Mendengar dokter Wika nyebut membuatku meringis sendiri, andaikan saja dokter Wika tahu jika uang tidak menyelesaikan masalah yang aku hadapi, mungkin dia tidak akan berbicara seperti ini. Aku pasrah saat dokter mendekatiku dengan jarum infus. "Ini saya infus ya, Bu. Biar Ibu nggak drop banget. Saya saranin langsung ke rumah sakit Ibu pasti juga nggak mau!"
"Terserah bagusnya gimana, dok. Yang penting saya mau tidur sebentar."
Aku tidak berbohong saat aku pamit untuk tidur, aku benar-benar ingin tidur sayangnya rasa sakit yang aku rasakan membuatku tidak bisa memejamkan mata, alhasil aku hanya tidur ayam-ayam yang membuatku semakin pusing meski tidak selemas sebelumnya.
"Ibu jangan pulang sendiri, ya! Minta dijemput Pak Saka ya, Bu. Takutnya kalau nyetir sendiri nanti Ibu nggak kuat......"
Meminta tolong pada Saka untuk menjemputku, aku tidak yakin jika suamiku yang baik itu bersedia meluangkan waktunya untukku. Tapi berdebat dengan dokter Wika aku juga tidak sanggup.
"Sopir kantor nggak ada, dok?! Khawatirnya suami saya masih sibuk sama tugas." Aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja, mencari alasan yang tepat namun dokter Wita justru memincing curiga.
"Masak jam setengah 6 masih ada tugas, Bu?! Memangnya Bapak ada tugas apa, latihan di luar kota atau apa, Bu?" Masih banyak cecaran penasaran dokter Wika aku terima saat mendengar alasanku, sungguh pertanyaan menohok dokter Wika ini membuatku semakin pening, dengan isyarat tanganku aku mengusirnya untuk pergi, tidak ingin mendengar cerocosannya. Aku enggan untuk menghubungi Saka, takut pada akhirnya aku akan kembali kecewa, namun pada akhirnya tanganku justru bergerak untuk meraih ponselku untuk menghubunginya. Betapa pun aku membencinya, disaat aku sakit seperti ini aku mengingikan perhatiannya.
Ya Tuhan, kenapa aku semurahan ini hatiku?
Perlu dua kali panggilan dariku sampai akhirnya panggilanku diangkat dan aku mendengar suara Saka yang berat di ujung sana yang tengah kasak-kusuk seolah dia tengah menggerutu ditengah langkahnya.
"Ka, aku sakit, bisa minta tolong jemput dikantor, nggak?" Dengan cepat aku berbicara kepada Saka, aku khawatir hatiku akan membatu lagi, namun disaat bersamaan aku mendengar suara rusuh dari kedua adik perempuannya yang berbicara keras disaat bersamaan.
"Abang, buruan turun ke bawah!"
"Bang, cepetan turun napa, Bu Yah masakin gulai kepala ikan khusus buat Abang ini loh!"
Mendengar teriakan dari kedua adik Saka aku sama sekali tidak bisa menahan rasa miris yang menggerogotiku, benar Saka tidak tahu jika aku sakit, tapi mendapati dia tengah di rumah orangtuanya dan hendak makan malam dengan masakan khusus dari Ibunya Alisa membuatku semakin mual, dimana-mana Alisa selalu ada membayangiku seperti hantu. Puncaknya adalah Saka tidak menanggapi apa yang aku katakan sebelumnya dan saat itu aku tahu jika panggilan teleponku yang terangkat adalah sebuah ketidaksengajaan.
Saka, dia mengabaikan panggilanku, tepat disaat dia hendak menolak panggilanku dia justru tidak sengaja menerima panggilan, membuatku tahu jika hanya aku yang hancur sementara dia baik-baik saja dengan semua kediamanku. Sungguh aku merasa jika aku semakin terluka lebih dalam.
Panggilan itu aku putuskan, membiarkannya tidak mengetahui jika panggilan yang dia abaikan terangkat secara tidak sengaja membuatku tahu betapa normalnya kehidupan Saka tanpaku. Perlahan aku bangkit, menentramkan hatiku yang bergejolak, benar kan dugaanku, menghubunginya hanya membuat luka yang baru diatas luka lama yang tidak kunjung sembuh.
"Bu Juni ini serius mau pulang sendiri?"
Satu botol infus yang masuk ke dalam tubuhku membuatku mampu berdiri dengan tegap meskipun rasanya dadaku masih terasa sesak.
"Mau kamu anterin memangnya kalau nggak pulang sendiri, dok? Kan dokter sendiri yang bilang Pak Wangun sama Pak Jaka nganterin para petinggi balik, kantor nggak ada driver, ya sudah dok saya pulang sendiri saja. Lagian nyetir sambil duduk bukan sambil lari-lari, cincailah! Sini kasih saya obatnya, yang paling manjur loh!"
"Iya-iya, ini saya kasih obat, tapi kalau besok belum enakan, Bu Juni harus ke rumah sakit buat pemeriksaan lebih lanjut loh. Saya nggak mau disalahin sama Pak Wijaya....."
Tanpa banyak berkata lagi aku meraih obat yang di berikan oleh dokter Wika, beriringan kami berjalan keluar menuju parkiran karena pergantian dokter jaga di klinik pabrik dan selama itu aku berusaha untuk terlihat sehat. Aku malas ke rumah sakit, yang aku inginkan hanyalah tidur di ranjangku sendiri.
Benar-benar perjuangan untukku sampai di rumah, benar mengemudi itu hanya duduk dibalik setir tapi tetap saja dengan padatnya jalanan ibukota, dan keadaan yang tidak sehat nyaris membunuhku secara perlahan. Sayangnya ujianku tidak berhenti hanya sampai di asam lambung yang membuat sekarat karena saat aku sampai di rumah dinas, mobil dan motor suamiku sudah terparkir rapi namun sepasang sepatu hitam dengan heels rendah menyita perhatianku. Sebelumnya aku mendengar bagaimana nyamannya suamiku memakan masakan ibu dari wanita sialan yang selalu menjadi bayang-bayang mengerikan dalam rumah tanggaku, dan sekarang saat badanku tengah hancur seperti ini, aku harus melihat wanita sialan itu duduk tenang di ruang tamu.
Katakan, apa kalian tidak geram jika ada di posisiku?
"Mbak Juni, baru pulang, Mbak?" Pertanyaan itu terlontar dari Alisa namun aku mengabaikan basa-basi tersebut dan memilih untuk masuk ke dalam rumah, di dapur aku menemukan Suamiku tengah sibuk menuangkan gulai kepala ikan ke wadah besar. Makanan yang katanya favoritnya buatan dari pembantu kesayangannya, hanya sebuah gulai kepala ikan namun sukses membuatku meledak dalam kemarahan.
"Kamu sudah pulang, Ran. Aku bawa gulai kepala ikan, kamu mau?"
"Kenapa wanita itu ada di rumahku saat aku belum pulang dari kantor?" Kedua tanganku mengepal menahan emosiku.
"Aku yang mengajaknya kesini, kebetulan Alisa jaga malam ya sudah sekalian saja aku ajak makan, lagipula ini menu favoritnya."