13| Di Sore Hujan

1102 Words
“Maaf, Ma. Kalau Mama sampai harus datang ke sini,” kata Marisa lemah. Ini hari keduanya melakukan dilatasi. “Mama sudah menduga hal ini. Suami berengsekkmu bakal meninggalkanmu demi istri keduanya. Apa kamu masih bersikeras kalau dia lebih mencintaimu?” tanya Mama lembut. Dipandanginya putrinya yang terbaring lemah di kasur. “Risa nggak mau memikirkan hal lain. Risa mau fokus dulu sama penyembuhan ini, Ma.” “Hh, kamu berharap bisa membahagiakan suamimu setelah sembuh, kan? Risa … tadi Mama sempat ngobrol sama perawat dan juga pasien yang lain. Untuk sembuh butuh waktu yang lama. Apa kamu yakin bisa berjuang sendirian tanpa suamimu? Lelaki seperti Rio tidak akan tahan menunggu sampai kamu siap. Apalagi ada seseorang yang sah dia gauli tanpa harus menunggu kamu. Apa kamu yakin akan meneruskan pernikahan ini?” “Ma, kita omongin ini nanti saja, ya. Setelah Risa keluar dari rumah sakit.” Mama memandang lembut putrinya dan mengelus tangannya. Dia mengangguk dan tersenyum memberi kekuatan pada putrinya. Saat ini yang dibutuhkan Marisa adalah dorongan untuk sembuh dan melakukan pengobatan sampai tuntas. Selama berada di rumah sakit, Mama tidak hanya menemani Marisa. Dia juga banyak bertanya pada dokter, perawat, dan juga pasien lain yang sedang menjalani pengobatan yang sama dengan Marisa. Ada rasa sakit dalam daada Mama ketika melihat pasangan yang datang ke rumah sakit ini dengan bergandengan tangan. Suaminya tak pernah melepaskan genggaman tangan pada istrinya, seolah mengatakan kalau apa yang terjadi pada dirinya bukan kesalahannya. “Nggak ada yang mau jadi vaginismus, Bu. Termasuk anak Ibu. Saya maklum dengan apa yang ibu ceritakan. Banyak perempuan yang datang kemari seorang diri karena dia diceraikan suaminya. Nggak sedikit juga yang bilang kalau mereka sampai berniat bunuh diri karena tidak tahan dengan tudingan masyarakat yang bilang kalau ini kesalahan mereka dan mereka tidak relaks dalam hubungan suami istri. Parahnya, tenaga medis yang mereka tanyai juga sama. Kalau sudah begitu, perempuan vaginismus mau berlindung pada siapa? Vaginismus bukan kondisi psikis, tapi penyakit yang bisa menyebabkan gangguan psikis, ” terang seorang dokter yang bertugas di rumah sakit itu. “Apa anak saya bisa hamil nantinya, Dok?” “Bisa, dong. Anak Ibu normal.” “Anak saya nggak di operasi, kan, Dok? Maksud saya, dia harus dibius total waktu dilatasi itu kenapa?” “Pembiusan total itu dilakukan supaya kekakuan ototnya bisa hilang sementar jadi kita bisa mengerjakan semua rangkaian prosedurnya. Karena kalau tidak dibius, untuk pasien derajat empat atau lima, mereka selain merasa kesakitan bisa terjadi penolakan dan ketakutan. Ada yang berteriak histeris, meronta dan itu menyulitkan proses pengobatan mereka. Makanya pembiusan itu perlu sehingga ketika pasien terbangun dia sudah bisa memulai dilatasi yang akan membuatnya sembuh. Ibu jangan khawatir, kita nggak ngapa-ngapain vaginanya, kok. Nggak disayat, nggak mengubah struktur, nggak dibolongi. Vaginanya normal. Kita hanya melakukan gerakan tertentu yang bertujuan ya .. itu tadi, melemaskan otot-otot v****a yang tegang supaya bisa melakukan penetrasi.” Mama mengangguk dan memahami setiap perkataan dokter. “Yang penting untuk saat ini kondisi psikisnya harus dijaga. Akan lebih baik sebenarnya kalau suaminya ada di sini juga. Biasanya pasangan yang mengalami ini akan sulit hamil dan menjadi bahan bully-an orang terdekat. Yang istri sering dibilang nggak mampu melayani suami, sedang suami suka diejek nggak jago memuaskan istri dan sejenisnya.” Kembali Mama mengangguk. Penjelasan dokter membuat pikirannya semakin terbuka sekaligus perasaannya semakin sakit. Seharusnya, Mario yang berada di sini melahap semua informasi dari dokter bukan hanya dirinya. =*= Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Marisa dan Mama pulang ke Bogor dengan menggunakan travel karena mobil dibawa Mario. Tidak ada pesan dari Mario yang mengatakan penyesalannya atau meminta maaf padanya. Mama tidak memarahi atau menyindir putrinya lagi. Dia hanya merangkul dan mengusap bahu Marisa dengan sayang. Marisa dibekali dilator dari rumah sakit. Dia masih harus melakukan dilatasi mandiri selama enam bulan supaya kondisinya semakin baik. Dokter bilang, kalau dia sudah merasakan tidak sakit lagi selama penetrasii, berarti dia sudah sembuh. Meski hatinya sakit karena ditinggalkan Mario begitu saja di rumah sakit, tapi perasaannya menjadi berbunga ketika dia membayangkan bisa menyerahkan diri seutuhnya kepada Mario. Rasanya dia akan semakin sempurna menjadi istri dan mungkin Mario akan kembali padanya seperti dulu. Setelah sebulan Marisa melakukan dilatasi mandiri, dia sudah lebih percaya diri dan ingin mencobanya dengan suaminya. Sayangnya Mario tidak pernah menghubunginya lagi. Mobil Marisa dikembalikan oleh seorang lelaki ke laundry. Tanpa pesan, tanpa ucapan yang dititipkan. Lelaki itu hanya menitipkan kunci mobil di meja depan laundry lalu pergi begitu saja. Marisa mengurut dadaa ketika mendapatkan laporan dari karyawannya. Saat mobil itu dikembalikan masih ada Mama, wanita itu memandanginya saja. Kelihatannya Mama sudah lelah dengan perilaku Mario dan dia tetap menginginkan perpisahan untuk putrinya. “Pikirkan lagi perkataan Mama. Tidak ada yang perlu kamu buktikan pada lelaki seperti dia. Lepaskan saja Mario, Sa,” pesan Mama sebelum dia pulang ke kota tempatnya tinggal. Marisa kembali sendirian di Bogor. Dia tidak ingin menghubungi Mario duluan karena dia akan terliahat seperti pengemis yang memohon untuk dicintai. Mama meyakinkan Marisa kalau dia lebih berharga dari ini dan nggak layak diperlakukan seperti ini. Setidaknya, jika Mario ingin mempertahankan pernikahan ini, lelaki itu harus komitmen dengan kesanggupannya membagi waktu. Marisa tidak perlu dinafkahi jika Mario keberatan. Tapi Marisa memerlukan sosok Mario untuk berada disisinya. =*= Di sore hujan yang kerap menyambangi kota Bogor, lelaki itu datang tanpa payung. Wajahnya kuyu. Bahunya lunglai. Sepertinya semua energinya habis terserap oleh sesuatu yang memberati pundaknya. Marisa menatapnya tanpa bergerak ketika dan menghentikan tangannya yang sedang menutup rolling door laundry. “Yo, kenapa kamu hujan-hujannan di situ?” Marisa menyadari kalau itu suaminya dan segera meraih tubuhnya agar masuk ke ruko dan terhindar dari hujan. Setelah Marisa mendudukkan tubuh suaminya di kursi yang ada di laundry dan memberikan selembar handuk tebal untuk mengeringkan air hujan di tubuhnya, Mario mulai sesenggukan. “Sa … apa kalau aku minta maaf padamu, kamu akan memaafkan aku?” “Tunggu di sini, aku buatkan minuman hangat. Jangan ke mana-mana, please,” pinta Marisa sembari berlalu meninggalkan Mario menuju dapur kecil di lantai bawah yang khusus digunakan oleh karyawannya. Sekembalinya dari dapur, Marisa memberikan segelas teh hangat pada suaminya lalu duduk di hadapannya. Menunggu sampai suaminya siap untuk bercerita. “Boleh aku menginap?” Marisa sebenarnya kesal, tapi melihat tampilan Mario yang seperti ini dia merasa iba. Lagipula Mario masih suaminya. Akhirnya Marisa mengangguk. “Kamu bisa bantu aku tutup laundry. Aku siapkan dulu air hangat untuk kamu mandi dan pakaian ganti di atas,” kata Marisa pada suaminya. Lalu berdiri hendak meninggalkannya. Mario meraih tangan Marisa. “Terima kasih. Maafkan, aku.” Marisa melepaskan tangan suaminya perlahan tanpa banyak berkata. Dia berjalan meninggalkan Mario dan naik ke lantai tiga.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD