Agam mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, dia sekarang baru saja pulang dari pedalaman untuk meringkus gembong n*****a yang menjadi buron selama tiga bulan terakhir.
Beruntung dia berhasil mendapatkan mereka semua lengkap dengan pemimpinnya dengan selamat. Mereka semua hidup walaupun terena beberapa luka tembakan. Dia sendiri juga mendapat luka, tepat di pundaknya ada bagian yang diperban karena tergores peluru panas.
Ponselnya berbunyi nyaring, dia mengangkat panggilan itu dengan menggunakan satu tangan. Satu tangan lain serius memegang kemudi mobil.
“Halo, komandan…”
“Agam, kamu dimana sekarang?”
“Siap, di jalan Ndan. Lima belas menit lagi saya sampai markas.” Jawab Agam dengan suara tegas.
“Langsung ke ruangan saya!”
Agam menyimpan ponselnya kembali setelah panggilan itu terputus, dia mempercepat laju kendaraannya. Dia menuju POLRES untuk berbicara denga atasannya.
Dia sampai setengah jam kemudian, kedatangannya di sambut ramah oleh penjaga dan beberapa anggota yang berpapasan dengannya. Agam tidak menggunakan seragam dan haya menggunakan kaos hitam serta celana jeans.
Agam mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan atasannya. Setelah mendengar perintah jika dia diperbolehkan masuk, Agam baru memutar kenop pintu.
Sekarang sudah tepat jam sebelas tengah malam, tetapi kantor masih adalam situasi ramai. Agam menatap papan nama di atas meja, di sana tertera tulisan Tigor Siahaan.
“Selamat karena telah menyelesaikan tugas ini. Saya berikan waktu satu minggu libur untuk kamu dan rekan kamu yang lain sebelum saya berikan tugas selanjutnya.” Ucap komandannya.
Agam tersenyum tipis, “Siap, laksanakan Pak.”
“Liburlah, habiskan waktu dengan anak kau itu. Kasian dia masih kecil, rindu sama bapaknya.”
Agam hormat kepada atasannya sebelum keluar dari ruangan itu. kebetulan juga ada orang lain yang akan bertemu jadi dia harus segera keluar. Dia segera pergi untuk menemui rekan-rekannya yang sudah melapor kepada komandan.
Setelah itu, Agam kembali masuk ke dalam mobil. Dia menuju sebuah apartemen mewah di kota Jakarta. Agam masuk ke apartemen itu setelah menyapa petugas keamanan lalu naik ke lantai sepuluh menggunakan lift.
“Fa, abang sudah sampai.” Agam berbicara ketika adiknya mengangkat panggilan suaranya.
Terdengar suara benturan dari ujung sambungan membuat Agam memeriksa panggilannya. Dia berjalan lebih cepat menuju apartemen adikna takut sesuatu terjadi.
“Halo? Abang, maaf tadi aku tersandung kursi.” Ucap Syifa dengan suara teredam.
“Astaga, Abang kira kamu kenapa. Sekarang Abang sudah ada di depan pintu.” Ucap Agam.
Dia menatap lorong yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Apartemen ini tidak buruk dan memiliki fasilitas dan keamanan yang terjaga. Tidak ada tempat jorok dan banyak kamera CCTV.
Pengamanan ini yang membuatnya memperbolehkan Syifa pindah ke apartemen. Setidaknya jika ada apa-apa petugas keamanan akan menghubunginya dari pada di rumah adiknya itu akan sendiri dengan tetangga yang sama sekali tidak peduli satu sama lain apalagi di saat pandemi seperti ini.
“Kak, cek suhu sama semprot dulu baru masuk.” Ucap Syifa ketika pintu terbuka.
Agam mengangguk, beruntung suhunya normal. “Kakak cuma dari rumah kan? Nggak singgah-singgah dulu?”
“Eh, tadi sempat ke kantor. Nggak apa-apa kan? Atau kakak ganti baju dulu?” tanya Agam berhenti di tempatnya berdiri.
Syifa menatap ke arahnya dengan wajah cemberut. “Kakak cuci tangan dulu coba sama ganti pakaian. Nanti bajunya simpan disini aja, aku cuci.”
“Aduh, padahal kakak cuma mampir sebentar di kantor. Nggak apa-apalah dek?” tawar Agam.
Syifa menggelengkan kepalanya, “Tidak kak, kesehatan hal yang utama. Bagaimana kalau kakak bawa virus terus ke Savia? Pasti nggak mau kan? Sudah, kakak mandi dulu. Aku bawain baju ganti.”
Agam mengangguk pasrah, dia pergi ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Setelah selesai, dia langsung masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat bernuansa perempuan.
Ini kamar adiknya, di tengah tempat tidur, terlihat seorang balita yang belum genap berumur satu tahun. Itulah anak perempuan kesayangannya, Savia memiliki wajah menggemaskan dan sangat tembem.
Agam terpaksa harus menitipkan anaknya kepada Syifa, adik kandungnya sendiri karena pekerjaan. Dia tidak mungkin membawa anak yang masih berumur belum genap satu tahun pergi untuk bekerja yang terkadang membawanya ke pelosok hingga menjelajahi hutan rimba.
Agam yang juga bertemu dengan banyak orang berbahaya dan mematikan. Dia harus rela menitipkan anaknya walaupun tidak rela, tetapi tuntutan pekerjaan mengharuskannya untuk berpisah.
"Kakak, dia sedang tidur?" tanya Syifa saat membuka pintu.
Dia tersenyum sembari mengangguk, “Dia terlihat tidur sangat nyenyak, tapi aku sangat merindukannya."
"Kakak bermalam disini saja dulu, besok pagi pulang. Kasian Sivia." gumam Syifa sembari bersandar di daun pintu.
Pandangan mereka terkunci kepada satu sosok yang tidur terlentang di atas tempat tidur. Keduanya tersenyum melihat balita mungil itu. Sivia sangat menggemaskan dan mereka juga sangat menyayanginya.
“Baiklah, kakak akan tidur disini. Besok baru pulang. Sudah malam juga.” Jawabnya setuju.
Dia melihat apartemen Syifa yang sangat bersih dan wangi, dia berjalan ke balkon dan menghirup udara segar. Agam duduk di salah satu kursi dan memejamkan matanya. Kengerian tugasnya kemarin masih teringat jelas di dalam ingatannya.
Dia mengetatkan rahang ketika kembali membayangkan suasana saat hanya terdengar serentetan suara desing peluru dimana-mana. Saat itu, dia benar-benar saat dekat dengan kematian.
“Kak?”
Agam menoleh, “Iya, ada apa?”
“Duh, dari tadi kupanggil nggak noleh. Kenapa Bang? Banyak pikiran?” tanya Syifa.
“Nggak, lagi ingat tugas kemarin. Kenapa manggil Abang?”
Syifa mengajak kakaknya masuk ke ruang makan, “Ini, makan malam dulu baru tidur.”
“Eh, tahu saja kamu kalau kakak belum makan dari tadi. Makasih ya.” Agam langsung duduk dan makan.
Syifa tertawa sembari menggelengkan kepalanya, “Mau teh atau kopi?”
“Teh.”
Agam kembali melanjutkan makan malamnya, dia jarang sekali makan enak. Terbiasa dengan makan bekal seadanya saat bekerja. Tidak ada yang memasakkan untuk mereka jadi hanya makan makanan instan yang di masak di tengah hutan.
“Gimana pekerjaan kakak?” tanya Syifa memulai pembicaraan.
Agam berpikir sejenak sebelum menjawab, “Masih sama seperti dulu, malah sekarang mungkin lebih berbahaya.”
“Jangan mengambil banyak tugas Bang. Aku memang sama sekali tidak keberatan Abang menitipkan Savia disini tetapi dia juga butuh kasih sayang dan perhatian dari Abang. Bagaimana jika nanti dia tidak mengenal ayahnya karena terlalu sibuk?”
Agam menyelesaikan makan malamnya, “Pasti Abang selalu menyisihkan waktu dan perhatian untuk Savia.”
Syifa menghela napas panjang, dia tidak ingin melanjutkan pembahasan ini karena pasti akan berakhir berdebat dengan Agam. Dia memberikan the hangat itu lalu pergi ke ruang tengah untuk menyalakan tv.
Agam mengikuti adiknya, “Maafkan Abang karena membentak kamu.”
“Iya, Bang. Nggak apa-apa, Abang capek maafkan Syifa juga karena terlalu mengatur.” Jawabnya sembari menatap meja dengan tatapan kosong.
Agam mengacak-acak rambut adiknya, “Sudah, matikan tv. Tidur! Abang tidur dikamar tamu.”
“Iya, Bang.”
Dia melihat adiknya terlebih dahulu masuk ke dalam kamar lalu mematikan lampu ruangan tengah danikut beristirahat. sekarang rasanya tubuhnya sangat pegal karena terus-terusan tidur beralaskan tanah.
…
Pagi-pagi, Agam membuat sarapan. Adiknya itu sudah bangun dan sedang memandikan Sivia sebelum memberinya s**u formula. Sivia baru saja belajar makan bubur.
Dia belum memberinya makanan lain selain s**u dan bubur itu karena anjuran dari dokter. Setengah jam kemudian, dia tidak mendengar lagi suara tangisan Sivia, sepertinya adiknya itu membuatnya tenang dengan baik.
“Abang? Ngapain melamun! Dari semalam melamun terus, jangan-jangan ada pacar baru ya?” tanya Syifa dengan penuh selidik.
