuk beristirahat setelah memeriksa apakah pintu dan jendela sudah terkunci. … Sinar matahari menelusup di balik celah gorden yang terbuka ketika terkena hembusan angin. Agam mengerjabkan matanya, dia melihat jam dinding dan kaget karena sudah jam sembilan pagi. Dia sadar jika Sivia sudah tidak ada di sampingnya, Syifa pasti sudah mengambil anaknya mungkin ketika dia masih tertidur. Agam langsung mencuci wajah lalu pergi ke arah dapur. Agam membuka kulkas dan meraih gelas lalu menuang air dingin di dalamnya. Dia meneguk air dingin itu sembari menyipitkan mata, rasa dingin membuat kesadarannya perlahan-lahan pulih. Tiba-tiba seseorang memukul punggungnya, “Sudah kubilang untuk minum air biasa kalau baru bangun!” Agam tersedak, dia meletakkan gelas di atas meja lalu menjitak kepala adiknya. “Kamu nggak pernah rasain kesegarannya! Coba sendiri!” “Tapi harusnya minum air biasa kak supaya tenggorokannya nggak kaget! Nanti pilek, terus nularin ke keponakan aku!” jawab Syifa setengah sebal. Ketika mendengar nama anaknya, Agam langsung menyerah. Kesehatan anaknya yang terpenting, dia harus mengutamakan Sivia dibandingkan dirinya, tetapi daya tahan tubuhnya kuat dan selama ini tidak pernah terserang flu hanya karena minum air es. Agam pergi dari dapur, dia membiarkan Syifa menggendong anaknya karena sejak tadi Savia tidak mau pindah dan terus ingin berada di gendongan adiknya. DIa memilih untuk menceburkan diri ke dalam kolam renang. “Wah, segar!” Agam membuka baju kaosnya dan berenang hanya dengan menggunakan celana pendek. Sudah lama dia tidak berenang, air kolam cukup dingin karena semalam hujan. Dia berenang setengah jam sebelum masuk untuk mandi. Sarapan sudah siap ketika dia masuk dan adiknya juga sedang menyuapi Sivia dengan bubur bayi. “Sarapan Bang?” Agam mengangguk, “Iya, nanti.” Mereka sarapan bersama, Agam sempat bermain dengan anaknya sebelum dia masuk kembali ke ruang kerja mengerjakan laporannya yang tertunda semalam. Pintu ruang kerjanya di ketuk dan Syifa tampak di sana sembari membawa secangkir kopi. “Nggak kusangka Abang masih lancar mengetik, biasanya kalau keseringan pegang senjata pasti kaku.” Agam serius mengetik, “Kalau lupa kan bisa suruh kamu.” Syifa yang sedang mengamati ruang kerja kakaknya hanya cemberut, dia kembali keluar setelah merasa bosan hanya di kelilingi rak buku dan ruangan yang temaram. Agam tidak memperhatikan Syifa keluar karena dia sangat serius. Baru saja, tepat lima menit yang lalu dia baru dikirimkan sebuah infomasi baru tentang buron yang sudah lama berkeliaran sedang berada di pusat kota. Walaupun terlihat kumal dan tidak terlalu jelas, Agam bisa memastikan jika orang itu adalah orang yang dia cari selama bertahu-tahun. Kejahatannya tidak main-main, dia akan dituntut dengan pasal pembunuhan, obat-obatan terlarang dan masih banyak lagi. Agam menghubungi seseorang, panggilannya langsung di jawab di dering pertama. “Bagaimana kamu bisa mendapatkan ini?” “Dari informan terpercaya. Dia tidak sengaja mendapatkannya ketika sedang berjalan-jalan di sekitar bank itu.” jawab seseorang dari ujung sambungan suara. Agam memperhatikan foto itu baik-baik, “Kamu memiliki videonya bukan? Kirim sekarang!” “Eh, bagaimana anda bisa tahu?” “Tidak penting bagaimana aku tahu. Kirim sekarang juga!” ucapnya tegas. Lima menit kemudian, dia sudah menonton video itu. Rahangnya mengeras ketika benar-benar menemukan orang yangsudah dia cari selama bertahun-tahun. Agam mengepalkan tangan dan langsung keluar dari rumah terburu-buru.  Dia hanya pamit kepada Syifa beberapa detik sebelum pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD