Methalia mengepalkan tangannya kuat. Ini sangat keterlaluan dan tidak bisa di tolerir sama sekali. Susah payah dirinya membangun. Namun, tak di hargai.
"Bos, saya sudah berusaha keras membangunnya," ucap Methalia penuh api kobaran amarah.
"Bangun kembali," jawab Juna enteng.
"Saya menolak." Methalia tak ingin melakukan hal yang tidak berguna.
Juna bersemirik dan mengambil gitar milik gadis itu. "Kau tahu, ini akan menjadi akhirnya," ancam Juna.
Deg
Methalia memejamkan mata rapat - rapat untuk menetralkan amarahnya. "Letakkan kembali, Bos," ucapnya dengan lembut.
"Sepertinya, memutuskan senar adalah hal yang bagus."
Deg
Tidak...!
Gadis itu ingin sekali memukul Juna sekarang. Karena mencoba mengancamnya lagi.
"Saya akan susun ulang," pasrah Methalia.
Ia akan mengalah karena gitar itu sangat berharga. Lagi pula, tidak selamanya dirinya di akan di tindas. Suatu saat, pasti akan akan membalas semua perbuatan Juna.
Aku kutuk kau jatuh cinta padaku. Lihat saja....
Juna sangat senang ketika Methalia tunduk padanya. Hari - hari berasa seperti di surga. Sungguh sangat bahagia.
"Bagus, lakukan sekarang."
Methalia mengangguk dan mulai menyusun membuat menara dari awal.
Aku lapar dan haus.
Methalia melirik Juna yang tengah berkutat dengan berkasnya. Ia memberikan diri untuk minta ijin keluar.
"Bos, bolehkah saya pergi keluar sebentar."
Juna mengangkat kepalanya, "Buat apa? Lanjutkan pekerjaanmu."
Iblis
Methalia mengepalkan tangannya kuat. Ia sangat lapar sekali. Apalagi, tadi pagi tidak sarapan. Tenaganya lemah saat ini. Ia kemudian berhenti dan memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Pandangan matanya seperti kabur. Namun, ia berusaha keras untuk tetap bertahan.
Aku tak bisa menahannya terlalu lama.
Gadis itu langsung berlari keluar ruangan. Sedangkan Juna berteriak memanggil nama Methalia.
"Sialan, dia mengabaikanku," gumam Juna sambil berdiri kasar.
Methalia keluar ruangan dengan sempoyongan. Ia berjalan menuju lift. Namun, lift itu ternyata mati karena dalam perbaikan. Sungguh sial sekali nasibnya. Harus turun tangga ke lantai 5.
Tak ada pilihan lagi. Ia berjalan menuju tangga darurat dan mencoba membuka kedua bola matanya.
Dengan langkah tertatih, Methalia menuruni anak tangga satu demi satu.
"Bertahanlah, Thalia," gumam Methalia.
Gadis itu terus berjalan sampai pada batasnya. Tiba - tiba, ponselnya berdering. Ia menajamkan mata yang mulai menutup itu dan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Aku akan merusak gitarmu, jika kau tak kembali."
"Bos menyebalkan," gumam Methalia menutupnya sambil menjatuhkan ponselnya.
Tut
Tut
Tubuh Methalia tak kuat menahan kepalanya yang nyeri. Ia memejamkan mata dan ambruk berguling di tangga sampai membentur tembok hingga berdarah.
Sementara itu, Juna terus berteriak di ponsel dan memanggil Methalia tanpa henti.
"Dasar Jalang, kembali…!" teriak Juna beberapa kali.
Juna sangat marah sampai ke ubun - ubun. Aura hitam pekat keluar dengan cepat menyebar ke seluruh ruangan. Ia berpikir keras dan akhirnya menemukan solusi. Pasti, Methalia bersama dengan Diana dan Sinta.
Lelaki itu langsung bangkit dan menuju di mana Diana dan Sinta berada. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Tanpa bersusah payah, Juna melihat kedua gadis itu sedang berjalan ke arahnya. Namun, mereka langsung berbalik arah.
"Tidak sopan. Berhenti!" teriak Juna.
Kedua gadis itu langsung berhenti dan berbalik arah. Tubuh mereka bergetar hebat menahan ketakutan yang amat merasuk ke dalam tulang.
"Bagaimana ini?" bisik Diana kepada Sinta.
Sinta memegang erat tangan Diana, "Aku juga tidak tahu."
Juna sangat jengkel melihat Diana dan Sinta masih berada di sana. "Kemari!" titahnya.
Mereka berjalan sambil menunduk takut.
Sial, lama sekali.
Karena Juna tidak sabar, ia berjalan cepat ke arah mereka.
Keduanya kaget dan diam mematung di tempat. Mereka menunduk takut akan wajah Juna yang seperti singa siap menerkam mangsanya.
Juna berdiri tepat di depan keduanya. "Kalian tahu dimana dia?" tanyanya penuh intimidasi.
Glup
Tak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Mereka terintimidasi oleh aura dingin yang keluar dari tubuh Juna.
"Jawab!" teriak Juna.
Sinta menyenggol bahu Diana sampai berjingkat kaget. Dengan perlahan, Diana pun menjawab pertanyaan bosnya itu.
"Kami… kami baru mencarinya. "
Juna menatap lekat wajah keduanya untuk mencari kebohongan. Namun, hasilnya nihil.
"Pergi…!" teriak Juna.
Tanpa basa basi, mereka langsung berlari meninggalkan Juna yang tengah menahan segala emosinya.
Lelaki itu kemudian berjalan cepat menuju ruang CCTV. Ia akan membuat gadis itu lebih tertekan lagi karena telah berani mengabaikannya.
Tak ada yang berani menyapa sang bos besar ketika lewat di antara karyawan. Semua orang menunduk takut tak berdaya.
Banyak yang tak mengerti, kenapa Juna berjalan menuju ruang CCTV? Namun, tiba - tiba ponsel Sinta berdering. Ia langsung mengangkat dan berteriak.
"Hei, darimana saja kau, Thalia?"
"Nona Sinta, datanglah ke rumah sakit perusahaan. Nona Thalia sedang di rawat di sana."
"Apa?!" teriak Sinta di dengar oleh semua orang termasuk Juna.
Tut
Tut
Sinta langsung berlari ke arah Juna. "Bos!" teriaknya.
"Jangan teriak. Katakan!"
"Thalia… Thalia di rumah sakit perusahaan."
Deg
Juna diam di tempat dan mematung. Kenapa gadis itu bisa sampai di rumah sakit? Apakah dia terluka? Juna langsung berbalik arah menuju tempat di mana Methalia berada.
Sedangkan Diana menghampiri Sinta. "Kita kesana sekarang."
Sinta mengangguk, "Aku setuju. Sebelum Bos Juna sampai. Kita harus sampai terlebih dahulu."
Mereka berdua bergegas ke rumah sakit agar tidak di dahului oleh Juna. Mereka takut kalau bos besar itu melakukan tindakan yang mempersulit Methalia.
°°°°°
Juna melebarkan langkahnya untuk melihat kondisi gadis itu. Ada rasa khawatir bersarang di hatinya. Setan yang biasanya hinggap kini diganti dengan malaikat tak bersayap.
Dari kejauhan, Dokter Indra melihat Juna yang tengah berjalan tergesa - gesa. Ia sedikit berlari dan menghadang lelaki itu.
"Woho, buru - buru sekali…," ucap Dokter Indra sambil merentangkan tangan.
"Minggir," ucap Juna penuh emosi.
"Kau seperti badut. Aku hampir saja tak mengenalimu. Untung saja aku jenius," ucap dokter Indra sombong.
Juna menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian membungkam mulut Dokter Indra dan menyeretnya ke gang yang sepi.
"Jangan sampai bocor. Kau akan habis."
Dokter Indra mengangguk dan melepaskan bekapan Juna. "Aku hampir tidak bisa bernapas." Ia kemudian berbalik arah, "Kenapa kau datang kesini? Penampilanmu sungguh jelek."
Ini kedua kalinya Juna mendengar seseorang mengkritik penampilannya. Ia hanya diam dan memalingkan muka.
"Oke, aku tahu kau menyamar. Untuk gadis itu 'kan?!
Deg
Juna teringat tujuannya ke rumah sakit adalah untuk mencari Methalia. Ia sampai lupa diri gara - gara lelaki di depannya.
Juna langsung lari dan meninggalkan Dokter Indra begitu saja.
"Jangan tergesa - gesa. Lantai 1. Nomor kamar 2," teriak Dokter Indra. Ia terus berlari dan berhenti tepat di kamar nomor 2. Ia masuk perlahan untuk mendekati Methalia yang tengah tak sadarkan diri.
"Anda datang," sapa Office Boy tiba - tiba.
"Kau boleh kembali ke kantor," usir Juna.
Office boy itu langsung pergi begitu Juna memerintahnya.
Sedangkan Juna perlahan mulai mendekati gadis yang tergeletak lemah tak berdaya itu. Ia menatap wajah Methalia yang pucat. Ditambah dengan dahi yang terluka.
Hati lelaki itu terasa di remas kuat melihat Methalia yang sedang terluka. Dengan tatapan nanar dan tangan bergetar, Juna mengulurkan tangan menyentuh luka itu.
"Bagaimana ini bisa terjadi padamu, Thalia?" gumam Juna bertanya kepada Methalia yang tengah tertidur.
Sekejam - kejamnya seseorang, pasti mempunyai sisi malaikat. Seperti halnya Juna, hatinya rapuh saat ini melihat Methalia sedang tak berdaya.
"Apakah aku terlalu kejam padanya?"
Juna mulai ragu dengan keputusan yang dibuatnya. Iblis yang menguasai diri, kini telah sirna oleh malaikat. Namun, itu tak bertahan lama. Sebab, lelaki itu kembali mengingat kejadian di mana ada pengkhiatan orang terdekatannya.
"Sadar, Juna. Dia hanya rubah penggoda. Kau tak boleh mengasihaninya," ucap Juna penuh penekanan.
"Siapa yang rubah penggoda," ucap Dokter Indra tiba - tiba.
Juna langsung menoleh dan menatap tajam Dokter Indra. Orang itu selalu mengganggu ketenangannya. Datang seenaknya tanpa diundang.
"Keluar!" ucap Juna dingin.
Bukannya keluar, Dokter Indra memilih mendekat ke sisi kiri ranjang Methalia.
"Dia sangat lemah karena hampir seharian tak makan dan minum. Kau membuatnya kerja rodi."
Deg
Juna mulai mengingat kejadian di kantor tadi. Ia tak mengizinkan gadis itu istirahat sebelum selesai membuat menara.
"Aku tak melakukan itu," elak Juna.
"Kau berdalih, Juna. Jika kau tak mampu mempekerjakannya. Biarkan dia keluar dari sana. Lagi pula, sudah dua kali dia masuk rumah sakit karena dirimu."
Juna menimbang perkataan Dokter Indra. Ia merasa bersalah membuat Methalia dalam kondisi seperti ini. Sisi malaikatnya pun kembali beraksi dan mulai membuatnya luluh.
"Aku tak akan minta maaf," ucap Juna sambil membuang muka.
Dokter Indra tersenyum, "Kau hanya perlu menjaganya."
"Aku tak sudi," Jawab Juna cepat.
"Yah…, terserah kau saja. Kalau kau tak mau menjaganya. Biar aku saja."
Juna mengepalkan tangannya kuat. Dokter m***m seperti dia tak boleh berdekatan dengan Methalia.
"Dia sangat cantik. Tak rugi bila aku bersamanya semalam."
"Tutup mulutmu!" teriak Juna penuh emosi.
Ingin rasanya Dokter Indra tertawa melihat Juna yang tengah emosi. Ia begitu senang karena lelaki di depannya itu cemburu.
Tiba - tiba, terdengar suara orang yang bertengkar di luar pintu.
"Aku dulu yang masuk," ucap Sinta.
"Aku juga ingin melihatnya, Sinta."
Juna langsung panik kalang kabut, "Sialan, mereka datang kemari." Ia kemudian lari bersembunyi ke kamar mandi.
Dokter Indra tersenyum, "Lihatlah dia. Seperti pencuri saja."
Kedua orang yang bertengkar itu langsung masuk setelah berebut. Mereka memutuskan masuk bersama.
"Astaga…, Thalia!" teriak keduanya.
"Ehem…, dilarang berteriak," ucap Dokter Indra.
Mereka terkejut dan tersenyum canggung. Diana mendekati Methalia untuk melihat keadaannya. "Sinta, dia terluka," ucapnya sedih.
Sinta mendekat, "Astaga…, bagaimana dia bisa mendapatkan luka itu? Dokter, lakukan sesuatu."
Dokter Indra menghela nafas panjang, "Kalian jangan cemas. Dia hanya kelelahan."
Sinta mengerutkan kening. Tidak mungkin Methalia kelelahan. Pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti ini. Mengingat tadi dikirimi pesan singkat oleh gadis itu.
"Ini pasti ulah Bos Juna menyebalkan itu," gumam Sinta terdengar oleh mereka berdua.
Sialan, mereka menyalahkankj. Awasa saja...., batin Juna dengan geram. a menguping di balik pintu kamar mandi dan mendengar semua perkataan mereka dengan jelas.
Dokter Indra khawatir dan melirik kamar mandi berulang kali. Sinta mengernyitkan dahi keheranan. Dengan langkah cepat, gadis itu berjalan menuju kamar mandi.
"Jangan kesana! Masih perbaikan," ucap Dokter Indra spontan.
"Ada yang tidak beres. Dokter, kau tidak menyembunyikan sesuatu, kan?"
Bedebah satu itu tak bisa di andalkan
Juna bingung harus berbuat apa. Jika dirinya ketahuan oleh kedua gadis itu, mau ditaruh dimana mukanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus merencanakan sesuatu.
Sinta semakin berjalan mendekat ke arah kamar mandi. Ia semakin penasaran karena dokter itu menatapnya.
Deg
Deg
Jantung Juna berdetak kencang karena was - was. Sedangkan Sinta semakin mendekat dan sudah di ambang pintu. Tangan lentik meraih gagang pintu dan hendak membukanya.