11. Masalah Baru

3740 Words
Setelah hari kemarin. Tolong, jangan berprasangka buruk kepada Willis. Jangan muak kepada Kenzo dan jangan salahkan Rahi. Karena Bian Banyumas yang patah hati sampai tak kuat melihat kedekatan Rahi dengan lelaki lain. Bian rasa merubah penampilannya adalah hal tersia-sia di muka bumi yang pernah dia lakukan, sementara hasilnya nol besar. Lihat sekarang! Rahi Dinata sedang bergandengan tangan dengan pacar barunya. Bian perhatikan mereka dari ujung kantin bersama Kris dan juga Xian. Pasangan Rahi dan Kenzo duduk di salah satu bangku kantin, lalu diikuti seseorang yang juga ikut serta dengan mereka. Kata Kris, “i***t gak sih yang jadi mantannya?” “Siapa?” tanya Xian sambil kacang garingnya dicomot oleh Bian. “Willis,” Kris yang bilang, “ngapain coba duduk di sana mantengin orang pacaran? Duduk semeja sama Rahi dan Kenzo … itu hal paling i***t menurut gue.” Xian terkekeh. Sementara Bian mendengkus tak suka, baik Willis ataupun Kenzo, dua-duanya Bian coret dalam daftar teman kampus. Mereka itu rival! “Tapi di sana ada Key dan kawan-kawannya yang lain.” “Tetep aja i***t! Mau-maunya manas-manasin hati sendiri, coba deh kalau gue jadi Willis, udah gue seleding itu si Palentine Rosi!” Kris mencak-mencak sendiri, mulutnya komat-kamit gereget pada tingkah Willis yang duduk di depan mantan yang sedang pacaran. “Santai, Kris. Gue udah rancang nuklir di rumah,” ucap Bian kemudian menyedot jus jeruknya. Sementara Xian mengerling malas, dia jadi bertanya-tanya: sebenarnya yang suka Rahi itu Bian atau Kris? *** Serius. Rahi merasa tidak nyaman sekali duduk di pinggir Kenzo, tapi di depannya ada Willis. Perut yang semula lapar pun mendadak kenyang dan berbalik mual. Rahi merutuki mulut lancarnya saat itu yang bilang: gue mau. Padahal sama sekali Rahi tak suka. Kata pepatah yang mendeklarasikan kalimat: lain di mulut lain di hati, itulah yang Rahi rasakan saat ini. “Ra?” Yang Kenzo panggil hanya bungkam. Karena merasa nama perempuan—yang Willis anggap belum jadi mantan—Kenzo sebutkan, tatapan mata Willis jadi beratensi penuh kepada Rahi. “Hei! Bengong aja, kenapa?” Rahi terkesiap. Dia tersenyum canggung dan merasa kikuk sendiri, tatapan Willis begitu mengintimidasinya hingga Rahi merasa sedang dikuliti. “Makanannya nggak enak? Kok dianggurin?” tanya Kenzo lagi. “Udah kenyang,” jawab Rahi, sementara Willis menyandarkan punggungnya ke kursi. Sejak tadi pun pandangan Willis tetap jatuh pada sosok Rahi di depannya. Key, Lei, dan Leon hanya mampu diam dalam ketegangan yang ada. Mereka pura-pura nyaman dengan kondisi saat ini. Hingga tiba-tiba Marine datang dan memasuki obrolan mereka di sana. “Eh … lagi ngerayain hari jadi atau lagi bagi-bagi PJ, nih?” celetuknya sok kenal sok dekat. Rahi semakin dibuat sesak, dia baru sadar akan status barunya yang merupakan pasangan Kenzo. Sedangkan lelaki bermarga Kusumo itu tertawa renyah sambil mengangguk. “Lo pesan apa aja gue yang bayar, Rin,” katanya. “Mau jajan lagi nggak, Ra?” vokalnya langsung tertuju pada Rahi. Kenzo mendapat gelengan sebagai respons cepat dari gadisnya. “Gue kenyang, Ken,” tekan Rahi sekali lagi. Dan jika sudah seperti ini Willis mulai bertindak, dia menarik piring makan Rahi dan menjadikan isi di dalamnya sebagai santapan. Dalam diamnya Willis memakan sisa makanan gadis itu, tanpa peduli akan tatapan seluruh insan yang ada di sana. Rahi menunduk, dia meremas jemari tangannya dengan gelisah. Sekarang rasanya Rahi ingin menangis dan menenggelamkan diri dalam dekapan Willis. Rahi dilema, karena rindu dan tak rela akan keadaan yang seakan mencekiknya saat ini. Mengerti dengan keadaan temannya, Marine memekik tepat ketika pesanannya datang di meja. “Ya ampun! Gue lupa, Hara nyuruh kita ke gazebo, Ra.” Lalu melirik semua kaum Adam yang duduk di meja itu. “Eh … maaf, ya, gue bawa Rahi dulu. Serius ini Hara nunggu dari tadi.” Tanpa peduli dengan kondisi sekitar, Marine menarik tangan Rahi dan mengajaknya untuk segera lengser dari sana. *** Maka saat ini Rahi meluruh, menyandarkan punggungnya di pintu atap. Marine berdusta, nyatanya Hara tidak ada di gazebo, dan memang Hara sedang tak ada di kampus. Makanya, Marine membawa Rahi langsung ke atap fakultas hukum. Dan di sinilah Rahi bersyukur, dia baru bisa bernapas bebas setelah lama tercekik di kantin. “Gimana rasanya?” Rahi menoleh, melihat Marine yang berkata, “Pacaran sama sahabatnya cowok sendiri?” “Udah jadi mantan, gue yang mutusin,” kata Rahi mengklarifikasi. Marine mengangguk, tapi dari cerita Rahi kemarin yang katanya belum ada persetujuan dari mulut Willis soal hubungan mereka, rasanya menurut Marine yang Rahi lakukan sekarang ini salah. “Gue tahu, lo gak cinta sama Kenzo,” ucap Marine dan mulai mendudukkan diri di sisi Rahi. “Belum, bukan nggak.” Lagi-lagi suara klarifikasi dari Rahi. Marine mendengkus, “Karena cinta lo buat Willis, jadi yang katanya belum itu gue yakin ujungnya tetap nggak akan bisa.” “Rin!” sentak Rahi, dia kesal, “kemarin gue refleks. Oke, salah gue! Lo tahu, kan? Ada Willis di sana, dan itu kesempatan supaya gue tahu jawaban dari, ‘pernah gak sih Willis bener-bener cemburu … atau bener gak sih dia suka sama gue?” “Tapi cara lo salah!” tegur Marine. Rahi malah menangis. Tidak tahu lagi harus bilang apa, tak tahu harus bagaimana, benar-benar seperti di hadapkan dengan buah simalakama. Melihatnya, Marine mengembuskan napas pelan, bagaimanapun ini bukan salah Rahi sendirian. Jika saja kemarin dia tidak menyetujui pesan Kenzo untuk membawa Rahi ke parkiran, pasti sekarang jalan ceritanya tidak akan seperti ini. Langsung saja Marine membawa Rahi ke dalam dekapan, meminjamkan bahu untuk sang kawan agar menangis di sana. Marine mencoba menenangkan sampai di mana Rahi malah terpejam. Marine keluarkan ponsel Rahi, mengetik sesuatu di sana lalu mengirimkan sebuah pesan kepada kontak seseorang. *** “Gue balik duluan. Bokap beli kambing baru, jangan lupa nanti malem selametan di rumah gue!” ucap Lei mengingatkan para temannya. “Siap!” respon Key. Sementara Leon hanya menyodorkan simbol oke lewat jari tangannya, dan Kenzo pun hanya mengangguk saja. Karena ada notifikasi di ponselnya, Willis memfokuskan diri dengan benda canggih itu. Yang dia buka, ternyata sebuah pesan masuk dari Rahi. Seulas senyum tipis Willis kibarkan samar. Isi pesannya adalah jajaran kata: Wil, kangen. Aku di atap FH. Sementara itu, di lain tempat Marine terkikik geli, langsung menghapus pesan itu dan kembali memasukkan ponsel Rahi ke tempat asalnya. Dengan perlahan Marine pindah posisi dan