Agam mengemudi dengan kecepatan tinggi, walaupun seperti itu dia tetap berhati-hati agar tidak menabrak pengguna jalan lain. Dia memperhatikan jalan dengan sangat serius, kemudi dia pegang erat sampai buku jarinya memutih.
Agam menghubungi Syifa dan langsung di angkat di dering pertama.
“Abang dari mana saja! Aku menghubungi sejak tadi dan ponsel Abang tidak aktif!” ucap Syifa dari ujung sambungan.
Agam mengetatkan rahang, “Kamu dimana?”
“Di apartemen, baru saja pulang sepuluh menit yang lalu.” Jawab Syifa dengan suara serak.
Agam tahu adiknya itu menahan tangis, mungkin sudah menangis sejak tadi. Dia tidak mau menekan adiknya sekarang dan membuat suasana menjadi lebih buruk.
“Tunggu Abang disitu!”
Setelah itu, dia memutuskan sambungan dan mempercepat laju mobil. Agam sudah tidak lagi merasakan sakit di kepalanya akrena memikirkan anak sematawayangnya yang menghilang.
Agam sampai sepuluh menit di apartemen Syifa dan butuh waktu lima menit untuk naik dan berjalan agar sampai di depan pintu apartemen adiknya.
“Abang!”
Syifa menjerit lalu memeluknya sangat erat ketika pintu terbuka. Adiknya itu menangis kencang, dia bisa merasakan kesedihan adiknya. Agam harus menahan emosinya agar tidak melukai hati Syifa karena pasti ada yang terjadi dan membuat anaknya hilang.
Sebenarnya, jika pertahanan dirinya runtuh. Agam sudah sangat panik sekarang dan akan melakukan apapun untuk menemukan Savia. Agam membalas pelukan adiknya dan menutup pintu apaartemen.
“Sudah, Fa. Berhenti nangis, sekarang ceritakan kepada Abang apa yang terjadi.”
Syifa langsung melepas pelukannya, dia menghapus air matanya dengan pungung tangan. Agam menunggunya dengan sabar dan memberikan segelas air kepada adiknya.
“Dari kemarin, aku ada kegiatan di panti asuhan. Sejak itu, aku tidak pernah pulang dari sana. Menginap di panti dan Savia kubiarkan bermain dengan anak-anak lain karena ada yang menjaganya.
“Kebetulan, kami sudah sangat akrab bahkan dengan semua anak-anak dan ibu pemilik panti asuhan. Aku masih disana sampai malam tadi, tertapi saat akan membawa Savia pulang. Dia menghilang dari kasur tempat aku selalu menidurkannya.” Syifa kembali terisak, hatinya sakit karena tidak bisa menjaga keponakannya.
Agam memegang bahu Syifa, “Lalu apa yang terjadi?”
“Savia ternyata di pindahkan ke dalam kamar bayi bersama yang lain. Aku sama sekali tidak tahu, ternyata ada seorang perempuan yang ingin mengadopsi salah satu bayi disana dan mengambil Savia.”
“Apa! Bagaimana bisa, Fa? Kupikir semua orang disana tahu kalau itu keponakan kamu!” ucap Agam dengan suara yang menggelegar.
Syifa menggeleng, “Mereka semua memang tahu Bang. Tapi, entah bagaiaman kesalahan itu bisa terjadi.”
Agam berdiri, dia menarik Syifa ikut bersamanya. “Sekarang kita pergi ke panti asuhan itu. Untuk menemukan Savia.”
“Tadi aku sudah coba Bang tetapi datanya berbeda. Rumah alamatnya kosong, aku tidak bisa menemukan siapa pemiliknya karena tetangga dan ketua RTnya juga tidak tahu itu rumah siapa.” Jawab Syifa kembali menangis.
Agam tetap menarik adiknya pergi, mereka masuk ke dalam mobil dan pergi ke panti asuhan yang di tunjukkan oleh Syifa. Kemarahan Agam terasa mendidih, bagaimana bisa sebuah panti asuhan besar bisa salah memberikan bayi untuk adopsi?
Mereka sampai setengah jam kemudian dan panti asuhan itu masih ramai. Agam langsung masuk ke dalam di temani oleh Syifa. Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan pandangan khawatir.
“Apakah kamu ayah dari Savia?”
Agam mengangguk, dia mengepalkan tangannya di atas lutut, dia tidak mungkin bisa memarahi seorang ibu yang hampir berusia sama seperti ibunya jika masih hidup.
“Maafkan kami, Pak. Kami tidak sengaja memberikan Savia, kami juga sudah berusaha mencarinya sekarang, mohon bersabar. Kami akan mengambil tanggung jawab sepenuhnya sampai Savia kembali.” Ucap wanita paruh baya itu.
Agam menghela napas panjang, “Bisa saya melihat data orang yang mengadopsi anak saya?”
Sayangnya, wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya. “Kami hanya bisa memperlihatkan alamat yang dia tulis dibuku tamu karena akses untuk melihat data itu juga tidak bisa kami lihat.
Data semua orang yang mengadopsi tersimpan rapat di dalam brankas dan kami tidak bisa membukanya karena disimpan atas kerahasiaan bersama oleh para orangtua yang mengadopsi.”
“Bagaimana bisa seperti ini? Lalu bagaimana kalian bisa menemukannya jika hanya mendapatkan alamat yang salah. Biar saya yang membuka brankasnya, lagipula saya ayah kandung dari Savia.” Ucap Agam berapi-api.
Ibu pemilik panti itu diam, “Kami tidak bisa memberikannya, Pak. Kata sandinya di pegang oleh orang yang mengadopsi.”
“Apa tidak ada nomor yang bisa dihubungi?” tanya Agam lagi.
“Tidak ada Pak, ternyata nomor yang diisi dibuku tamu sudah tidak aktif.” Jawab ibu tersebut.
Agam mengacak rambutnya kasar, dia berdiri dan keluar dari panti asuhan itu. Syifa mengikutinya dari belakang, “Bang, sekarang kita harus apa?”
“Abang antar kamu pulang, biar Abang sendiri yang mencari Savia.” Ucap Agam tegas.
Syifa tidak berani membantah, dia masukke dalam mobil dengan diam. Agam mengantar adiknya sampai di pintu masuk apartemen lalu pergi mencari Savia. Dia kembali ke jalan menuju panti asuhan itu dan menemukan kamera pengawas yang berada di sebuah minimarket.
Agam langsung masuk dan meminta agar bisa melihat videonya. Dia menghubungi Syifa kapan terakhir melihat Savia.
“Siang Bang, sekitar jam satu atau dua.” Jawab Syifa.
Agam langsung mencari, dia menemukan sebuah mobil berwarna hijau muda keluar dari lorong menuju panti asuhan. Selama empat jam dia hanya melihat mobil itu yang keluar lalu dia melihat mobil Syifa keluar dari sana dengan kecepatan sedang yang mungkin sedang mencari Savia.
Dia segera mengembalikan rekaman dan melihat plat mobil mobil berwarna hijau itu. Agam langsung mendapatkan plat mobilnya, ternyata itu mobil Jakarta, dia tidak perlu mencari sangat jauh karena mereka semua ada di Jakarta.
Ada kelegaaan di dalam dirinya setelah mengetahui itu. Dia mengucapkan terimakasihnya kepada karyawan minimarket itu lalu kembali ke kantor polisi. Dia masuk ke sebuah ruangan besar yang memperlihatkan luasnya jalan raya dengan rekaman kamera pengawas secara langsung.
“Carikan plat nomor mobil ini untukku.” Ucap Azril kepada salah satu polisi yang bertugas.
Tetapi, polisi itu menggelengkan kepalanya. “Sekarang sedang tidak bisa, Pak. Sistem sedang eror, kami sudah memanggil teknisi tetapi mereka akan datang satu minggu lagi karena hampir semua kantor pusat bermasalah.”
“Apa, bagaimana bisa? Jadi, saya harus menunggu selama satu minggu?” tanya Agam tidak percaya.
Polisi itu mengangguk denga pelan, dia tidak mau membuat atasannya ini lebih marah lagi karena sepertinya keperluan yang sangat mendesak. “Anda bisa meninggalkan plat nomornya disini dan jika bisa saya akan mencobanya.”
“Baiklah, kabari aku kalau ada informasi.” Agam menuliskan plat nomor itu di secarik kertas lalu memberikannya.
Dia masih menyimpan yang asli karena dia akan mencoba mencarinya sendiri. wilayah Jakarta memang besar tetapi mobil dengan warna hijau seperti itu pasti hanya ada beberapa dan dia pasti akan menemukannya.
…
Serena bangun pagi-pagi sekali saat mendengar suara tangis, ternyata Savia baru saja buang air dan dia harus mengganti pempersnya yang basah. Serena cepat tanggap melakukannya.
Dia menganti popok Savia lalu membuat sarapan, setelah itu membuatkan bubur untuk Savia. Dia sarapan setelah memberi makan anak menggemaskannya, Savia makan dengan lahap walaupun sedikit celemotan.
“Lucunya anak Mama. Nanti kita berjemur di luar ya, Nak.” Ucapnya sembari membereskan peralatan makan.
Serena makan di meja makan, sembari melihat Savia di ruang tengah sedang berceloteh sendiri. Tepat jam setengah sembilan, saat matahari belum terlalu panas, mereka berjemur bersama. Serena memilih tempat yang sedikit rindang.
“Nyaman ya, Nak?” tanya Serena kepada Savia yang masih berceloteh.
Serena mengusap-usap dan menciumi pipi tembem Savia, membuat anaknya itu tertawa geli. Dia semakin melancarkan serangannya dan membuat Savia terus tertawa.
“Aduh, seger banget ketawanya.” Gumam Serena.
Dia mengajak Savia masuk dan memandikannya, sekarang dia bisa memakaikan baju baru dan menidurkannya. Serena sudah menyayangi Savia, padahal mereka baru saja bertemu sehari tetapi rasa sayangnya itu sudah seperti ibunya.
“Kenapa ibumu tega meninggalkanmu disana, Nak? Jika dia tahu kamu selucu dan sepintar ini pasti akan menyesal.” Gumam Serena saat mengelus alis anaknya yang sudah tertidur.
Serena melindungi Savia dengan bantal di sekeliling tubuhnya agar tidak terjatuh dari tempat tidur. Sementara itu, dia juga mandi setelah membereskan peralatan mandi Savia.
…
Serena tidak bisa jauh dari Sivia, bahkan dia sedang melihat-lihat pakaian yang akan di pakai Savia nanti sore. Dia juga membuka aplikasi online shop untuk mencari barang-barang menggemaskan lain yang bisa dia beli.
Serena merasa sangat lega, padahal seminggu kemarin dia sepertis layang-layang putus yang hanya mengikuti arah angin tanpa tujuan. Tetapi, sekarang dia sudah bisa menentukan tujuannya.
“Nggak sabar liat kamu besok-besoknya lagi.” gumam Serena sembari melihat Savia.
Dia merasa Savia sangat cantik karena bulu matanya yang panjang, bahkan bibirnya merah merona saat sedang tidur. “Bibirnya bikin iri.”
Serena sedang asyik memandangi Savia ketika dia mendapatkan panggilan telepon. Dia bergerak tuun dari tempat tidur dengan perlahan-lahan lalu mengambil ponselnya.
“Itu anak yang kamu adopsi, Dek? Cantik sekali, ya ampun tega sekali orangtuanya.”
Itulah kalimat pertama yang dia dengar ketika baru menjawab panggilan kakaknya. “Iya kan Kak, tapi sekarang dia sudah disini sama aku.”
“Kamu rawat yang bener ya, Ren.”
Serena melihat Savia sekilas sebelum berjalan keluar dari kamar. “Iya, Kak pasti aku rawat dengan baik.”
Tadi pagi, dia mengirimkan foto Sivia ke dalam group keluarganya dan ternyata yang melihat pertama adalah kakaknya. “Ih gemes banget, andai rumah deket. Kakak pengen ke sana, besok kirim foto lagi ya.”
“Iya kak, aku sendiri juga gemas tapi sayang pipinya cuma bisa dielus, nggak bisa dicubit. Nggak tega.” Jawab Serena.
Dia keluar di teras dan menyiram bunga sembari berbicara. Serena sudah lama tidak menyiram bunga, kebetulan hari ini cuaca sedikit mendung tetapi tidak turun hujan sejak tadi.
“Kamu sudah beli keperluannya yang lain?”
Serena mendengar pertanyaan kakaknya, “Sudah kak, bahkan aku juga sudah membeli banyak pakaian dan susu.”
“Sepertinya kamu memang sudah siap. Nggak sabar liat tanggapan Mama, semoga nggak langsung datang ke rumah.”
Serena tertawa, “Kayaknya mereka sedang sibuk, tumben pagi-pagi nggak liat hp.”
“Kayaknya lagi dikebun, atau mungkin bantuin tante kamu bikin makanan. Ngidamnya pas udah hamil tua.”
Serena menganggukkan kepalanya walaupun kakaknya tidak melihat, dia mengakui itu. Tante satunya itu benar-benar unik, tiba-tiba terdengar suara guntur sangat besar “Duh, sebentar kak. Savia nangis.”
Dia langsung memtuskan sambungan telepon itu ketika mendengar suara Savia. Serena meletakkan ponselnya di atas nakas lalu menggendong Savia, “Kaget ya, Nak. Sayang, nggak apa-apa.”
Untungnya, Savia kembali tidur beberapa menit setelah di gendong. Serena menghela napas lega, dia akhirnya tidur bersama Savia karena hujan deras dan tidak ingin Savia kembali bangun karena suara guntur.