Agam langsung mencubit pipi adiknya, “Nggak ada! Hus, sana jangan ganggu Abang!”
Syifa mengerucutkan bibirnya, “Siapa tau kan? Calon mama baru Savia.”
Agam mengigit bibirnya sembari mengambil ancang-ancang dengan memegang sendok besi.
Syifa tertawa, “Ampun Bang! Syifa mandi deh, abang sangar kayak singa!”
“Sana, cepat mandi! Kamu bau terasi!”
“Ih, abang tega!”
Setelah itu, hanya terdengan suara tertutup kencang. Tidak lama kemudian terdengar suara tangis Sivia, Agam panik dan langsung berlari mengetuk kamar adiknya.
“Fa? Kenapa?”
“Nggak apa-apa Bang, Sivia kaget.” Ucap adiknya dari dalam.
Agam menggelengkan kepalanya lalu kembali melanjutkan memasak. Dia hanya membuat makanan sederhana. Nasi goreng dengan suir ayam serta telur dadar di campur dengan sawi seadanya.
“Wah harum! Abang selalu pintar masak.”
Agam langsung menegakkan tubuhnya, “Siapa dulu dong. Abang kamu ini bisa masak karena di ajari Mama. Kamu yang nggak mau belajar, sekarang nggak bisa masak.”
“Siapa bilang aku nggak bisa masak. Bisa dong, masakanku enak. Buktinya tadi malam Abang nambah dua kali.” Jawab Syifa bangga.
Agam tidak bisa mengelak. Dia mengangguk pelan mengakui jika masakan Syifa memang sangat lezat. Mereka bercengkrama sembari sarapan, sudah lama mereka tidak seperti ini.
Sejak kepergian kedua orang tua, hubungan mereka direngganggkan oleh jarak dan juga pekerjaannya sebagai abdi negara. Agam langsung bersiap-siap untuk pulang bersama Savia.
“Jangan di ajak main lama-lama ya Bang. Inget, langsung pulang. Kasian anaknya itu.” pesan Syifa.
Agam langsung menggendong anak perempuannya yang sedang tertidur, dia menciuminya dengan gemas. Akibatnya, Sivia langsung bangun dan menangis kencang. Agam tersenyum, dia sangat merindukan anak perempuannya ini sampai rasanya ingin cepat pulang ketika sedang bekerja.
Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya, dia menahan rasa jengkelnya karena dia berjuang berjam-jam untuk menidurkan Sivia dan dengan mudah langsung dibangunkan oleh ayahnya sendiri. Dia keluar dari kamar itu dan membiarkan mereka di dalam.
"Kangen Ayah, ya Nak?" tanya Agam sembari menatap wajah anaknya.
Dia menghapus air mata yang turun ke pipi Sivia, "Sayang anak, ayah."
Agam menatap seluruh kamar dan terlihat sedikit berantakan, ini pasti adiknya sudah bersusah payah untuk merawat anak perempuannya. Seharusnya dia memang mempertimbangkan untuk mempekerjakan seorang pengasuh tetapi tingkat kepercayaannya sangat rendah kepada mereka.
Agam takut jika anaknya akan di culik atau diapa-apakan jika tidak ingin tidur atau susah makan. "Kak, sudah! Kasian Sivia.”
Dia melihat Sivia sudah kembali memejamkan mata di dalam gendongannya. Dia meletakkan anaknya di dalam gendongan dan bersandar di dadanya.
"Kamu pasti lelah merawatnya..." Agam memulai pembicaraaan.
Syifa menggelengkan kepalanya, "Sama sekali tidak kak. Savia yang menghiburku saat kakak tidak ada, lagipula sekarang pekerjaanku tidak terlalu banyak jadi bisa puas merawatnya selama seharian."
"Mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri." ucap Agam sembari menatap jalanan dengan tatapan menerawang.
Syifa memegang lengan kakaknya, "Jangan kak. Sudah, jangan pikir yang aneh-aneh, gendong yang benar baru pulang. Seminggu nanti kakak bisa puas main dengan Sivia, kalau ada tugas titip disini lagi kak. Aku sama sekali nggak keberatan."
Agam kembali menghela napas, dia tidak berkata apa-apa dan hanya menggendong anaknya masuk ke dalam mobil lalu meletakkannya di atas kasur empuk.
Setelah memastikan posisinya aman, dia berpindah dan duduk di kemudi. Agam melambaikan tangan kepada adiknya, “Naiklah, Abang pergi setelah kamu naik.”
Agam menatap adiknya masuk ke lift dan menghilang ketika pintu tertutup rapat. Dia membiarkan jendela terbuka sedikit untuk sirkulasi udara dan sekarang dia sudah siap pulang bersama anaknya.