membawa Rahi agar menyingkir sedikit dari tempat awalnya. Karena Marine perempuan, tenaganya pun tak sekuat milik lelaki, jadi Marine hanya bisa menempatkan tubuh Rahi di samping pintu masuk saja yang jaraknya hanya beda beberapa senti dari semula. “Kayak batu!” dengkus Marine, dia menatap wajah tidur Rahi, “bilang mau cinta sama Kenzo, tapi isi kontak di ponselnya aja cuma ada nomor Willis,” imbuh Marine menggerutu sebelum kemudian dia memilih pergi meninggalkan Rahi. Ketika Marine belok kanan untuk tinggalkan, saat itulah Willis datang dari arah kiri untuk tiba di atap. Sehingga mereka tidak saling berpapasan. *** Rahi tahu bahwa dirinya masih suka bahkan cinta kepada Willis. Tapi tolong jangan seperti ini juga. Merasakan kenyamanan saat bersemayam dalam gendongan Willis, terdampar dalam dekapan lelaki itu dan menyembunyikan wajahnya di sana. Tempat terindah bagi Rahi adalah d**a bidangnya, di sana Rahi bisa meraup aroma kesukaannya sebanyak yang dia mau. Rahi seperti berada dalam mimpi yang nyata, membuka mata dan mendapati wajah tampan seorang pria semirip pengiklan Nature Republik. Rahi tahu, wajah itu milik Willis. Rahi yakin, dia sedang bermimpi. Sehingga Rahi merapatkan diri, dia mengeratkan tautan tangannya di leher Willis. Lelaki itu sedang menggendongnya ala bridal. Ketika Rahi menyandarkan kepalanya di bahu Willis dan mengendus-endus di sana, Rahi merasa seperti mimpi yang mengajaknya terbang ke nirwana. Hingga kini kedua pipinya sudah merona. “Kamu kapan baunya sih, Wil?” rancau Rahi dengan suara paraunya yang terbenam di bahu pria itu. Sampai tiba di parkiran kampus dan masih terus berjalan menuju keberadaan mobilnya. Willis hanya diam dalam senyuman, mengabaikan ocehan Rahi yang sangat dia rindukan. “Yang ini punya aku,” bisik Rahi dengan mata terpejam, kemudian telunjuknya menyentuh d**a Willis. “Ini juga,” katanya lagi sambil menunjuk bahu Willis yang berlawanan dengan posisi kepalanya. Rahi tidak sadar. “Apalagi yang ini.” Willis tersentak, masih di parkiran tapi Rahi mengecup sekilas bagian bibir. Mungkin bagi Rahi itu hanya mimpi, tapi tidak dengan Willis. Untungnya parkiran sedang sepi. Langkah lelaki itu sampai sempat terhenti dan berikutnya cepat-cepat masuk ke mobil, sementara Rahi berulah. Sepanjang itu Willis membiarkan Rahi bertindak sesuai keinginannya sendiri. Sampai lewat beberapa detik, dan Willis sudah mendudukkan Rahi di bangku samping kemudi, setelah melakukan itu Rahi langsung tidur lagi. Yang sebelumnya bilang seperti ini, “Kamu punya aku.” Kalimat ambigu penghantar euforia. *** “Harusnya lo mikir dulu sebelum nembak Rahi,” kata Key sambil makan cocochip di ruang TV. Malam ini lelaki itu bersedia menginap di rumah Kenzo atas sogokan makanan ringan. Anak kost macam Key tak mungkin melewatkan rezeki nomplok seperti ini. Kenzo mengangguk. “Harusnya gue dapatin dulu nomor ponsel dia.” “Dan dapatin juga hatinya,” imbuh Key. Kenzo mendengkus. “Ya, lama lah! Kapan jadiannya kalau gitu?” kesal Kenzo dan Key tertawa. Hingga mereka saling melemparkan cocochip satu sama lain. Setidaknya dengan hadirnya Key di sini, Kenzo jadi merasa terhibur. Pikirannya tentang Rahi hilang terkubur meski sejenak. Namun, saat mereka lelah dan menyandarkan tubuh di sofa abu, hati Kenzo kembali resah akan rasa cemasnya untuk Rahi. Sementara itu, di mobil yang masih terparkir di depan pagar rumah Rahi, Willis tidak membangunkan gadis itu sejak di kampus dan Rahi sendiri terlelap bagai orang mati. Saat terbangun, mereka saling diam. Willis dan Rahi yang segan sekedar untuk berbicara. Pikiran Rahi melanglang buana, menjabarkan seluruh ingatannya tentang hari ini. Di mulai dari kejadian di kantin, Rahi yang terjebak antara tatapan mantan dan kekasih barunya. Lalu beralih pada saat Marine mengajaknya ke atap, dan Rahi ingat dia menangis di sana. Kemudian begitu saja, di atap Rahi terlelap. Selebihnya Rahi blank, sama sekali tidak ingat. Rahi melirik gerbang rumahnya sejenak, dia terdiam. Beberapa detik berlalu Rahi bergerak untuk turun dari sana diikuti oleh Willis. Kini pria itu di belakang punggungnya, menunggu Rahi untuk masuk ke dalam rumah. Namun, dengan mengerahkan seluruh muka temboknya Rahi berbalik. “Thanks dan jangan mampir,” katanya dalam satu tarikan napas. Willis mendengkus, “Iya,” singkatnya. Rahi mengangguk kecil dan berbalik, lalu melangkah meninggalkan Willis yang masih diam di tempat. Tapi ketika menyentuh besi pagar, Rahi berbalik lagi. Willis mengeryit, karena kini Rahi berjalan ke arahnya. Rahi meronggoh tas selempangnya sendiri yang selalu dia sediakan barang-barang P3K. Dia berhenti tepat di depan tubuh jangkung Willis. Mata mereka beradu pandang. “Warna merahnya nggak hilang,” kata Rahi. Memerhatikan bagaimana bentuk dari mahakaryanya sendiri saat tak sadarkan diri, Rahi meringis sambil memberikan dua buah plester hello kitty. “Besok kamu pakai ini. Wajib!” Willis mengangguk, menerimanya sambil bertanya, “Kalau gak dipakai?” Rahi mengedikkan kedua bahunya tak acuh. “Terima risiko, kalau nanti orang-orang tahu lo habis diserang sama macan betina.” Lalu Rahi berlari, kabur dari jangkauan Willis yang saat ini tersenyum tanpa Rahi ketahui. Entah hubungan seperti apa yang sudah dan akan mereka lalui setelah ini. *** Rahi ingat sebuah mimpi yang rupanya itu benar terjadi. Dalam kondisi terlelap akibat pikirannya penuh oleh seorang lelaki, Rahi sampai tak sadar diri telah melakukan hal yang paling memalukan, apalagi dalam negaranya itu sungguh sebuah pelanggaran, sesuatu yang tidak baik dan tidak diperbolehkan, sayangnya sudah Rahi lakukan. Harus bagaimana selain memasrahkan diri yang sepertinya akan menanggung malu dan amarah ayah-ibu? Tapi mungkin Rahi bisa tenang karena belum ketahuan. Keesokan harinya, Rahi berangkat ke kampus seperti biasa yang berbeda hanya keberadaan Willis saja, pria itu sudah tak lagi menjemputnya, “Ra, lo nyebar virus hello kitty ke Willis apa gimana?” tanya Marine lalu menyendokkan bakso ke dalam mulutnya. Di jam istirahat ini mereka sedang duduk di kantin. “Plester itu?” tanya Rahi balik dengan mata yang menatap sekilas plester pink di leher Willis. Marine mengangguk. “Bukan virus, tapi bentuk pertanggungjawaban atas apa yang udah gue lakuin ke dia.” Sangat santai dan intonasinya rendah sekali, untung meja Willis jauh dengan letak duduk Rahi. Mendadak Marine ingin terbahak. “Vampire lo?” “Nggak lah!” elak Rahi dengan pipi yang bersemu tanpa bisa dicegah. Marine berdecak, menunjuk-nunjuk bibir Rahi dengan garpunya sambil bilang, “Lo bilang itu, tapi ekspresi lo bilang anu. Ra, gue lebih paham tentang lo ketimbang diri lo sendiri.” Rahi mencibir, mengabaikan ucapan Marine yang banyak benarnya. Hingga satu pertanyaan mencuat di kepala Rahi. “Rin, kenapa lo ninggalin gue di atap?” “Gue dapat panggilan alam, lo-nya tidur. Tahu kan gimana tabiat diri sendiri yang tidurnya kayak orang mati?” Miris memang, orang yang punya kebiasaan buruk bisa tidur di mana pun, kapan pun, dalam kondisi apa pun, sampai bumi berguncang atau bahkan hujan meteor sekalipun, Rahi susah dibangunkan. Tanpa kecuali, sekalinya tidur Rahi gemar melindur. Itu bahaya, tapi Marine malah berbuat seenaknya. Sampai di mana malam harinya Rahi bangun di mobil Willis dan secara tiba-tiba ada sesuatu yang sudah terjadi. Rahi meringis, merasa itu memang benar, dia ganti pertanyaan. Matanya memicing menatap Marine. “Sengaja atau nggak, kenapa bisa Willis yang bawa gue?” suaranya sengaja dibuat bisik-bisik cantik. Marine menyimpan garpunya, dia bersedekap d**a. “Seharusnya gue yang nanya, di ponsel lo adanya nomor Willis.” Marine bertingkah seolah apa yang akan dia tanyakan adalah rahasia negara. “Serius, Ra, yang jadi pacar lo itu … Willis atau Kenzo?” *** Willis Wiliam. Pastinya selain ganteng, pembawaannya juga tenang, dan hebatnya Willis mampu membuat orang lain tegang, seperti sekarang. Jolly anak jurusan kedokteran temannya Nabila yang memang suka Willis secara diam-diam. Saat ini di kantin utama yang letaknya strategis antara seluruh fakultas yang ada, Willis duduk di ujung dekat jendela, sendirian sambil memerhatikan Rahi. Sayangnya, Jolly datang dan mengacaukan pandangan. Gadis itu duduk di depan Willis dengan Nabila. “Gak ada tempat kosong, boleh dong kita duduk di sini?” celoteh Nabila yang Willis angguki. Masih ingat, kan? Willis mana bisa nolak Nabila. Dan mungkin itulah isi pikiran Rahi sekarang. Entah apa yang dibicarakan oleh masing-masingnya. Willis tidak tahu topik bicara Marine dan Rahi, begitupun Rahi yang tak tahu jenis perbincangan Willis bersama Nabila dan perempuan yang entah siapa namanya. Itu Jolly yang bersemu sendiri. “Leher lo kenapa?” mata Nabila memicing tiba-tiba begitu melihat plester hello kitty di kulit Willis. Saat Nabila hendak menyentuhnya, Willis lebih dulu menepis tangan Nabila. Lalu memegang lehernya sendiri sambil bilang, “Di gigit macan betina.” Baik Jolly maupun Nabila, keduanya mengeryit tak paham. “Serius, ketusuk atau lecet gara-gara digaruk nggak sadar—oh atau mungkin, sesuatu yang ambigu?” lontar kata spontan dari Jolly yang sampai lebih dulu di titik terang. Willis berdeham. “Yeah, this is amazing mark,” katanya. Nabila berhenti mengunyah, dia menyimpan sendok dan garpunya dengan tegas menunjukkan bahwa nafsu makannya sudah lenyap. “Siapa?” Jolly tersenyum masam. “Ceweknya, ya?” “Macan betina.” Tetap itu jawabannya, kemudia Willis melenggang dengan santai tanpa peduli akan apa yang terjadi pada hati Nabila dan juga hati Jolly. Jelas sekali, hawa panas menguar di sana. *** Karena merasa panas, gerah hati melihat kedekatan Willis dengan Nabila, akhirnya saat Willis pergi Rahi juga bangkit meninggalkan kantin tanpa diikuti Marine. Berjalan tanpa arah tujuan, sebenarnya jam kelas Rahi sudah kosong. Tapi dia sengaja tak pulang lebih dulu karena dia akan pulang bareng Kenzo yang masih ada jam perkuliahan. Saat di parkiran waktu pagi dia bertemu Kenzo dan berbincang sedikit hingga pada akhirnya lelaki itu mengultimatum agar Rahi menetap di kampus sampai Kenzo selesai. Langkah Rahi terhenti. Notifiksai pesan masuk menginterupsi perjalanan hampanya. Satu pesan dari mantan, tapi kenapa nama kontak itu masih sama seperti dulu? From: Wiliam♥ Atap. Rahi belum sempat menggantinya, atau mungkin dia belum rela? Isi pesannya simpel. Dan Rahi paham, Willis memintanya untuk datang ke sana. *** Memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Willis kembali menerawang. Kemarin itu harusnya dia diberi julukan lelaki terkuat imannya sejagat raya. “Ngapain nyuruh gue ke sini?” Willis tersentak, vokal Rahi melengking di sampingnya. “We need to talk.” “Bodo. Gue gak ngerti bahasa Jawa!” misuh Rahi kesal sendiri, karena dia merasa dilecehkan tak pandai bertutur bahasa Asing, meskipun ada beberapa kosa kata yang Rahi ketahui. Dan untuk kali ini Rahi malas menunjukkan kalau dia tahu apa artinya ucapan Willis, membiarkan cowok itu terkekeh. Willis pun menepuk tempat duduk yang biasa Key tempati untuk tidur saat berkumpul. “Sini, Ra!” “Nggak.” Willis mendengkus. “Yaudah, aku yang ke situ.” Akhirnya mereka berdiri berhadap-hadapan di sisi kursi. Tatapan Willis begitu tajam mengintimidasi, Rahi agak risih. Tapi mau bagaimana lagi? Sebagian jiwanya merasa suka ditatap seperti itu. “Kamu gak penasaran kenapa sikap aku kayak gini?” “Wil—” cicit Rahi tak tuntas karena Willis memotongnya dengan tegas. “Jangan Kenzo, jangan laki-laki, dan jangan yang lain … yang aku klaim, punya aku.” Rahi hilang kata-kata. Dia menggigit bibirnya gelisah, memikirkan cara agar terbebas dari intimidasi yang Willis beri. “Boleh aja sekarang kamu pacaran sama Kenzo.” Rahi tidak mendengar, otaknya sedang sibuk sendiri, telinganya jalan-jalan entah ke mana. Hingga pada akhirnya Willis berucap lagi, “Tapi nanti nikahnya sama aku.” Benar-benar tidak mendengar. Rahi terpejam, berusaha fokus sendiri. Sampai akhirnya Rahi menemukan satu titik terang, dia menyeringai dan membuka kelopak matanya. Menantang Willis dengan tatapan tak kalah tajam. “Lo pinter bahasa Inggris, kan?” Satu kalimat tanya yang membuat Willis mengeryit. “Coba artikan,” Rahi maju hingga tubuhnya sisa satu jengkal dengan Willis. Berjinjit sambil berbisik, sebuah kalimat English yang sering dia baca di status media sosial orang, “I don't care,” bisiknya, lalu beraksi. Bugh! “Arggghhh!” Kemudian Rahi lari, dia kabur terbirit meninggalkan Willis yang tumbang untuk kedua kali. Meskipun rasa cemas menggelayuti hati Rahi, tapi sesekali tidak apa-apa mengabaikan keadaan. Karena dalam pikiran Rahi, melindungi diri dari lelaki itu penting. Rahi menendang tulang kering Willis yang memang caranya itu salah. Sambil duduk memegangi tulang keringnya, Willis meringis. Dia mengutuk tindakan Rahi yang luar binasa ini. “Kalau nanti aku colok, nangis kamu!” *** Ada banyak orang mengalami sindrom dilema, dalam urusan yang berbeda dan variasi rasa serta warna hatinya pun tidak sama. Jika Bian patah hati, gagal sebelum mencoba, atau bahkan gagal ketika hendak melaksanakan rencana cinta, dan sekarang Bian sungguh dilema. Memikirkan banyak cara: bagaimana dia bisa mengusik hubungan yang masih anget-angetnya? Lagipula, itu gak baik, kan? Maka, warna hati Bian adalah kelabu. Putih tidak, kelam pun tidak. Lantas, apa kabar dengan Kenzo? Pura-pura bahagia dengan situasi yang ada, menjadi pacar Rahi banyak cobaannya juga ternyata. Karena Kenzo Cahyo Kusumo adalah sosok pencemburu semenjak dekat dengan Rahi, saat tahu bahwa wanita itu masih sering terlihat dengan Willis, Kenzo merasa terbakar emosi jiwanya. Dia menjadi semakin tidak tahu diri. Dan saat ini di parkiran kampus, Kenzo dan Rahi yang sepakat untuk pulang bersama. “Mulai sekarang gak usah naik ojek atau angkutan umum lagi. Aku siap antar jemput kamu dua puluh empat jam,” kata Kenzo. Rahi mengangguk ringan, Kenzo menyalakan mesin motornya. Suara knalpot Ninja Kenzo itu sangat manly, sama seperti yang punya. “Ayo naik!” Rahi tersentak. “Eh, gue pakai rok.” Alhasil Kenzo turun lagi dari motornya dan mematikan mesin Ninjanya. “E-eh, mau apa?” gugup Rahi sambil memalingkan wajah ketika melihat Kenzo yang membuka kemejanya sendiri. Serius, ini di parkiran tapi Kenzo sangat santai membuka pakaian dengan gayanya yang sensual. Rahi jadi teringat dengan Willis yang dulu pernah membuatnya tersanjung hanya karena sebuah kemeja. Ya Tuhan! Kenapa malah jadi Willis yang dipikirkan? “Ra?” “Huh?” Rahi tersentak, Kenzo langsung mendekatinya tanpa aba-aba dan memasangkan kemeja itu di badan Rahi yang bagian lengannya diikat di sekitar pinggang. Tubuh Kenzo sangat wangi, minyak wanginya segalon mungkin? Tapi menurut Rahi, wangi tubuh Willis jauh lebih nyaman dihirup. Oke, lupakan tentang Willis! “Udah, yuk, naik!” “Eh, iya. Thanks.” Rahi baru sadar jika Kenzo mengenakan kaos putih polos di dalam kemejanya, mirip dengan Willis. “Pegangan, ya, Ra!” “Oke.” Rahi pikir, tubuh Kenzo memang besar, tapi kehangatan di tubuhnya tak sebanding dengan Willis yang selalu lebih-lebih dari Kenzo. Namun, ada satu hal yang Rahi tidak tahu dari bagaimana rasanya Willis ketika duduk boncengan seperti ini? Satu hal yang tak pernah Willis lakukan saat jalan dengannya, sama sekali tidak pernah. Willis Wiliam selalu membawa mobil ketimbang motor gagah kayak Kenzo. Dan Rahi rasa di sanalah letak perbedaan paten mereka yang tak bisa Rahi banding-bandingkan, Kenzo punya cara tersendiri untuk membuatnya nyaman. Seperti sekarang, kaki Rahi tertutupi oleh kemeja lelaki itu. Satu poin plus untuk Kenzo dari Rahi. “Jangan baper sama gue, ya, Ken,” kata Rahi sambil mengeratkan pegangannya di pinggiran kaos Kenzo. “KAMU PENGEN WAFER?” karena suara Rahi kalah dengan suara kendaraan yang lain. “Aku bilang jangan baper.” Nah, kan, jadi ikutan aku-kamu. “OH … YAUDAH, NANTI MAMPIR DULU KE BAROKAH. WAFER DI SANA ENAK-ENAK.” Terserah. Rahi langsung unmood. *** “Key mana?” tanya Willis saat tiba di atap tempat tongkrongan mereka. Leon dan Lei menoleh. “Dia balik duluan, kita nunggu lo di sini,” jawab Leon. “Lama,” cibir Lei. Willis mendesah, dia duduk dengan hati-hati. “Bini gue kumat lagi, sialan.” Yang ada di sana menoleh bersamaan. “Rahi suka banget nendang gue, untung aja gue kuat.” Willis mendumal, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk balas tindakan Rahi sebelumnya. “Jijik, bahasa lo iya banget.” Dan Willis hanya mendengkus saja menanggapi komentar Leon. “Ini si Kenzo mana?” Willis mengalihkan topik bicara. “Nanti dia nyusul, kita jalan duluan aja. Kasian Key sendiri di kost sedang berduka.” “Hah?” Willis refleks menoleh. “Tuhan terlalu sayang sama ayahnya Key. Makanya beliau Tuhan ambil,” ucap Lei. Agaknya Willis tidak percaya, pembahasan mereka terlalu sulit untuk dia cerna. “Kenapa tiba-tiba? Yang gue tahu Paman Berlyn adalah orang sehat sejagat.” “Lo sibuk pacaran dan lo sibuk dengan your mistake. Orang tua sahabat sendiri meninggal aja lo nggak tahu.” Baru kali ini Willis merasa omongan Leon mencubit hatinya. “Kapan?” Yang Lei jawab sambil bangkit, “Beberapa hari yang lalu, tapi Key baru diinformasikan sekarang. Makanya Key buru-buru pulang hari ini.” “Lo tahu, kan? Ibu Tiri Key itu aslian kayak di dongen cinderella. Kabar sepenting ini aja ditutupi berhari-hari dari anak kandung suaminya sendiri. Nggak tahu deh apa isi otaknya,” misuh Leon turut bangkit juga. Hari ini mereka berniat untuk menyusul Key ke kost-annya. “Ya udah, sekarang kita susul Key.” Sambil bangun sambil meringis, Willis rasa dia sedang cidera. “Eh … iya, tapi Key bilang datangnya nanti sorean aja. Lupa, dia butuh waktu buat sendiri,” kata Leon. “Terus Kenzo gimana? Dia tahu soal ini?” Masih penasaran dengan satu orang itu Willis bertanya. Sejenak Leon menghela napas pelan. “Orang pertama yang tahu setelah Key, ya, Kenzo … dan dia dapat ultimatum untuk diam. Key bener-bener lagi gak bisa di ganggu—” perkataannya yang Lei pangkas sempurna, “Makanya kali ini Kenzo pulang bareng Rahi.” Bibir Willis seketika rapat dan tak banyak bertanya lagi. Hari ini, mereka pikir pertemanan mereka mulai terasa dihujani oleh kerikil-kerikil kecil yang cukup bahaya. *** “Ra, kenapa gak jadi beli wafernya?” saat tiba di depan gerbang rumah Rahi, Kenzo bertanya demikian. Rahi menyerahkan helm hitam ke Kenzo sambil bilang, “Makasih, yang tadi itu kamu salah dengar.” “Eum, nanti sore ada acara gak?” “Paling gue tidur. Kenapa, Ken?” Kenzo berpikir, jika mengajak Rahi ke tempat Key … apa akan baik-baik saja? Tapi Key juga tidak butuh Rahi, yang Key butuh itu pengertian. Ya, Kenzo pikir hanya itu yang Key butuhkan. Bukan simpati dan hiburan, hanya setitik pengertian untuk membiarkannya tenang dalam kesendirian. “Aku pulang, ya?” Akhirnya itu yang Kenzo putuskan. Rahi mengangguk dan tak banyak bicara. Namun, sebelum benar-benar pergi Kenzo menarik tangan Rahi dan meronggoh saku celananya. Lalu meletakkan selembar kertas di sana. “Save my number, dan jangan macam-macam sama mantan, kamu udah ada aku. Kalau kangen, telepon aja.” Kenzo senyum, ganteng. Kenzo mengusap rambut Rahi, dan Rahi balas dengan senyuman biasa. Bahkan ketika Kenzo balik lagi lalu menjatuhkan satu kecupan ringan di pipi pun Rahi rasa hatinya malah terluka. Bukan senang atau gembira. Artinya, fix, Rahi tidak baper. Menatap nanar selembar kertas bertuliskan jajaran angka di dalamnya. Sekarang Rahi bertanya-tanya, yang gue lakuin itu jahat nggak? Dan kenapa ibu jarinya malah berulah, membuka layar kunci di ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan untuk seseorang. Dalam sadar atau tidaknya Rahi hari ini, yang isinya: Rebut gue dari Kenzo, Please. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD