3. Sabar Itu Berat

1279 Words
Saat pulang kuliah, Rahi menyempatkan diri untuk mampir terlebih dahulu di toko kue. Dia suka yang manis-manis, tapi bukan berarti type lelakinya yang serupa dengan Key—hitam manis. “Wil, mending yang cokelat atau vanila?” Rahi meminta pendapat kekasihnya akan cita rasa yang layak untuk dia makan nanti. Antara cokelat dan vanila, bukannya menjawab Willis malah mendengkus. Rahi mencibir, “Lupa, ya? Aku lagi pacaran sama es batu.” “Vanila aja.” “Tapi aku lagi pengin yang cokelat.” “Yaudah, cokelat.” Namun, yang ada Rahi mendelik, dia menatap tajam wajah datar Willis yang entah kapan bisa ada ekspresinya. “Kamu nyuruh aku gendutan bukan, nih?” dengan vokal menuduhnya Rahi kembali berucap, “jujur deh!” “Lagi datang bulan, ya?” kali ini Willis menaikkan satu alis matanya. Rahi mencubit perut Willis. Willis jadi serba salah, mengantar perempuan beli kue saja pembahasannya malah liar ke mana-mana. “Jadi beli nggak?” Tuh, kan, menyebalkan lagi. Rahi cemberut. “Yaudah, borong dua-duanya. Gak mau tau, kalau aku gendut … kamu jangan selingkuh!” Setelahnya Rahi pergi lebih dulu meninggalkan Willis yang hanya bisa menghela napas saja. Diperhatikan oleh banyak orang, sudah biasa. Karena Rahi yang memang muka tembok, sementara Willis sendiri adalah temboknya. Jadi, untuk apa malu? Biarkan saja. Orang punya mata fungsinya untuk melihat. Kalau memang perdebatan kecil tadi itu adalah tontonan, so? It's okay.  “Kue cokelat sama vanilanya dua,” akhirnya itu yang Willis sebutkan. *** Rahi tersenyum selebar-lebarnya menyambut Willis yang datang dengan jinjingan di tangan. Kekasihnya memang baik hati, walaupun terkadang sifatnya sering menguras emosi. Sekarang saja bingkisan dari toko kue yang Willis bawa ada dua. Benar-benar lelaki idaman, Rahi jadi makin suka. “Cerdik banget sih, ceweknya lagi ngambek disogok pakai kue,” vokalnya jenaka. Rahi mencolek dagu Willis yang wajahnya terlalu fokus menatap lurus ke jalanan. Ada dua pula kuenya. Duh, baper jangan nih? Rahi sudah kelewat senang soalnya. “Jangan serakah,” celetuk Willis. Uluran tangan Rahi saat hendak mengambil kue-kuenya terhenti. Suara Willis menginterupsi, “Yang satunya untuk Nabila.” Oh, God damn! Mood Rahi langsung hancur seketika. “Berhentiin mobilnya!” sambil membuka sabuk pengaman Rahi berucap lagi, “gue mau turun.” Yang Willis turuti dan sukses membuat hati Rahi mencelos karenanya.  “Kenapa berhenti?” sewot Rahi. Kening Willis mengeryit tak mengerti, “Turunnya gak jadi?” Oke fix, menyebalkan! Langsung saja Rahi beringsut membuka pintu kuda besi, lalu turun dengan gerakan dongkol setengah mati. Menutup daun pintu sekuat tenaga sebagai bentuk menyalurkan gumpalan emosi. Karena amarah menguasai diri Rahi, jalanan yang dia pijaki tidak terlalu diperhatikan, hingga sering kali Rahi kelimpungan sendiri dengan high heels yang dikenakan. See! Mobil Willis bahkan tidak lewat-lewat. Pastinya sudah pergi, belok arah dan meninggalkan Rahi. Ingin menengok ke belakang, gengsi. Rahi sedang berada dalam zona egoisme wanita yang tinggi. Tapi, Willis juga salah! “Awww—eh!” Rahi memekik, tubuhnya melayang di udara. Ya ampun, dia terbang! “Aku kan udah bilang, jangan pakai sepatu hak tinggi.” Sontak Rahi mendongak. Rahang Willis yang begitu kokoh terangkat congkak dengan gaya manly-nya yang selalu terlihat seksi. Tidak salah lagi, pacarnya memang tampan sekali. Suara Willis terlewat datar, tapi wajah Rahi sudah merona dengan lengkungan sabit di bibirnya. Senangnya bisa nemplok dalam gendongan seorang Willis Wiliam, d**a bidangnya yang selalu Rahi jadikan khayalan nikmat surga dunia, akhirnya dia rasakan. Nyaman, hangat, terlindung, jadi satu. “Jangan kayak koala, Ra. Kamu berat.” Sedang enak-enaknya, Willis malah bilang seperti itu. Rahi mengerucutkan bibirnya. Ternyata mereka sudah sampai di dekat mobil Willis yang posisinya masih terletak di tempat semula. *** Setibanya di rumah, Rahi merebahkan tubuhnya, tersenyum-senyum sendiri bagai orang gila. Virus cinta memang berbahaya. Jika ada yang melihat bagaimana Rahi saat ini, wajahnya berseri seolah baru saja mendapatkan hadiah tiket holiday ke Eropa di tengah keuangan yang surut, hal itu perlu dipertanyakan kewarasannya. Hingga beberapa menit berlalu, ponselnya berdering menandakan ada sebuah panggilan yang datang. Nama Marine tertera di layar. “Halo? Bersama orang cantik di sini,” kalimat pembuka dari Rahi menyapa sang penelepon. “Idiw, meludah ke angkasa gue, Ra!” Rahi tertawa. “Eh, iya, lo udah tahu acara kolab antar klub belum?” “Frstival akbar itu?”  “Dan semua wajib main peran. Siap-siap aja ya, Ra, Pangeran klub dance pasangannya pasti sama Ratu drama.” Seketika wajah Rahi berubah murung. Dia mendengkus kesal karena tidak bisa akting. Jangankan untuk main peran dalam panggung sandiwara, untuk berbohong saja Rahi bukan ahlinya. Akhirnya, obrolan berlanjut menjengkelkan hingga Rahi putuskan sepihak. Karena Willis terpilih sebagai ketua, meskipun saat pemilihan hanya beda satu poin dengan Key yang pada akhirnya mengharuskan Willis untuk sibuk di acara-acara tertentu. Berbeda dengan Rahi, bakat aktingnya yang minin sekali, Rahi juga sempat ditolak untuk memasuki klub drama dan gagal lolos di klub dance. Tubuhnya tidak lentur seperti Willis yang bisa meliuk sana-sini, Rahi juga tidak pandai memainkan alat musik. Namun, jangan salah! Suaranya sungguh cetar membahana badai halilintar, Rahi Dinata adalah seorang lead vokal. *** Keesokan harinya di pagi buta. “Wil,” sambil berjalan Rahi bertanya, “udah dapet peran buat drama nanti?”  Pasalnya, kini mereka sedang menikmati olahraga di pagi hari, hitung-hitung kencan sehat. Karena jarak rumah Willis tak jauh dengannya, Rahi selalu menyempatkan diri sebelum kuliah untuk bangun pagi-pagi sekali dan mengajak Willis keliling blok bersama.  “Belum, dramanya juga belum nentuin judul dan alur. Kenapa?” “Harus banget, ya, jadi peran utama?” Harapannya, semoga Willis tidak dapat peran sekalian. Rahi belum siap menyaksikan kekasihnya untuk romantis-romantisan dengan gadis lain seperti waktu itu, dan Rahi tidak akan pernah siap. “Nggak juga.” Kontan Rahi menoleh dengan senyum merekah, senangnya bukan kepalang. “But, I want to play the drama.” Sebelum Rahi benar-benar terbang dan kini sudah didorong ke dasar jurang. Tatapan yang Willis berikan tidak ada sorot permainan. Katanya, “Ra, aku gak mungkin nolak Nabila.” Seketika langkah Rahi terhenti dengan sendirinya. Karena Willis tidak mungin menolak Nabila. Nggk mungkin … “Kenapa berhenti?” Nolak Nabila. Rahi mendongak, tubuh Willis yang berada tepat di hadapannya, jarak mereka hanya terpisah satu langkah. Jadi, karena Nabila yang mengajak untuk main peran utama bersama Willis … “Kamu gak bisa nolak?” oceh Rahi dengan nada terendah yang dia miliki. Dengan santai Willis mengangguk. “Terus, kalau aku minta kamu buat batalin itu dan menggantikannya dengan Key atau siapa pun yang bukan kamu, bisa?” Willis memilih diam. Rahi mendengkus, rasanya menyakitkan. Dia kembali berjalan melewati Willis. “Katanya, gak bisa nolak.” Dan Willis berbalik, berjalan di belakang Rahi, telinganya tidak tuli dan sejak tadi ucapan Rahi tak pernah berhenti. “Oh, iya … kan aku bukan Nabila yang gak bisa ditolak.” Willis masih setia mendengarkan. Kini mereka berjalan beriringan, sesekali Rahi juga melirik Willis yang wajahnya masih sedatar papan. “Jadi berasa pengen nyanyi lagu Satu Atau Dua dari Gamma One,” oceh Rahi. Willis tahu itu sindiran, tapi Willis tetap diam. “Eh, nggak. Ngapain coba pilih aku atau dia, kalau di sini jelas kelihatannya cinta kamu untuk Nabila?” Karena lidah tak bertulang, Rahi terus mengeluarkan kata-kata sindiran. “Ra, udah.” Willis mencoba untuk mengentikan ocehan Rahi. “Gak denger!” Rahi menutup dua telinganya dengan telapak tangan. “Jangan kayak anak kecil!” Tiba-tiba Rahi menghentikan langkahnya, dia menempatkan tatapannya pada wajah Willis. Rahi geram. “Ya emang aku kecil, gak kayak Nabila yang body-nya goals mirip gitar Sepanyol!” sewotnya menatap marah wajah Willis. “Aku orang yang gak bisa nolak dan gak bisa membatalkan apa yang udah diputuskan.” Mata Rahi berkaca-kaca mendengarnya. Entahlah … bukannya tenang, Rahi malah semakin emosi. “Oh, gitu? Pantes, aku diterima.” Dua tahun lalu adalah hari di mana Rahi mengajak pacaran dengan seorang lelaki, dan sampai saat ini lelaki itu masih bersamanya. Willis Wiliam yang menghela napas berat. “Bener, kan?” sinis Rahi menjeda, “kamu putus sama Nabila karena dia yang minta dan kamu gak bisa nolak. Terus lusanya, kamu terima ajakan pacaran dari aku karena kamu juga gak bisa nolak!”  Sudah tak bisa ditahan lagi, untungnya tempat yang mereka pijaki cukup sepi. Rahi kecewa, Willis setia dengan bungkamnya. Selain karena cemburu, selain karena pikiran negatif yang sudah melekat dalam diri Rahi, tapi pada saat itu memanglah terjadi seperti yang Rahi katakan. Hati Rahi mencelos lagi, hubungan yang sudah terjalin selama dua tahunan ini, barang sekali pun Willis tak pernah mengatakan kata cinta. Kini yang ada Rahi tertawa. “Aku ngomong apa, sih? Udah ah, jangan kayak drama!” Dan lalu pergi begitu saja meninggalkan Willis yang masih berdiri di sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD