“Yo.” Marisa menyentuh pundak suaminya yang melengkung. Kedua tangan Mario menutupi wajahnya yang menunduk. Tanpa menoleh, lelaki itu menurunkan telapak tangannya dan mendesah keras. “Kamu pasti lega, kan?” “Apa?” tanya Marisa memastikan apa benar Mario barusan mengatakan hal yang tidak enak didengar. “Sudahlah. Aku lelah. Kamu pulang saja.” “Aku memang mau pulang. Tuduhan kamu tadi aku maafkan. Aku anggap kamu sedang berduka karena baru saja kehilangan calon bayi yang kamu idamkan.” Rasa simpatinya mendadak hilang tapi Marisa enggan untuk memperpanjang perasaannya. Lebih baik dia menyingkir dari rumah sakit ini sebelum banyak drama terjadi. Nggak seharusnya dia berada di lokasi yang bisa memicu perang. Namun terlambat, Kartika ibunya Cecil sudah muncul di ujung koridor dan tidak mun