Episode 6

1639 Words
Methalia melotot kaget. Ia tak pernah berniat menggoda siapa pun. Terlebih lagi Juna. Lelaki di depannya terlalu percaya diri.  "Terlalu percaya diri akan membuatmu jatuh, Bos." Juna tersenyum mengejek, "Ck ck, lihat penampilanmu." Methalia langsung melihat dirinya dari atas sampai bawah. Ia tak sadar kalau kemejanya tadi dilepasnya.  Bom Asap mengepul di atas kepala Methalia. Wajahnya sangat merah. Ia malu tak tertahan dan langsung lari menuju kamar mandi. Brak "Ini gila…! Mau ditaruh dimana mukaku. Aku harus bagaimana?" gumam Methalia sambil berjalan mondar mandir.  Tok Tok "Keluar! Atau aku dobrak!" teriak Juna.  Methalia tidak kehabisan akal. Ia melihat jubah mandi yang ada di lemari kamar mandi. Ia langsung memakainya dan keluar dari kamar mandi dengan perasaan malu. Juna melipat kedua tangannya dan menatap Methalia sangat tajam.  "Kau tahu apa kesalahanmu?" tanya Juna. Methalia menggigit bibirnya penuh khawatir. Juna sangat galak dan juga menyeramkan hari ini. Sepertinya, tingkat emosinya semakin meningkat setiap hari. Ditambah kumis lebarnya yang sangat menakutkan.  "Jawab!" teriak Juna. Methalia berjingkat kaget. Ada apa dengannya hari ini? Kenapa lemah sekali menghadapi Juna? Mungkin karena bersalah menamparnya tadi. Atau karena malu.  "Kenapa aku jadi takut gini. Mungkin aku merasa bersalah. Lebih baik, aku minta maaf. "Maafkan saya, Bos," ucap Methalia tulus  Sungguh menyenangkan melihatnya ketakutan. Kakek selalu saja membicarakan dia? Apa hebatnya dia? Hanya seekor kucing kecil yang tak berdaya. "Aku tak akan memaafkanmu. Kau harus membayar kesalahanmu." Juna menatap dengan tatapan Intimidasi. Ini orang kalau bukan Bos besar. Udah aku pukul sampai babak belur. Yang benar saja, diakan juga salah, batin Methalia sambil menatap Juna tanpa takut. "Mulai hari ini, kau harus lembur selama sebulan. Kau tidak boleh pulang sebelum aku pulang," ucap Juna sambil menyeringai. Methalia langsung melotot kaget. Bekerja lembur bersama bos garang. Ia langsung menggelengkan kepalanya. "Saya keberatan." "Mudah saja, aku akan memecatmu," ancam Juna. Methalia mengepalkan tangannya kuat. Hanya karena menampar wajah bosnya. Ia diminta lembur selama sebulan. Lagi pula, tak salah menamparnya. Sebab, Juna sudah berbuat hal tidak senonoh terhadapnya.  Aku tak mau di tindas olehnya. "Saya tidak takut. Saya memilih dipecat," ucap Methalia penuh keyakinan. Juna menatap Methalia sangat tajam. Rupanya, gadis itu melakukan trik tarik ulur. Supaya, ia tak jadi memecatnya.  "Jadi kau siap dipecat," ucap Juna mantap. Methalia mulai ragu mendengar ucapan Juna. Ia mulai berpikir keras lagi. Pekerjaan ini sudah lama menunjang hidupnya dan semua anak panti.  "Aku tahu, kau tidak akan mau keluar dari sini." Methalia mengerutkan dahi, "Apa maksud Anda, Bos?" Methalia sungguh tak mengerti jalan pikiran Juna. Ia mencoba mencari jawaban dari wajah Juna. Namun, yang ada hanya ekspresi datar dan dingin saja. "Karena kau belum meraup uang banyak dari Tuan Damar," ucap Juna tanpa dosa. Juna yakin kalau Methalia tak akan keluar perusahaan sebelum mendapatkan harta yang melimpah.  Methalia tak habis pikir. Ternyata, Juna masih masih menganggapnya sebagai wanita rendahan. Jika seperti ini, lebih baik keluar dan bekerja di tempat lain. Lagi pula, ia masih punya tabungan untuk beberapa bulan kedepan.  Methalia menghela nafas panjang, "Bos salah sangka. Saya tak ada niatan untuk mengambil apa pun." Juna tersenyum sinis, "Jalang tetap jalang."  Deg Methalia diam terpaku mendengar mulut Juna yang tak disaring itu. Ia gadis terhormat. Meski miskin, tak pernah sedikitpun menjual tubuhnya untuk tidur dengan lelaki lain.  Dia benar-benar keterlaluan. Aku tak tahan. "Bos tidak kompeten," ucap Methalia sambil mendekat. "Saya keluar!" teriak Methalia. Juna mendekati Methalia karena berteriak padanya. Ia langsung meremas kuat lengan Methalia dan menatap dengan tajam.  Methalia meringis kesakitan. Karena tidak tahan, ia menginjak kaki Juna dengan sangat keras sampai terlepas. "Nikmati harimu, Bos. Sampai jumpa!" teriak Methalia sambil pergi meninggalkan Juna yang sedang mengaduh Methalia langsung lari menuju meja kerjanya. Ia menatap ruangan itu untuk terakhir kali. Rasanya, baru sebentar menikmati indahnya ruangan ini.  Sebenarnya, ia berat hati meninggalkan Barren Company. Namun, ia tak tahan jika berhadapan dengan Juna.  "Ini pilihan terbaik," gumam Methalia. "Dia pantas mendapatkannya," imbuh Methalia sambil membereskan barangnya. Methalia keluar ruangan berjalan menuju lobi. Para karyawan melihatnya dengan heran. I kemudian berhenti menatap dirinya. "Oh Astaga… aku masih pakai jubah mandi." Diana melihat Methalia yang menatap dirinya sendiri dan menghampirinya. "Hei, kau mau opera atau mandi?" tanya Diana. Methalia mendengus kesal sambil menatap Diana sangat tajam.  "Bola matamu mau keluar. Jangan menatapku seperti itu, Methalia." "Aku dipecat." "Apa!" teriak Diana. Boy yang tak jauh dari sana langsung menghampiri Methalia. "Kenapa kau dipecat?" tanya Boy penasaran. Methalia tersenyum, "Karena bos tidak suka kinerjaku." Kalau Methalia keluar, Boy pasti sangat merindukannya. Padahal, ia ingin menyatakan perasaan pada gadis itu.  "Sudahlah... nanti kau dan Sinta datang ke rumahku. Kita pesta," ucap Methalia sambil pergi meninggalkan Diana dan Boy.  Mereka menatap kepergian Methalia dengan nanar. Bagaimana bisa Methalia dipecat? Sungguh tidak masuk akal.  Aku bahkan belum menyatakan cintaku padamu, batin Boy. Bagus kalau keluar. Dia tidak akan di siksa. Tapi, dia belum dapat pekerjaan. batin Diana sendu. Mereka berdua masih berdiri mematung karena kalut dengan pemikiran masing-masing. Sampai Sinta datang dan menyadarkan mereka. "Jangan bengong. Nanti kesambet setan." Sinta menepuk pelan bahu Diana sampai dia kaget. Diana menoleh menatap Sinta sendu dan meneteskan air mata. Sedangkan Boy memilih pergi dengan perasaan menyesal. "Kau kenapa? Tiba-tiba menangis tidak jelas." "Dia dipecat oleh Bos kribo, Aku akan mencarikannya kerja," ucap Diana sambil mengusap air matanya. "Kau jangan mengada-ada." Diana menggelengkan kepala dan memeluk Sinta dengan erat.  Sepertinya, aku harus melaporkan ini pada Tuan Damar. Tuan Juna sangat keterlaluan. Rumah Methalia Methalia masuk rumah dengan gontai. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit kamar. Hari ini, adalah hari dimana kehidupannya akan kembali lagi seperti dulu.  Namun, ia akan tetap menjalaninya dengan tegar. Menurutnya, tuhan tidak akan tidur. Pasti ada rencana lain di balik itu semua. Dengan semangat, gadis itu bangkit menuju meja yang ada di samping ranjangnya. Ia membuka laci dan mengambil buku tabungan yang sudah di isi selama lima tahun. "Untung saja, aku masih punya sedikit tabungan," ucap Methalia sambil menghela nafas panjang.  Ia berjalan ke arah jendela untuk melihat cerahnya cuaca hari ini. Sudah lima tahun menjalani hidup sebagai sekretaris Damar. Kalau bukan karena beliau, ia tak mungkin bisa menabung uang dengan baik.  Gadis itu mencoba mengingat kenangan saat bekerja di berbagai tempat sebelum mengenal Damar. Mendadak, Methalia teringat oleh Alroy. Sudah dua tahun tidak menghubunginya. Padahal, ia berjanji akan datang kesana.  "Kenapa aku bisa melupakan Alroy? Ini karena pekerjaanku yang menumpuk itu. Bagaimana kabar dia sekarang? Aku harus kesana," gumam Methalia.  Methalia mengganti bajunya dan bergegas menuju keluar kamar. Namun, ia berhenti dan berbalik arah.  "Besok saja. Sekarang, aku mau istirahat. Sudah lama aku tak merasakan istirahat dengan jenak. Methalia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang sampai matanya terpejam.  Barren Company Juna meremas kuat berkas yang ada di tangannya. Hari ini, merupakan hari terburuk yang pernah ada. Ditampar dan diinjak oleh gadis menyebalkan itu. Sepertinya, ia harus membalas dendam kepada Methalia. Juna masih merencanakan rencana jahat yang akan digunakan untuk membalas Methalia. Tak lama kemudian, ia tersenyum devil. "Walaupun kau sudah keluar. Tapi, aku masih bisa membuatmu menderita."  Jika ada orang yang melihat ekspresi Juna, pasti mereka beringsut ketakutan. Ia seperti iblis yang menjelma sebagai manusia.  Juna menatap kertas yang telah diremasnya tadi. Ia melihat nomor ponsel yang tertera di data itu. Dengan gerakkan perlahan, ia langsung menyimpannya dan tersenyum penuh misteri. Call Rubah Sialan "Halo." Juna diam "Siapa ini? Mengganggu orang tidur saja. Aku masih mengantuk. Tak akan kubiarkan kau tidur nyenyak. "Hai, sayang," ucap Juna sambil tersenyum devil. "Siapa?" "Aku penggemarmu." "Enggak lucu. Dasar gila!" Tut Tut Juna tersenyum penuh kemenangan. Rencana baru akan dimulai. Ternyata, tidak rugi mempunyai bakat mengganti suara sendiri.  Sementara itu, Methalia membuang ponselnya kasar. Tidurnya terganggu gara - gara orang yang tak jelas mengganggunya.  "Menyebalkan. Merusak hariku," ucap Methalia sambil memanyunkan bibir. Ia meraih ponselnya kembali untuk melihat nomor yang telah menghubunginya tadi.  Deg  Privat number "Orang ini pasti iseng gak jelas. Bagaimana bisa dia menggangguku? Sepertinya mau di hajar."  Privat number calling  Methalia kembali melihat ponsel dan mengangkatnya. "Halo, dasar kurang kerjaan. Beraninya menggangguku!" ucap Methalia penuh emosi. "Halo. Ada apa, Thalia? Apakah bunda mengganggumu?" "Bunda Linda, Maafkan aku. Tadi aku diganggu seseorang." "Tidak apa - apa. Bunda rindu padamu." "Thalia akan kesana bunda," ucap Methalia sambil tersenyum. "I love you, Bunda. Muach." Tut Methalia langsung menaruh ponsel dan bergegas ke kamar mandi. Ia akan pergi ke panti asuhan. Lagi pula, dirinya juga rindu dengan suasana panti.  Setelah usai, gadis itu langsung berganti pakaian menggunakan baju bebas. Sudah lama ia tidak sesantai ini. Dengan langkah yang semangat, Methalia ke luar kamar Methalia mengeluarkan kendaraannya dan pergi dengan rasa bahagia. Baginya, Bunda Linda adalah segalanya. Berkat beliau, ia bisa menikmati hidup. Meski harus berjuang, ia akan terus melakukannya. Nasehat-nasehat yang Bunda Linda katakan, selalu diingatnya.  Tak lama kemudian, Methalia sampai di Panti Asuhan Pelita. Ia melihat suasananya sangat ramai. Anak-anak bermain dengan senang.  Methalia melihat mereka dari jauh. Sungguh miris hidup mereka karena telah ditinggal orang tuanya. Sama halnya dengan dirinya. Ia ditinggal di panti asuhan karena kedua orang tuanya meninggal.  "Aku mengingat diriku kecil saat melihat mereka." Bunda Linda melambaikan tangan. Anak-anak pun bersorak memanggil Methalia. Senyum mengembang di sudut bibirnya menyambut mereka. Dengan langkah perlahan, Methalia menghampiri Bunda Linda yang tengah duduk di taman.  "Hai anak-anak," sapa Methalia. "Hai, Kak Thalia," ucap mereka serempak.  Methalia tersenyum, "Sudah satu minggu aku tak melihat kalian. Kalian semakin besar." "Tinggiku sudah sampai 120," ucap salah satu anak laki-laki. Methalia mengelus rambut anak itu, "Oh ya… bagus dong… sini peluk." Mereka semua memeluk Methalia dengan erat. Rasa hangat muncul di sekitar tubuhnya. Beginilah perasaan di sayangi oleh seseorang. Nyaman, hangat, dan tenang.  "Kalian bermain dulu sana. Kak Thalia tidak bisa bernafas," sela Bunda Linda.  Mereka melepas pelukannya, "Siap, Bunda." Meskipun hidup kekurangan, tanpa kasih sayang dari orang tua. Mereka tetap bersemangat tertawa dan bercanda ria seperti tak ada beban sama sekali. Hidup sudah di gariskan, menjalani dengan ikhlas adalah salah satu bentuk syukur atas karunia Tuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD