8| Tekad Mario

1383 Words
Sayangnya rencananya gagal. Cecil ngamuk waktu Mario bilang mau cuti seminggu dan ke Bandung nemenin Marisa berobat. “Aku lagi hamil! Terus kamu mau ninggalin istri kamu yang hamil ini sendirian?” pandangan Cecil mengeras ketika suaminya menceritakan rencananya. “Kamu nggak sendirian. Ada Ibu sama Bapak yang bakalan nemenin kamu dan ngurusin kamu. Lagian Marisa itu masih istri aku. Nggak bisa aku tinggal gitu aja.” “Dia sehat! Nggak ngidam kayak aku. Anak kamu ini maunya ditemenin kamu terus tahu! Kalau kamu kerja aku mual terus sampai nggak pengen makan, tapi kalau ada kamu, aku baik-baik saja. Mualnya hilang.” Cecil mulai memainkan peranannya. Dia nggak mau melepas lelaki yang berstatus sebagai suaminya ini ke pelukan istri pertama. Mario baru menikahinya secara siri. Belum sah secara hukum negara. Posisinya masih lemah dan Mario bisa saja meninggalkannya sewaktu-waktu. Cecil merasa kalau Marisa cuma mengada-ada. Sakit katanya? Sewaktu dia menemuinya, wanita itu kelihatan sehat. Bahkan kelihatan kelebihan energi karena Cecil bisa merasakan kalau Marisa ingin menerkam dan mengunyahnya bulat-bulat. Wajar. Istri mana yang nggak marah karena suaminya menikah lagi diam-diam. Marisa pasti kesal bukan kepalang, tapi dia sudah terlalu lama hidup dalam kesempurnaan. Marisa cantik, berduit, dan meski belum bisa kasih anak buat Mario, dia kelihatan bahagia. Jauh beda dengan Cecil yang semua serba pas-pasan. Hidup pas-pas an, muka pas-pas an, duit apalagi. Kelebihan dia cuma satu, body goal yang bikin lelaki ingin melakukan hal yang iya-iya padanya. Dan dia menyerahkan semua itu pada Mario. Lelaki ganteng dengan jabatan tinggi dan pasti kantongnya juga tebal. Jika saja Cecil bisa memiliki Mario seutuhnya, hidupnya yang pas-pas an bakal berubah jadi luar biasa. “Kamu itu sudah dibohongi. Marisa cuma playing victim. Dia pura-pura sakit supaya bisa dapetin perhatian kamu. Memang itu tujuannya!” “Sayang ….” Mario berusaha meredakan kemarahan wanita di hadapannya ini. Bagaimana juga, Cecil sedang mengandung benihnya dan dia nggak mau terjadi sesuatu pada janin yang sedang dikandungnya. “Sakit apa? Marisa sakit apa? Waktu aku ketemu sama dia, nggak kelihatan kalau dia sakit. Dia kelihatan sehat-sehat saja.” Cecil berdiri menantang di hadapan suaminya. Lelaki yang katanya kerja tapi ternyata pergi ke Bandung ini membuat Cecil kesal setengah mati. “Bilang sama aku, jujur Mario! Kamu ke Bandung buar naena sama istri mandul kamu itu, kan? Enak sekali kalian honeymoon ke Bandung sementara aku di sini harus menahan mual dan muntah setiap saat. Kamu pikir enak hamil begini?” Mario memejamkan mata. Dia sudah berjanji pada Marisa kalau nggak akan membocorkan kondisinya. Kalau orang-orang tahu apa yang sebenarnya diderita Marisa, orang-orang bisa menyalahkannya. Istri sakit bukannya diobatin, malah diselingkuhin. Enggak, Mario nggak siap menghadapi tuduhan itu. Sama nggak siapnya ketika dia dituduh mandul. Jadi nggak ada yang boleh tahu bagaimana kondisi Marisa sebenarnya. Yang penting saat ini dia harus mendamaikan keadaan Cecil dulu baru setelah itu membicarakan ulang soal mengatur jadwal mengunjungi mereka berdua. “Aku nggak honeymoon sama dia, Cecil. Aku nganter dia berobat ke Bandung.” “Kenapa harus ke Bandung, emang Bogor kekurangan dokter? Nggak usah mengada-ngada. Pokoknya kamu nggak boleh pergi-pergi sama dia lagi! Kalau emang beneran dia sakit, suruh aja pergi sendiri. Dia, kan punya mobil. Nggak kayak kita yang ke mana-mana masih naik taksi atau angkutan umum. Mario, kapan kamu mau beli mobil buat aku?” Lelaki itu meraup wajahnya dengan kedua tangan. Pulang ke rumah bukannya dibuatin minum atau disambut senyum, sedari tadi dia harus menghadapi Cecil yang uring-uringan. Dan sekarang istrinya ini malah minta dibelikan mobil. Jangan bilang kalau anaknya ngidam itu. “Aku mau mandi dulu. Gerah!” kata Mario ketus sembari berjalan keluar kamar. Di depan kamar dia berpapasan dengan ibu mertuanya. Mario yakin kalau ibunya Cecil itu menguping perdebatan dia dengan istrinya sedari tadi. Mario nggak peduli, kepala dia pusing dan perut dia lapar. Kalau di rumah Marisa, setiap pulang kerja pasti sudah dibuatkan teh manis panas dan sepiring kue basah. Sambil menunggu tehnya sedikit hangat, dia mandi untuk menyegarkan diri. Ah, kenapa dia jadi membandingkan Marisa dengan Cecil sekarang? Mario menyambar handuk di jemuran dan masuk ke kamar mandi di belakang rumah. Kamar mandi yang kecil tanpa pancuran. Tidak seperti kamar mandi di rumahnya yang lega dan memiliki pancuran air yang besar. Mario bisa mendinginkan kepalanya di bawah pancuran sambil membayangkan mencumbu Marisa suatu hari nanti. Tapi semuanya sudah terlambat untuk disesali. Dia harus bertanggung jawab pada pilihannya saat ini. =*= “Kamu nggak boleh terlalu menuntut begitu sama dia, Cil! Suami pulang ke rumah disambut senyuman, dibikinin minuman, bukannya dimarahi kayak gini. Apalagi sampai minta mobil segala. Jangan egois seperti itu!” Kartika, ibunya Cecil menasihati anaknya. “Bu, aku gemes sama dia. Katanya mau cerein istrinya, tapi malah pergi ke Bandung buat ena-ena. Ngeselin, kan? Buat aku dia selalu nggak ada duit, tapi buat istrinya semua dia kasih. Apa hebatnya wanita itu coba? Aku yang hamil, seharusnya aku yang dapat perhatian!” “Kamu udah dapat banyak perhatian dari mertua kamu. Tinggal ngadu saja sama dia. Tapi jangan sakiti perasaan suamimu. Di depan suamimu, kamu harus jadi istri yang penurut, lemah dan bikin suamimu iba. Tapi di belakang dia, kamu harus pandai cari perhatian sama mertuamu. Mario mungkin nggak bisa menceraikan istrinya cepat-cepat, tapi mertuamu, dia bisa mendesak Mario! Manfaatkan itu!” Cecil duduk di pinggiran kasur dan mengelus perutnya yang sedikit tegang karena dia marah-marah sedari tadi. Dipandanginya ibunya yang berdiri di hadapannya. Benar kata wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan dia ini, menghadapi Mario memang harus pakai strategi. Nggak boleh asal marah dan mendesak. Cecil mengatur napasnya supaya lebih relaks. Perasaannya lebih baik sekarang. “Ibu benar, aku memang sudah keterlaluan tadi. Tapi itu karena aku nggak mau kehilangan dia, Bu! Aku nggak mau ditinggalkan lagi kayak bapaknya Yoga. Mario ini sempurna banget buat jadi suami aku, Bu. Dan aku mau dia jadi suami aku seorang. Nggak harus berbagi.” Kartika mengelus dagu putrinya, pandangannya meneduh. “Kamu harus sabar. Sekarang, siapin makan dulu buat suami kamu. Dia pasti lapar, kan? Jangan lupa ntar malam diservis. Kamu harus bisa bikin dia lupa sama istrinya.” Cecil mengangguk. Dan ketika Mario masuk untuk berganti pakaian, dia mendekati suaminya itu dan memeluknya dari belakang. “Maafkan aku,” kata Cecil lirih. Diciuminya punggung terbuka suaminya yang sedikit lembap. “Aku cemburu.” Mario mendesah. Dia menyukai sentuhan Cecil di kulitnya. Dia tahu bisa berlanjut ke mana hal ini. Sesuatu yang nggak akan dia dapatkan dari Marisa. “Kamu benar. Marisa masih istri kamu dan kamu harus bersikap adil pada kami. Aku berjanji setelah ini nggak akan marah atau menuntut lagi. Aku akan coba bersabar sampai tiba giliranku. Maafkan aku.” Cecil mengetatkan pelukannya dan sengaja menggesekkan buah daadanya ke punggung Mario. Membuat jakun Mario bergerak naik turun karena membayangkan sesuatu. “Aku lelah. Aku pengen istirahat,” kata Mario akhirnya. Dia harus menahan godaan Cecil karena tubuhnya memang lelah. “Aku siapin makan buat kamu, ya? Kamu pasti cape habis nyetir jauh.” Mario membalikkan tubuh dan memandang wanita di hadapannya. Dia tersenyum lalu mengecup singkat bibir Cecil yang merekah. “Aku pakai baju dulu,” katanya. Cecil tersenyum dan mengangguk. Dia membalikkan badan dan melangkah keluar kamar. Mario memandangi punggung Cecil sampai menghilang di balik pintu. Lalu dia membalikkan badan dan memandang lemari tiga pintu yang dulu berada di kamarnya dengan Marisa. Bajunya masih berada di lemari ini. Tapi tempat di mana baju Marisa berada, kini sudah digantikan oleh tumpukan baju Cecil. Tiba-tiba Mario didera perasaan bersalah yang teramat besar. Dia dan Marisa mengumpulkan perabotan di rumah mereka satu per satu. Awalnya hanya ranjang dan lemari tiga pintu ini, lalu peralatan dapur dan peralatan makan. Lemari piring, mesin cuci, kulkas, sampai sofa, karpet dan tirai-tirai. Sekarang semua hal yang mereka kumpulkan berbulan-bulan itu pindah dalam sekejap ke rumah Cecil dan orang tuanya. Mario merasa perbuatannya sangat keterlaluan. Istrinya benar-benar wanita yang luar biasa karena masih mau menerimanya setelah perbuatan dia padanya. “Sayang … ayo makan! Sayurnya sudah aku panaskan!” Teriakan Cecil membuyarkan lamunannya. Buru-buru Mario mengambil kaos dari tumpukan teratas dan mengenakannya cepat. Dia mengatur napasnya dan berusaha menyingkirkan bayangan Marisa. “Kalau lagi sama Cecil, aku nggak boleh mikirin Marisa. Kalau lagi sama Marisa, aku juga nggak boleh ngebayangin Cecil. Biar adil! Kalau bisa jalan dua, ngapain harus cerein salah satu. Aku pasti bisa!” tekad Mario seraya mengepalkan telapak tangannya.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD