Methalia mengerutkan dahi heran melihat Juna yang tengah menatap tajam Diana. Ia fikir, Juna hanya membencinya.
"Katakan," perintah Juna.
Diana tidak bisa mengeluarkan suaranya. Ia hanya menunduk takut.
Suaraku hilang. Bagaimana ini? Thalia, tolong aku...
"Apa kau tuli?" teriak Juna
Diana sampai kaget mendengar teriakan itu dan menjatuhkan berkas yang ia bawa. Methalia langsung mendekatinya dan mengambil berkas itu.
"Keluarlah, biar aku yang menyampaikan laporan ini," ucap Methalia.
Diana bernafas lega saat Methalia menolongnya. Ia langsung berbalik arah dan membuka pintu keluar.
Juna tidak tinggal diam. Ia mencegah Diana keluar dari ruangan itu.
Brak
Diana sampai mundur ke belakang dan berdiri di balik tubuh Methalia.
"Siapa yang menyuruhmu keluar?" tanya Juna dengan sedikit berteriak, "Jawab!" bentaknya.
Diana berusaha bersuara untuk menjawab perkataan Juna. Namun, suaranya belum keluar begitu saja. Methalia menoleh ke arah Diana yang masih berusaha mengeluarkan suaranya. Ia kemudian menyeret Diana untuk menuju ke arah pintu. Dengan cepat, Methalia membuka pintu dan mendorong pelan tubuh Diana agar keluar dari ruangan itu.
Juna semakin seperti singa yang kepanasan. Ia sudah tidak bisa mengontrol emosi yang kian memuncak lagi. Dengan sigap, Juna menyeret kasar tangan Methalia dan melemparnya kasar di lantai. Tidak hanya itu, Juna mengambil air yang ada di meja dan menyiramnya ke wajah Methalia.
Methalia kaget di perlakukan kasar oleh orang yang baru ia kenal. Salah apakah dirinya? Kenapa Juna melakukan ini padanya? Banyak pertanyaan yang timbul di benak Methalia.
"Itu hukumanmu karena kau mencampuri urusanku," ucap Juna tanpa rasa bersalah kepada Methalia.
Methalia masih kalut dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa di jawabnya. Ia perlahan berdiri mengusap seluruh wajahnya yang terkena air dan pergi perlahan keluar ruangan. Methalia tidak menangis dan tertawa. Ia hanya berjalan dengan pandangan kosong mencari jawaban itu.
Juna menatap bekas air yang ada di lantai. Melihat Methalia yang keluar dari ruangan tanpa ekspresi membuatnya sedikit bersalah. Meskipun begitu, kebenciannya tidak surut sedikitpun. Ia benci Methalia karena Damar selalu menceritakan kebaikan gadis yang tidak dikenalnya.
Nama Methalia yang disebut sang kakek setiap hari selalu terngiang di telinganya. Sampai Juna bosan mendengar perkataan Damar memuji Methalia setiap waktu.
Juna tidak akan percaya dengan kebaikan Methalia. Ia berusaha mencari celah untuk membuka kedoknya. Juna berfikir bahwa tidak ada gadis yang tulus mengenai kebaikan. Mereka pasti selalu menginginkan imbalan untuk menghargai kebaikan itu.
Methalia contohnya, Juna beranggapan bahwa Methalia mendekati Damar hanya untuk meraup hartanya saja. Setelah harta itu habis, pasti Methalia akan pergi jauh dan meninggalkan Damar. Pikiran negatif itu selalu bersarang di otaknya sampai tertanam menyebar ke seluruh tulang dan tubuhnya.
Juna menghela nafas kasar. Ia kembali duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya masih tertuju pada Methalia. Ekspresi wajah dia yang selalu melintas di otaknya.
"Dasar rubah sialan! Pergilah dari otakku," gumam Juna.
Sementara itu, Methalia berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka dan mengeringkan bajunya. Ia menatap cermin di depannya. Hari ini adalah hari yang sangat panjang untuknya.
Meskipun Juna sangat kasar padanya, tapi ia harus tetap bertahan. Demi adik-adiknya yang ada di panti. Profesinya selama lima tahun terakhir mampu menunjang saudaranya di panti asuhan. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Cobaan ini pasti dapat ia lalui dengan mudah. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan umatnya.
"Kau harus bertahan, Thalia," gumam Methalia sambil menyemangati hidupnya.
Setelah selesai membersihkan diri, Methalia berjalan keluar dan menuju ke arah ruangan Juna. Ia menatap lama ruangan itu. Baginya, ruangan itu seperti penjara tanpa sel. Tercekik tapi bebas.
"Aku harus masuk ke dalam," ucap Methalia.
Dengan langkah yang berat, Methalia membuka pintu tersebut. Ia melihat Juna yang tengah berkutat dengan semua berkasnya.
Juna merasa ada orang yang masuk ke dalam. Ia menatap orang itu. Ada rasa lega di hatinya, ketika Methalia kembali dengan wajah yang cerah. Tanpa disadari, ia tersenyum tipis ke arah Methalia.
Kenapa aku tersenyum padanya? Sialan, dia benar-benar kucing penyihir. Bukan! Dia rubah penyihir.
Methalia berjalan mendekat ke arah Juna untuk memberikan jadwal selanjutnya.
Juna menatap Methalia yang sedang berjalan ke arahnya. Ia langsung berteriak, "Berhenti di sana!"
Seketika Methalia berhenti dan menatap heran Juna yang tengah berteriak kepadanya.
"Keluar…! Aku tidak ingin melihatmu," ucap Juna dingin.
"Tapi Bos. Hari ini anda harus menghadiri rapat. Waktunya 15 menit lagi."
"Kau memerintahku. Aku bisa kesana sendiri. Apakah kau tuli? Keluar…!
Tidak ada pilihan bagi Methalia. Ia langsung berbalik arah dan keluar begitu saja.
"Menyebalkan, aku benci padanya," gumam Methalia sambil menghentakkan kakinya.
Methalia menelusuri koridor kantor dan berjalan ke arah kantin. Ia harus mengisi perutnya sebelum perang dengan bose menyebalkan itu. Diana dan Sinta langsung mendekati Methalia yang sedang berjalan. Mereka berdua merangkul bahu Methalia sambil berjalan.
"Ugh...lepas, aku tidak bisa berjalan," ucap Methalia sambil melirik keduanya.
"Apakah kau baik-baik saja? Aku kira kau tidak akan keluar dari ruangan itu," ucap Sinta.
"Maksudmu? Aku tidak paham."
"Thalia sayang. Ini jam makan siang. Aku pikir kau disiksa tanpa di perbolehkan makan," sambung Diana.
Methalia langsung berhenti mendadak. Ia melirik jam yang ada di tangannya. Benar saja, sudah waktunya jam makan siang.
"Aku tidak mengerti jalan pikirannya," gumam Methalia lirih.
"Sudahlah… jangan memikirkan Bos kribo menyebalkan itu," ucap Diana sambil merangkul bahu Methalia lagi.
Methalia langsung melepas rangkulan itu dan berjalan cepat menuju kantin. Cacingnya sudah demo minta diisi. Karena tadi pagi tidak sempat sarapan, Methalia sangat kelaparan.
Diana dan Sinta memandang tubuh Methalia yang semakin menghilang. Mereka menatap satu sama lain.
"Aku tidak tahu, sampai kapan dia akan bertahan, Sinta?" ucap Diana.
"Kita berdoa saja. Semoga Tuhan selalu melindungi Thalia."
Diana mengingat kejadian di ruangan Juna. Ia meneteskan air matanya begitu saja.
"Hiks...hiks… kau tahu. Aku sangat ketakutan saat Bos kribo membentakku," ucap Diana sambil menangis.
Sinta mengusap air mata Diana dan berkata, "Kau hanya dibentak. Bagaimana dengan Thalia? Pasti dia sangat menderita.
Diana berfikir keras untuk mengeluarkan Methalia dari kekejaman Juna . Dengan penuh semangat ia mengucapkan, "Aku akan mencarikan pekerjaan untuk Thalia."
"Apakah kau sudah gila?" Bagaimana jika bos tahu?" ucap Sinta sedikit keras.
Diana langsung menutup mulut Sinta dengan kedua tangannya. "Kau terlalu keras bicaranya," ucapnya pelan. Sinta kemudian mengangguk dan melepas kasar tangan Diana.
"Aku tak setuju jika kau berbuat nekat," ucap Sinta berapi-api.
Mereka tidak tahu kalau dari tadi pembicaraannya terdengar oleh Juna. Karena tidak tahan, akhirnya dirinya keluar dari persembunyiannya. Dengan emosi yang memuncak dan mata berapi-api, Juna tepat berada di belakang Diana dan Sinta.
"Sin, kenapa aku merinding ya?" tanya Diana sambil memegang tubuhnya sendiri.
Sinta beringsut ketakutan, "Jangan-jangan ada setan. Mendadak hawanya dingin."
Lantas keduanya menoleh kebelakang. Betapa terkejutnya mereka melihat Juna yang tengah menahan amarahnya. Dengan gugup dan kesulitan menelan ludahnya, mereka memberanikan diri menyapa Juna.
"Se-lamat si-ang, Bos," sapa keduanya gugup dengan tubuh gemetar sambil berbalik arah.
Juna hanya diam tak menjawab. Pandangannya semakin menusuk sampai ke tulang mereka. Aura hitam dan dingin menyelimutinya. Bahkan, karyawan yang ada di sekitar langsung lari terbirit-b***t.
Apa yang harus aku lakukan? Seram sekali...!
Batin keduanya bersamaan. Tetes demi tetes keringat jatuh tak terkendali. Juna masih setia menatap tiada henti.
"Pergi!" teriak Juna dengan nada tinggi.
Tanpa bicara lagi, keduanya langsung pergi menuju kantin dengan berlari. Sedangkan Juna, berjalan menuju arah yang sama.
Kantin Baren Company
Methalia sangat kesal dengan tingkah Juna yang sengaja menindasnya. Karena itu, ia pesan makan banyak untuk mengenyangkan perutnya. Banyak makanan yang berada di meja. Bahkan, ia menyantapnya sendirian.
Dari jauh, Methalia melihat Diana dan Sinta lari dengan terburu-buru. Ia kemudian mengerutkan dahi penuh keheranan. Mereka langsung menghampiri Methalia dan duduk begitu saja.
"Kalian kenapa? Seperti dikejar maling," ucap sambil mengunyah makannya.
Tak ada yang menjawab pertanyaannya. Mereka sibuk mengambil nafas dan minum secara bergantian. Methalia menghela nafas panjang.
"Apa yang terjadi?" tanya Methalia lagi.
Belum sempat menjawab, kantin yang semula ricuh mendadak diam membisu. Diana dan Sinta menoleh ke belakang. Keduanya langsung menunduk takut.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka berdua aneh.
Methalia berfikir sambil menatap Juna yang tengah berjalan ke arahnya. Dengan senyum cerah, ia menatap bos besarnya itu.
Thalia gila....!
Teriak Diana dan Sinta bersamaan di dalam hati. Mereka tak menyangka, Methalia berani tersenyum dan tak takut terhadap Juna.
Juna hanya acuh dan terus berjalan menuju tempat Methalia duduk bersama Diana dan Sinta. "Ikut aku!" perintah Juna dingin sambil pergi.
Methalia langsung berdiri dan mengikuti Juna dari belakang. Ia tahu, kalau bos besarnya memberi kelonggaran padanya.
Juna mempercepat langkahnya, sampai Methalia kesulitan mengimbanginya. Juna tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membuat sekretaris menyebalkan itu kesusahan.
Sampai di ruang rapat, keduanya langsung disambut. Di sana sudah ada beberapa manager yang tengah menunggu kedatangan Juna. "Duduk!" perintah Juna sambil duduk.
Bukannya tadi mau datang sendiri. Dasar plin plan, batin Methalia sambil duduk.
Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Kesunyian pun menyelimuti ruangan itu. Methalia menghela nafas kasar. Ia kemudian berbisik pada Juna, "Bos, rapatnya tolong di mulai."
Juna menoleh tajam ke arahnya yang telah berani menyuruhnya. Methalia hanya tersenyum menanggapi saja tanpa ada rasa bersalah.
"Kita mulai!" perintah Juna
Satu demi satu presentasi telah dilakukan oleh para manajer. Juna membaca laporan-laporan yang mereka buat. Dengan amarah yang memuncak, ia melempari semua dokumen yang ada di depannya.
"Kalian tak becus kerja! Buat ulang!" teriak Juna menggema di seluruh ruangan.
Semua orang yang ada di sana beringsut ketakutan dan tak berani menatap Juna yang tengah mengaung seperti singa.
"Dua hari lagi! Perbaiki semua!" ucap Juna pergi begitu saja.
Methalia menghela nafas kasar dan mengambil semua dokumen itu. "Maafkan bos. Mungkin dia mode merah," ucap Methalia pada semua orang.
Semua orang menatap Methalia. Salah satu karyawan bernama Boy menghampirinya. "Kau pasti sangat menderita, Thalia," ucap Boy penuh iba.
Boy Santyo (27 Tahun) adalah salah satu Manager di perusahaan Methalia bekerja. Ia sangat tampan dan juga baik hati. Banyak karyawan wanita yang menaruh hati padanya.
Methalia tersenyum lembut, "Aku bisa mengatasinya."
Methalia langsung pergi dan menaruh dokumen itu di atas meja. Boy sangat salut dengan kepribadian gadis itu. Disamping cantik, dia juga baik hati. Senyumnya yang selalu menghiasi kedua pipinya tercetak jelas di kepala Boy.
Kapan aku bisa menyatakan perasaanku padamu, Thalia.
Batin Boy sambil melihat Methalia pergi menjauh. Ia belum berani menyatakan perasaan lantaran takut di tolak. Pengecut memang. Tapi apa daya, ketakutan untuk melangkah selalu menghiasi pikirannya.