Methalia memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Sepertinya, ia harus mencari pekerjaan lain. Tapi, melihat kondisi Alroy yang terpuruk. Ia tak sanggup kalau meninggalkannya sendirian.
"Buka kembali, aku akan membantumu," ucap Methalia sambil berdiri.
Alroy menatap Methalia sampai tak berkedip.
"Jangan melamun!"
Alroy terkesiap, "Aku tak melamun."
Ia terpaksa berkata dusta kepada Methalia. Beberapa bulan tidak bertemu dengannya membuat jantung kian berdetak. Semakin lama, perasaan yang dipendamnya semakin tumbuh.
Methalia duduk kembali, "Kita bersihkan cafe ini terlebih dahulu."
Alroy mengangguk setuju sambil berdiri mengambil celemek dan sapu. Ia kemudian memberikan kepada Methalia.
"Kau bersihkan bagian luar. Aku akan bersihkan yang dalam," ucap Methalia sambil menerima pemberian Alroy.
"Serahkan padaku," ucap Alroy dengan semangat.
Keduanya mulai membersihkan cafe itu untuk dibuka kembali. Methalia akan membantu Alroy melejitkan cafe itu. Pasti, banyak pelanggan yang akan senang jika cafenya buka.
Dua jam kemudian, Methalia menyelesaikan pekerjaannya. Ia kemudian duduk untuk menghilangkan rasa lelah di pundaknya.
Alroy melihat Methalia yang tengah istirahat. Ia berinisiatif memberikan minuman untuknya. "Kau pasti haus."
Methalia menoleh, "Sangat."
Methalia meraih botol itu dan meminumnya sampai tandas.
"Kau masih punya bahan - bahan untuk membuat menu?" tanya Methalia sambil mengusap bibirnya.
"Tentu saja. Ada di lemari pendingin."
Methalia bangkit, "Siapkan panggunya. Aku akan bernyanyi."
Alroy senang mendengar hak itu. Dengan semangat, ia berjalan menuju panggung. Namun, tiba - tiba berhenti.
"Thalia," sapanya sambil menoleh. "Apakah kau tidak bekerja di sana lagi?"
Methalia tersenyum pahit, "Iya."
Deg
Jantung Alroy sangat sakit saat Methalia tersenyum seperti itu. Kenapa dia tak bekerja di sana? Bukannya selama ini dia baik - baik saja? Atau bosnya maniak s*x.
Wah… pikiran Alroy semakin menjadi - jadi. Ia takut kalau Methalia di serang oleh bos m***m.
"Thalia," panggil Alroy.
"Emm… sana bersiaplah…," jawab Methalia sambil mengirim pesan kepada Diana dan Sinta.
"Jawab dulu pertanyaanku. Kau… kau… itu...itu," ucap Alroy terbata - bata.
"Kalau tanya yang jelas. Itu apa yang kau maksud?"
"Anu… itu… itu. Bosmu… m***m. Makanya kau keluar."
Methalia ingin tertawa mendengar ungkapan Alroy. Ia kemudian bangkit dan meninju punggungnya pelan.
"Tak ada hubungannya dengan itu. Kau terlalu berimajinasi tinggi. Ha… ha… ha. Aku dipecat. Bukan keluar begitu saja."
Methalia kemudian tertawa sambil menuju keluar ruangan. Ia akan pulang mengambil gitarnya. Sedangkan Alroy hanya diam membeku.
Lalu, kenapa dia di pecat? Sepertinya, aku harus menyelidiki hal ini.
Barren Company
Ketegangan dalam ruangan membuat semua orang yang ada di sana tidak bisa bernafas lega. Termasuk Diana dan Sinta. Hari ini, pertama kali mereka kerja tanpa Methalia. Hidup yang semula indah dilalui saat bekerja, kini menjadi neraka.
Juna berdiri di antara para pegawainya. Ia berjalan menuju panggung yang ada di aula. Sosok yang dingin itu, menatap dengan tajam kepada semua orang. Seketika, wajah mereka pias ketakutan. Bahkan, ada yang mendadak kakinya tak bertenaga.
Benteng yang di pasang Juna sungguh sangat tinggi. Tak ada yang berani melawan atau bicara kepadanya. Mereka hanya menunduk takut oleh singa itu.
"Angkat kepala."
Mereka mengangkat kepala serentak seperti prajurit tentara.
"Diana kau jadi sekretarisku. Sinta, pekerjaan Diana kau ambil alih."
Deg
Oh no... no no... gila...gila..., batin Diana.
Diana langsung gemetar hebat. Apakah Juna sengaja membuatnya menjadi sekretaris? Terus terang ia tak mau di siksa oleh Juna. Apa lagi, di bawah penekanan iblis itu.
Bos Juna menyebalkan... seenaknya saja menambah pekerjaanku.
"Diam, aku anggap setuju."
Kapan Tuan Damar datang?" batin Sinta melirik ke pintu utama. Berharap, Damar segera datang.
"Satu lagi, di kantor dilarang pacaran."
Suasana yang semula tenang menjadi sedikit ricuh. Mereka sangat tidak setuju aturan yang Juna buat.
"Diam…!" teriak Juna.
Semua orang langsung diam dan menunduk. Boy sangat kesal melihat sikap arogan Juna.
"Bagaimana bisa Anda mengeluarkan peraturan seperti itu? Banyak yang berpasangan disini? Bahkan ada yang sudah menikah," ucap Boy lantang.
Juna tersenyum devil. Ia kemudian turun panggung dan menghampiri Boy. "Jika kau tak setuju. Bisa keluar," ucap Juna penuh penekanan.
"Aku tak setuju…!" teriak seseorang tiba - tiba.
Semua orang mengarah pada sumber suara. Mereka lega melihat Damar datang.
Akhirnya, yang di tunggu datang juga.
Juna melotot kaget melihat Damar berada di depannya.
Bukankah Kakek sedang berada di Vila? Kenapa bisa ada di sini ?
Dua hari yang lalu, Damar pergi ke Vila miliknya untuk menikmati kedamaian terlepas dari tanggung jawab pekerjaan kantor. Namun, Sinta menghubungi dan memberitahu bahwa Methalia telah dipecat oleh Juna.
Damar memberi kepercayaan kepada Sinta untuk melaporkan segala tindakan Juna. Ia akan ikut campur bila cucunya bertindak di luar kewajaran.
"Kau akan memecat orang yang punya pasangan," ucap Damar sambil berjalan ke arah Juna. "Dan kau juga memecatnya," imbuhnya
Sialan, ada yang mengadu.
Juna menatap tajam semua orang yang ada di kantor. Ia harus mencari mata - mata yang dikirim oleh kekeknya.
"Kalian semua keluar. Aku akan bicara pada bocah ini."
Para karyawan langsung bergegas keluar ruangan. Mereka senang akhirnya bisa bebas dari belenggu Juna.
"Sebastian, tutup pintunya!" perintah Damar.
Sebastian pergi menutup pintu dan menunggu mereka di luar ruangan.
Kini tinggal mereka yang ada di dalam aula. Keheningan terjadi sesaat. Juna langsung merubah ekspresinya menjadi tersenyum.
"Bukannya Kakek berada di Vila?? Kenapa kembali?" tanya Juna.
Tuk
Damar memukul kepala Juna dengan tongkat. "Jangan bertingkah."
Tuk
"Jangan seenaknya."
Damar akan melayangkan tongkatnya lagi. Namun, dipegang oleh Juna.
"Hentikan… sakit," ucap Juna sambil meringis.
Damar mendekat, "Bawa Thalia kembali. Aku beri waktu sampai besok."
Juna melipat kedua tangannya, "Aku menolak."
Damar menghela nafas panjang. Ia tak ingin Methalia dikeluarkan dari perusahaan miliknya. Lagi pula, dirinya merencanakan sesuatu untuk Juna dan Methalia.
"Kau lupa. Dia yang menolongku. Jika tidak, aku mungkin sudah me-."
"Jangan bicara seperti itu!" potong Juna tiba - tiba.
Juna tak ingin kakeknya berkata demikian. Ia akan mengalah dan menerima Methalia kembali. "Aku akan membawanya kembali," ucap Juna sambil membuang muka.
Dasar menyebalkan! batin Juna
Damar tersenyum tipis tanpa sepengetahuan Juna. "Baguslah… cepat pergi sana! Bawa dia kembali. Aku menunggu kabar baik, Juna."
Sialan, kalau bukan karena dia menolong Kakek. Aku tak sudi menjilat ludahku sendiri.
Dengan memasang wajah masam, Juna pergi meninggalkan ruangan itu. Ia akan menuruti Damar kali ini. Tapi, tidak lain kali.
Jika aku berhasil membawamu kembali. Akan aku pastikan penderitaanmu bertambah, Thalia, batin Juna sambil melangkah keluar perusahaan.
Juna akan membalas kejadian hari ini kepada Methalia. Ia melimpahkan semua kesalahan pada gadis itu. Rasa kesal. Marah. Memuncak jadi satu.
Seharusnya, jalang seperti Methalia tidak berhak dibela. Dia tak pantas mendapatkan perilaku yang layak.
Cih, awas saja.
Juna masih saja menyalahkan Methalia karena selalu mengganggu hidupnya. Kebencian yang mendalam karena sang kakek selalu membela dia.
Menurut Juna, Damar selalu mengistimewakan Methalia. Gadis miskin yang hanya ingin meningkatkan kasta. Ia yakin, Methalia akan bersikap sombong setelah ini. Untuk itu, ia harus menyiapkan segala sesuatunnya dengan matang.
Dengan langkah kasar, Juna masuk mobil. Ia bergegas menuju rumah Methalia. Sampai di sana, keadaan rumah gadis itu sangat sepi. Juna kemudian turun dan mengetuk pintu rumah itu.
Tak ada jawaban dari sang penghuni. Dengan emosi, Juna membuka layar ponsel dan menghubungi Methalia. Namun, apa yang didapati Juna? Ponsel Methalia mati.
"Kurang ajar? Awas saja," ucap Juna sambil meremas ponselnya kuat.
Tiba - tiba, Methalia bersuara, "Apa yang Bos lakukan di sini?"
Juna langsung berjingkat kaget dan menjatuhkan ponselnya. "Ambil ponselku!" perintah Juna menahan emosi.
Enak saja. Ambil sendiri!
Methalia hanya diam saja. Ia kemudian berjalan melewati Juna dan membuka pintu rumahnya.
"Berhenti!" teriak Juna sambil berbalik dan mengambil ponsel. "Kau tidak mendengarkan perintahku," imbuhnya menatap tajam Methalia.
Methalia berbalik arah dan melipat kedua tangannya. "Anda bukan Bos saya. Silahkan pergi!
Mendengar hal itu, Juna langsung mendekat ke arah Methalia dan mengepalkan tangannya kuat. Kalau bukan karena kakeknya. Ia tak sudi datang meminta gadis di depannya untuk kembali ke kantor.
"Mulai besok, kau kembali ke kantor," ucap Juna dingin.
Huh... kembali, yang benar saja??
"Maaf, saya menolak. Silahkan pergi."
Methalia tak ingin kembali ke kantor. Ia akan membantu Alroy menjalankan cafenya kembali.
"Saya sudah punya pekerjaan. Jadi, saya harap Bos mengerti."
Pekerjaan apa yang dia dapat dalam waktu sehari? Menjual diri? Cih, menjijikkan.
"Kau lebih murah daripada setelan jasku, ternyata," ejek Juna.
Apa yang dia maksud?
Methalia sungguh tak mengerti jalan pikiran lelaki di depannya. Dia menghina dirinya lebih rendah dari kain kotor. Meski miskin pun, Methalia akan mencari uang dengan cara bersih.
Gadis itu memilih diam tak menanggapi Juna. Ia berbalik arah dan masuk rumah begitu saja. Air matanya mengalir tanpa henti. Apa salahnya? Kenapa lelaki itu membencinya? Selama hidup, baru kali ini di benci orang sampai seperti ini.
"Sakit sekali. Hatiku sangat sakit," gumam Methalia sambil meneteskan air mata.
Beda halnya dengan Juna, Ia marah karena merasa tak di hargai karena di tinggal pergi begitu saja. Dengan kasar, lelaki itu menggedor pintu rumah Methalia.
"Keluar kau, Thalia!" teriak Juna.
Sialan. Dia mengujiku Sialan.
"Keluar…!" atau aku dobrak."
Juna tidak tahan menunggu Methalia keluar rumah. Ia bersiap - siap mendobrak pintu. Namun tiba - tiba, gadis itu membuka pintu. "Pergilah," ucap Methalia lesu. "Jangan ganggu hidupku lagi," imbuhnya sambil menatap kosong.
Deg
Ada rasa tak nyaman menghinggap di hati Juna. Baru kali ini, ia ikut merasakan rasa sedih yang dialami seseorang. Namun, Juna langsung menggelengkan kepalanya untuk menepis perasaan itu.
"Cih, pura - pura."
Perkataan Juna sangat kasar. Tanpa sadar, Methalia mengepalkan tangannya kuat. Jiwa bertahannya mulai tumbuh kembali.
"Lebih baik Anda kembali ke kantor. Karena saya akan bekerja."
Juna menghadang, "Kau tidak akan aku biarkan melangkah pergi."
Methalia menetralkan emosinya. "Saya harus kembali bekerja."
Juna mengerutkan dahi dan menatap Methalia. Ada sesuatu di punggung gadis itu.
Gitar
Juna merebut gitar itu, "Aku sita ini."
Methalia panik, "Kembalikan…!?"
Juna tersenyum tipis, "Besok, kembalilah ke kantor." Ia kemudian pergi meninggalkan Methalia yang masih mematung di depan pintu rumahnya.