Kakek Penjual Cucu

1046 Words
Entah mengapa mendengar jawaban pria yang tampak renta tapi memiliki ambisi tinggi ini membuat Sawn Arthur Livingston sedikit ingin bermain dengan keadaan, karena dia berfikir akan menyenangkan hanya dengan mengeluarkan sedikit uangnya. Sehingga dia memilih pura-pura mempercayainya, terlebih pria tua itu tak akan mungkin berani menghianatinya, karena siapapun yang terhubung dengannya pasti mengetahui sepak terjangnya di dunia bisnis yang tak kenal ampun. "Baiklah. Jika anda seyakin itu." Dia menoleh kearah pria yang berdiri di sampingnya. "Hansen, segera urus semua keperluan yang dibutuhkan untuk kerja sama dengan Tuan Mustafa." perintahnya tegas, tak berbasa-basi meski sedang berhadapan dengan pria tua yang seharusnya dihormati atau setidaknya santun. "Baik, Tuan." jawab pria yang dipanggil Hansen sembari mengeluarkan dokumen yang diperlukan dari dalam tas jinjing hitam miliknya lalu menyodorkan kepada sang boss. Swan tampak tengah membaca ulang dokumen yang berada dihadapannya, lalu dengan sigap dia menanda tangani dokumen itu kemudian menyodorkan kepada pria tua itu. Terlihat dari raut wajah keriputnya pria tua itu bersemangat setelah melihat dokumen di tangan Swan seolah dirinya baru saja diberikan hadiah umur panjang ratusan tahun ke depan. "Ingat. Barang yang telah menjadi milikku tidak boleh diganggu gugat. Dan pihak Tuan Mustafa Ibrahim telah kehilangan hak atasnya sejak dokumen ini berpindah tangan, paham?" suara bariton pria tampan itu sedikit membuat merinding terlebih dengan senyum yang tersembunyi dibalik wajah tegasnya membuat siapa saja yang berada dihadapannya tak akan mampu bersikap santai. Njir! Aku di bilang barang. Sialan ni orang. Lihat aja, tar kau yang bakalan batalin sendiri. Gumam Windy yang hanya berani menunduk dan menatap sepatu pria yang berada dihadapannya. Ehh! Tapi aku merasa kayaknya mereka lelaki semua. Tapi aku gak berani liat. Tapi keppo... Windy mengangkat sedikit dagunya dan matanya terbelalak melihat kerumunan pria yang ada di ruangan itu. Whats?! Orang tadi. Allahu Akbar! Dari jutaan lautan manusia di bumi ini. Meski banget kudu pria ini. Upsh! Tapi ini semakin mempermudah untuk batal bukan. Kan dia sejak awal sudab benci. Okey.... Windy tersenyum penuh kemenangan mencoba menggunakan rencana yang akan dia lakukan demi membatalkan rencana sang kakek yang ingin menikahkannya. "Ba-baik, Tuan. Tapi sebelum Tuan membawanya. Beri saya waktu lima menit untuk berbicara empat mata dengannya." jawab tegas pria tua itu yang langsung meraih dokumen dari tangan Swan ke tangannya. Tangan rentanya memegang erat-erat dokumen yang kini telah berpindah tangan. Seolah takut dokumen itu akan lepas. Bahkan dia merasa dokumen itu lebih berharga dari nyawanya. "Tidak masalah. Tapi, seperti yang telah diketahui sebelumnya. Saya orangnya tidak suka bertele-tele. Dan satu lagi, saya tidak suka membuang waktu hanya untuk menunggu..." sahutnya dijawab tegas oleh pria tua itu. "Tentu saja, saya tidak akan pernah mengecewakan Tuan Swan yang telah menyelamatkan nama baik saya di dunia bisnis. Saya akan jaga amanah Tuan sebaik mungkin." Belum selesai Mustafa Ibrahim melanjutkan kalimatnya, pria bernama Swan itu beranjak berdiri. "Hansen. Kau tahu harus di bawa kemana bukan? Aku harus segera kembali karena aku harus mempersiapkan diriku..." tuturnya seraya melirik sekilas kearah Windy Aksena Ibrahim yang sejak tadi menundukkan kepala mendengar percakapan yang sama sekali tidak dia pahami. "Baik, Tuan." jawab Hansen dan beberapa pria berbadan tegap itu menunduk hormat pada pria itu lalu mereka meninggalkan ruangan itu kecuali pria bernama Hansen yang masih tinggal. "Tuan. Saya akan menunggu di luar. Saya mohon Tuan tidak mempersulit saya. Karena jika itu terjadi, saya kawatir akan murkanya Tuan Swan." ucap Hansen dengan membungkuk hormat lalu meninggalkan ruangan restaurant mewah itu. Sepeninggal Swan dan Hansen, suasana ruangan itu hening sejenak, Windy masih terpaku menekuri lantai parket restaurant mewah hotel bintang lima. Dia masih tak bergeming meski jelas terdengar bahwa baru saja berlangsung transaksi jual beli antara dirinya dan perusahaan sang kakek. Entah bagaimana kronologi lengkapnya. Yang Windy bisa lakukan saat ini adalah diam dan mengikuti semua perintah sang kakek dan menjalankan misinya agar tidak terjebak dalam perjanjian konyol. "Windy. Kau harus ingat. Pria tadi adalah calon suamimu. Kau tak perlu tahu apa pekerjaan atau bagaimana pria itu. Yang jelas dan yang terpenting untuk kau lakukan adalah. Kau harus membuat pria itu bahagia. Karena jika kau membuat kesal pria itu, maka nyawa ayahmu akan terancam..." nasehat sang kakek yang lebih pas di sebut dengan ancaman. "Kek. Nyelametin nyawa papa kayaknya gak kudu nikah ama tua bangka model begitu dech! Masih banyak cara lain, Kek..." Belum sempat suara sang cucu menyelesaikan rangkaian kalimatnya, sebuah tamparan telah mendarat melukis pipi mulus milik gadis berusia sembilan belas tahun itu. "Kurang ajar!! Ini caramu membalas kakek setelah kakek membesarkanmu dari bayi, hah?! Kau harus sadar. Masih untung ada pria yang mau menikahi anak buangan sepertimu. Kau itu dibuang oleh ibumu. Hadirmu tidak diinginkan oleh orang tuamu. Jadi jangan banyak bacot!! Atau kau mau ayahmu mati sekarang juga?!!" teriak pria tua itu dengan nafas tersengal-sengal karena usianya yang mengharuskan dirinya tak lagi marah-marah. Hmm...okay, gaes. Plan A kemungkinan gagal. Windy hanya tertunduk seperti biasa, meski merasakan pedih, dia berusaha menahan bulir bening yang sudah menyesak hendak menjebolkan bendungannya. Entah keberapa ribu kali atau bahkan juta kali kalimat itu terlontar dari pria tua bernama Mustafa Ibrahim itu. Tentang dirinya yang telah dibuang oleh sang ibu ketika di lahirkan. "Dengarkan kakek baik-baik, Windy. Kalau kau berani bersuara sekali lagi sok menasehati kakek. Maka saat itu juga nyawa ayahmu yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untukmu akan melayang. Dan kau tahu siapa pembunuhnya? Kau!" bisik suara itu tepat di telinga Windy hingga Windy merasa sesak untuk bernafas. Bahkan tangan kecilnya refleks menutup telinganya dan memejamkan kedua kelopak mata indahnya. Melihat sang cucu enggan mendengarkan kalinat petuahnya membuat Mustafa Ibrahim semakin murka, hingga nafasnya tersengal-sengal. Pria tua itu terduduk lemas sembari memegangi jantungnya membuat Windy terkejut melihat sang kakek terjatuh di lantai. "Kakek!!" Pekiknya melepaskan kedua tangannya yang sempat menutupi telinganya. Windy berusaha menolong sang kakek tapi pria tua itu justru memakinya di sisa tenaganya. "Dasar cucu sialan. Kau tak hanya akan membunuh ayahmu. Tapi kau juga akan membunuh kakek dan keluarga besarmu dengan sikapmu yang sok hebat itu!" teriak sang kakek dengan suara serak khas pria tua. "Kakek...maafin Windy, Kek..." tutur Windy perlahan. "Percuma kau minta maaf kalau kau memang berniat membuat keluarga besar kita mati." ucap sang kakek dengan kesal. Membuat Windy tertunduk. "Kakek, kalau memang Windy harus mengabdi kepada pria tadi, Oke. Akan Windy lakukan. Windy akan bekerja untuknya, tapi tidak menikah dengannya. Windy sudah memiliki pria lain Kek..." jawab Windy akhirnya setelah lama terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD