Lima

1362 Words
Waktu menunjukkan pukul 12.13, dan Andrea baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Kini saatnya ia untuk makan siang. Ting Pintu lift terbuka. Andrea berjalan ke arah ruangannya sembari mengeluarkan sebuah kunci berwarna silver. Cklek "Kok nggak bisa?" lirih Andrea ketika ia gagal memutar kuncinya. Ia menarik kembali kunci itu dari pintu dan mencoba membuka pintunya begitu saja. Cklek Berhasil! 'Apa tadi lupa aku kunci ya?' pikir pria berusia tiga puluh satu tahun itu sembari memperhatikan pintu ruangannya. Andrea menutup pintu ruangannya lalu berbalik badan, hendak berjalan menuju meja kerjanya. "Astaga!" pekik Andrea kaget. Bagaimana tidak terkejut? Ia melihat sosok istrinya duduk tenang sambil bermain handphone di kursi kebesarannya. Padahal seingatnya, ia tidak pernah memberikan kunci cadangan ruang kerjanya pada Vania. "Kok kamu bisa masuk?" tanya Andrea. Lelaki itu berjalan ke arah sang istri yang seakan tak menyadari keberadaannya. "Kan aku ada kunci. Nih," jawab Vania sambil menunjukkan kunci ruangan Andrea yang ia miliki. Dengan cepat, Andrea menyambar kunci itu dan memperhatikannya dengan seksama. "Kok bisa? Dapat dari mana? Seingatku aku nggak pernah ngasih kamu kunci," tanya Andrea bertubi-tubi. Bukannya menjawab pertanyaan Andrea, Vania malah terkikik kecil seolah menyembunyikan sesuatu yang lucu. "Dapat dari mana, Vania?" geram Andrea. Sebenarnya ia adalah tipe orang yang tidak suka jika privasi nya diganggu. "Aku gandain kuncinya, baru semingguan yang lalu. Hehe.." jawab Vania sambil cengengesan. Andrea menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. 'Sabar, jangan dimakan, Ndre! Dagingnya pahit, beracun," batin pria itu. "Jangan ngambek dong, masak gitu doang ngambek sih? Kan aku istri kamu. Sama istri nggak boleh main rahasia-rahasiaan loh, Mas Andrea," goda Vania dengan nada manis. "Iya, nggak ngambek. Ya udah ayo makan!" ajak Andrea pada akhirnya. "Wait, nah. Itu alasan aku ke sini. Aku mau minta izin buat keluar sebentar. Aku ada janji makan siang sama teman," ujar Vania meminta izin. Andrea mengerutkan keningnya. Yang ia tahu, Vania tak memiliki cukup banyak teman. "Helen?" tanya Andrea yang mendapat gelengan dari Vania. "Daniel?" Dan lagi-lagi, Vania menggeleng. "Memang kamu punya teman selain mereka?" tanya Andrea lagi yang langsung mendapat pelototan tidak terima dari Vania. "Punya," jawabnya ketus. "Siapa? Kok aku nggak tahu?" tanya Andrea. "Teman aku banyak, kok. Kamu aja yang kuper," kesal Vania. "Iya, maaf. Memangnya mau makan siang sama siapa? Yang jelas kalau minta izin, kalau nggak jelas nggak aku izinin," tanya Andrea lagi. Vania menghentakkan kakinya dengan kesal dengan sikap abstrak suaminya. "Biasanya bebas-bebas aja aku pergi," gumamnya. "Ck, sama Manusia Langit. Kamu ingat kan, remaja yang suka curhat di halaman web aku?" jawab Vania pada akhirnya. Andrea kembali mengerutkan keningnya. Berusaha mengingat-ingat nama aneh yang baru saja istrinya sebutkan. "Masak nggak ingat sih?" kesal Vania. "Oh. Ingat," dusta Andrea. Padahal sebenarnya ia belum mengingat sama sekali orang yang Vania maksud. Ya cuma biar masalahnya cepat kelar aja, makanya dia bilang ingat. "Jadi boleh kan?" tanya Vania ingin memastikan. "Memangnya dia benar-benar manusia? Kok namanya aneh," tanya Andrea polos. Vania kembali menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil. Bibirnya mengerucut seperti anak yang keinginannya tidak dituruti oleh sang ibu. Baginya, Andrea terlalu mengulur waktu. Padahal Si Manusia Langit itu sudah mengabarinya jika ia sudah datang ke restoran tempat mereka janjian. "Iya, boleh. Tapi jangan sampai telat kembali ke rumah sakit. Perginya nggak jauh kan?" tanya Andrea lagi. Vania menggeleng sebagai jawaban. "Nggak kok, cuma ke Cafe Cemara. Ya udah, aku pamit dulu ya, hehe," pamit Vania. Andrea mengangguk dan membiarkan Vania pergi. 'Manusia Langit? Dia manusia beneran kan ya?' batin Andrea tidak tenang. "Vania!" Vania pun kembali menoleh saat mendengar panggilan suaminya. "Kalau Manusia Langit itu ternyata alien, kamu cepat-cepat lari ya!" pesan Andrea. "Kenapa?" bingung Vania. "Takutnya kamu diajak kembali ke planet kalian. Aku nggak siap jadi duda di usia muda," canda Andrea. Vania menghela napas panjang sembari memutar bola matanya malas. Tanpa memberi jawaban, ia pun melangkah keluar dari ruang kerja suaminya. * Kring "Woah!" pekik Vania kaget saat mendengar suara nyaring di atas kepalanya. Ternyata suara itu berasal dari sebuah lonceng yang ada di pintu, yang otomatis akan berbunyi jika pintu terbuka. Vania melihat kesana-kemari, ternyata beberapa orang telah memperhatikannya. Ia tertawa garing lalu segera beranjak dari posisinya. Ia mencari meja dengan nomor tujuh, seperti yang telah diinfokan Manusia Langit padanya beberapa menit yang lalu. "Lo... Maksud saya, Anda Dokter Vania?" Vania menoleh. Ternyata yang memanggilnya tadi adalah seorang remaja yang masih dengan seragam sekolah. Vania memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah, lalu tersenyum lebar. "Kamu Manusia Langit ya?" tanya Vania. Gadis itu mengangguk. Dengan tidak sabaran, Vania menarik gadis itu untuk kembali duduk. Lalu, ia mengambil posisi duduk tepat di hadapan gadis itu. "Aku kira kamu itu remaja-remaja yang kelihatan melow gitu, ternyata aku salah ya? Hehe.." ujar Vania sok akrab. Gadis itu tampak tak acuh dengan pertanyaan basa-basi Vania. Ia memilih meneguk soft drink yang sempat ia pesan sebelum Vania datang. "Anda belum saya pesankan minum," ujar gadis itu. "Ck, nggak masalah. Saya bisa pesan sendiri," "Mbak Mbak!" Seorang pelayan pun datang, dan Vania segera mengatakan pesanannya. "Eh, kok kita jadi kaku gini ya? Ngomongnya santai aja, nggak usah terlalu formal," ucap Vania. Gadis itu mengangguk. Keduanya sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sebenarnya, Vania lah yang mengajak remaja itu bertemu. Ia penasaran dengan remaja yang selalu bisa membuatnya menitihkan air mata setiap membaca curhatannya di halaman webnya itu. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Vania memulai perbincangan. "Alin," jawab gadis itu singkat. Seketika, Vania teringat dengan pesan suaminya tadi. Pasalnya, selama ini Andrea tidak pernah bicara asal. Semua yang dikatakannya pasti fakta. Jadi kemungkinan, alien itu beneran ada? "Alin? Seriusan Alin kan, bukan alien? Kamu manusia kan?" tanya Vania dengan nada serius. "Pfftt.." Alin menahan tawanya melihat ekspresi dan ucapan Vania yang kelewat polos. "Aku manusia lah. Ya kalik aku alien yang nyangkut di bumi," balas Alin. "Oh, okey. Hehe.." Vania tertawa hambar. Jujur, ia masih sedikit kurang yakin. Mungkin karena efek ucapan Andrea sebelumnya, yang cukup berpengaruh. "Kenapa Anda ingin bertemu saya?" tanya Alin. Vania nyaris saja lupa dengan tujuan utamanya mengajak gadis itu bertemu. "Cuma mau kenal kamu lebih dalam aja. Soalnya, selama ini aku selalu berusaha buat ngasih jalan keluar pada remaja-remaja yang curhat di halaman aku, tapi aku merasa belum mampu membantu kamu," terang Vania. Gadis itu tersenyum miring. Ia mengalihkan pandangannya dari Vania. Ia memilih menatap gelas soft drinknya yang sudah setengah kosong. "Nggak masalah. Dengan Dokter Vania baca curhatanku aja aku udah seneng. Baru kali ini ada orang yang mau ngeluangin waktunya buat dengar cerita aku," balas Alin santai. Meski Alin mengatakan dengan nada santai, tapi Vania dapat menangkap raut kesedihan di wajah gadis itu. Sepertinya curhatan yang Alin tulis selama ini memang benar adanya. Gadis itu memang tampak seperti remaja urakan, tapi kedua matanya memancarkan kesedihan yang tak dapat Vania artikan. "Hmm.. kamu kelas berapa, Alin?" tanya Vania, berusaha mengalihkan pembicaraan yang sepertinya membuat Alin kurang nyaman itu. "Sebelas. Tahun depan Ujian," jawab Alin seadanya. Vania mengangguk paham. Alin melepas topi yang sedari tadi ia gunakan, lalu membenarkan ikatan rambutnya. Gadis itu tampak lebih cantik sekarang. Padahal tadinya gadis itu tampak seperti preman jika saja tidak mengenakan seragam sekolah. "Kamu cantik kalau rapi gitu. Besok lagi nggak usah pakai topi deh. Dan ngiket rambutnya dirapikan seperti itu," puji Vania. Alin terkekeh mendengar ucapan Vania. "Anda doang yang bilang aku cantik. Aneh banget rasanya," gumam Alin. "Serius? Padahal kamu beneran cantik kok," tanya Vania tak percaya dengan ucapan gadis yang kini berada di hadapannya. Alin kembali tertawa. Namun Vania dapat mengartikan tawa itu. Karena terselip nada miris pada tawanya. Waktu menunjukkan pukul 12.47. Dan sedikitpun, Vania belum menyantap makanan di hadapannya. "Eh, Lin, makan dulu yuk! Aku harus kembali ke rumah sakit setelah ini. Besok kita ketemuan lagi deh," pamit Vania. Alin mengangguk dan mulai memakan makanannya. Bahkan ia tidak sadar jika sesekali Vania melirik ke arahnya. 'Sebenarnya seperti apa kepribadian gadis ini? Dan seberapa besar masalah yang ia alami selama ini? Kok sepertinya.. ah ya sudahlah. Nggak usah menilai sembarangan dulu. Lebih baik aku berusaha masuk lebih dalam dulu ke hidupnya. Jangan sampai aku salah langkah karena tergesa-gesa.' batin Vania. ❤️❤️❤️ Bersambung .... Say hello to Alin, dia salah satu tokoh yang akan sangat berpengaruh loh nanti. Kalau kalian suka, silakan ajak teman/kerabat kalian untuk membaca Devania 2 juga, yaa. Terima kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD