Episode 6 : Nasib Hubungan Nanay Dan Rean

1569 Words
Sekitar pukul satu siang lewat dua puluh menit, Bubu masih terjaga sendirian di sebuah restoran lantaran Rean telat datang. Barulah, sekitar lima menit kemudian, langkah tergesa terdengar mendekat, mengantarkan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang telah membuat Bubu menunggu. Rean menatap sungkan Bubu dengan wajah berikut tubuhnya yang agak berkeringat. Kenyataan tersebut terjadi lantaran ia buru-buru menemui Bubu, selain ia yang memang akan selalu merasa tegang jika harus menghadapi Bubu. Karena meski pria muda di hadapannya berusia lima tahun lebih muda darinya, dikarenakan Bubu merupakan kakak Nanay, Rean teramat menghormatinya. “Maaf, Mas. Macet parah.” Rean masih terengah-engah. Bubu yang menyempatkan diri untuk berdiri menyambut kedatangan Rean, membalas Rean dengan anggukan sekenanya.  Melihat Bubu yang menyikapinya dengan sangat dingin, Bubu bahkan tetap menyimpan kedua tangannya di saku sisi celana bahan warna hitam yang dikenakan, Rean yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi. Belum lagi, dari semalam semenjak Rean pulang menghadiri undangan resepsi pernikahan salah satu klien pentingnya, Nanay terbilang sulit dihubungi. Semua pesan berikut telepon yang Rean lakukan tak ada yang dibalas. “Duduk. Aku juga enggak akan lama-lama, karena memang enggak bisa,” ucap Bubu sembari duduk. “Makasih, Mas.” Rean mengangguk sopan, duduk di kursi kayu yang menjadi tempat kebersamaan mereka.  Untuk sejenak, demi meredam rasa tegang, Rean sengaja mengamati suasana sekitar. Restoran tempat mereka janjian terbilang cukup ramai, dan mungkin efek waktu jam makan siang yang masih berjalan. Sedangkan Bubu yang kali ini mengenakan kemeja lengan panjang warna hitam, tampaknya memang sedang dalam suasana hati yang kurang baik. “Aku ingin tahu, kelanjutan hubunganmu dengan Nanay,” ucap Bubu masih menanggapi Rean dengan tegas, akibat kemarahan berikut kekecewaan yang susah payah ia tahan. Rean menunduk tegang. “Hubungan kami baik-baik saja, Mas.” “Baik-baik saja dalam artian bagaimana? Lanjut, atau putus?”  Balasan Bubu sukses membuat Rean terkesiap. Rean bahkan menggeragap, membuatnya tidak bisa tenang bahkan dalam duduknya. “Jika memang enggak ada masa depan, jangan dilanjutkan. Apalagi kamu tahu, Nanay seperti apa? Enggak baik mengikat wanita yang benar-benar tulus ke kamu, sekalipun dalam agama kita diperbolehkan untuk berpoligami.” “M-maksud Mas, maksud Mas sebenarnya apa? Kenapa Mas tiba-tiba berbicara seperti itu?” “Lepaskan Nanay, jika kamu memang akan menikah dengan Gemintang!” Bubu semakin tegas.  Bubu dapati, wajah Rean yang seketika menjadi pias. Rean tak lagi berani mengangkat wajah apalagi menatapnya, layaknya sebelumnya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu kepada Gemintang. Aku juga tahu hubungan kalian seperti apa? Kamu sangat menyayangi Gemintang. Hubungan kalian enggak beda dengan hubunganku dengan Nanay. Yang membedakannya hanyalah ikatan darah di antara kita. Hanya saja, aku kecewa karena kamu tetap kurang tegas.” Bubu sengaja menjeda ucapannya. “Dan caramu yang begini, enggak hanya melukai orang-orang yang kamu sayangi, melainkan dirimu sendiri.” Dengan mata yang berkaca-kaca, Rean menatap Bubu. “Apakah Papahku telah menemui Nanay secara khusus?” Rean benar-benar tak kuasa menahan air mata berikut kesedihannya. Ia mengulumm bibirnya demi menghalaunya. “Ini di luar prediksi dan memang sangat tiba-tiba, Mas. Di lain sisi, aku beneran serius ke Nanay.” Rean berusaha meyakinkan. “Tapi pada kenyataannya, kamu enggak bisa melepas Gemintang begitu saja, kan?” balas Bubu cepat. Rean benar-benar tidak bisa menjawab. Ia menunduk depresi, merasa frustrasi dengan kenyataan yang harus dihadapi. “Putuskan secepatnya, sebelum telanjur terlambat,” tuntut Bubu. “Enggak bisa, Mas!” Rean menggeleng, menatap Bubu dengan sangat memohon. Bubu mendengkus, menatap Rean dengan tatapan miris. “Sampai mati pun, aku enggak akan biarin Nanay ada dalam hubungan tanpa kepastian, bahkan meski kemungkinan kamu menikahinya dalam hubungan berpoligami, bisa Nanay terima.” “Kalau Mas jadi aku?” Rean menatap Bubu dengan tatapan yang begitu tajam. Tak mau kalah, Bubu juga menatap Rean dengan tatapan tajam. “Lepaskan salah satu dan biarkan dia memiliki kebahagiaan dengan orang yang benar-benar tidak akan membagi hidup apalagi cintanya!” “Karena melepaskan dan membiarkannya bahagia bersama cinta lain, jauh lebih mulia daripada mempertahankannya dan membuatnya menahan banyak luka karena keegosisan kita!” tambah Bubu.  Balasan Bubu membuat Rean merasa tertampar. Rean bahkan kembali refleks tak berani menatap Bubu. “Sori, Rean. Kita memulai hubungan ini dengan baik-baik. Jadi tolong, jangan membuatku menjadi orang kurang ajaar hanya karena kamu enggak bisa nentuin keputusan.” “Sekarang, aku punya dua penawaran buat kamu. Penawaran pertama, kamu datang dan menemui orang tuaku, mengatakan keputusanmu dengan baik-baik. Atau, kamu enggak usah datang dan lebih baik menghilang untuk selama-lamanya dari kehidupan keluargaku, apalagi kehidupan Nanay!” Bubu masih menunggu tanggapan Rean. Namun bisa Bubu pastikan, Rean semakin gamang dan tak kuasa menentukan keputusan. “Aku tahu ini sangat berat. Namun jika kamu benar-benar mencintai Nanay maupun menyayangi Gemintang, melepaskan salah satu dari mereka merupakan keputusan yang terbaik. Apalagi selain di dunia ini enggak ada manusia yang bisa adil, melihatmu yang enggak bisa tegas saja aku semakin yakin, caramu akan semakin melukai Nanay maupun Gemintang. Dan melepas salah satu dari mereka, sepertinya memang keputusan paling tepat!” Bubu mengangguk-angguk sambil menatap Rean penuh keyakinan. Kemudian ia beranjak dan memanggil salah satu pelayan di sana untuk membayar minuman berikut makanan yang sudah ia habiskan. “Aku pergi dulu,” pamit Bubu yang benar-benar berlalu meninggalkan Rean. Terlalu takut melukai memang membuat Rean menjadi pria yang tidak bisa tegas. Dan seperti apa yang Bubu katakan, sekalipun Rean mencintai Nanay, Rean juga menyayangi Gemintang dan tak mungkin melepasnya begitu saja. **** “Gemintang, … dia wanita yang sangat baik. Tegar, bahkan saking tegarnya, Alloh terus kasih dia cobaan. Pertama, Alloh ambil Rain suami perta Gemintang. Ke dua, setelah susah payah meyakinkan Om Hans dan akhirnya Gemintang menikah dengan dokter Alex, Alloh juga kembali mengambil dokter Alex dari Gemintang. Dan sekarang, sepertinya Om Hans kembali memaksa Gemintang ….” Nanay menunduk lemas, selemas ucapan yang baru saja terlontar. “Jadi, kamu ikhlas, kalau Rean lebih memilih Gemintang?” tanya Bubu memastikan. Nanay yang duduk di kursi kerjanya, berangsur menatap Bubu yang berdiri di hadapannya. Mereka hanya dipisahkan oleh keberadaan meja kerja Nanay. “Memangnya, aku kelihatan sebaik itu, yah, Mas?” Nanay mengulumm kuat bibirnya seiring butiran air mata yang berjatuhan dari kedua matanya.  “Tentu. Bahkan kamu lebih baik dari itu. Kamu lebih dari semua yang orang-orang pikirkan, Nay!” Meski tak kuasa melihat Nanay terlihat sangat terluka, Bubu mencoba tetap menyemangati Nanay. Bukannya terhibur, balasan Bubu justru membuat Nanay semakin nelangsa. Nanay terisak-isak. Tangisnya pecah sedangkan kedua jemari tangannya menekap wajah demi meredam tangis berikut menyembunyikannya. Tanpa kembali berkomentar, Bubu memutari meja kerja Nanay. Ia merengkuh, mendekap kepala berikut tubuh Nanay, membiarkannya menumpahkan tangis berikut kesedihannya, dalam dekapannya. “Nanti kalau aku ketemu Mas Rean, aku harus gimana, Mas?” isak Nanay masih menyembunyikan wajahnya di d**a Bubu. “Ya jangan ngapa-ngapain. Biasa saja. Diem, seperlunya saja.” “Terus, kalau papah mamah tanya gimana? Aku sudah bikin mereka kecewa ....” “Bikin kecewa gimana? Justru mereka bakalan kecewa kalau kamu enggak bisa ambil sikap, sedangkan Rean juga enggak mungkin kasih kejelasan. Kita sama-sama tahu Rean seperti apa. Rean terlalu takut melukai. Dia memang sangat penyayang, tapi dia kurang tegas menurutku.” “Iya, Mas. Mas Rean orang yang terlalu baik. Mas Rean tipikal orang yang takut melukai. Mas Rean introvert parah.” “Terus, kita harus selalu memaklumi, padahal dia bisa saja berubah dan bisa menjadi sosok yang lebih baik? Nay ... seburuk apa pun keadaan kita, waktu yang berjalan selalu memberi kita kesempatan untuk menjadi lebih baik.” Nanay tak lagi berucap. Hanya isak tangis saja yang menyertai dan terdengar sangat pilu, menyakitkan. Karena seseorang menerobos masuk tanpa izin bahkan sekadar mengetuk pintu ruang kerja Nanay, kebersamaan Nanay dan Bubu pun terusik. Bubu dapati, yang datang tak lain Chen. “Ada yang meninggal, ya? Siapa? Kok kalian sampai segitunya? Bukan Mumu, kan?” Chen yang bertanya dengan nada datar, menatap Bubu penuh tanya. “Kok Mumu dibawa-bawa, sih?” Bubu terheran-heran tanpa mengakhiri dekapannya terhadap Nanay. “Dari semuanya kan, Mas Bubu paling sayang ke Mumu?” Chen balik bertanya.  Dengan langkah masih terseok dikarenakan kaki kanannya memang menjadi bermasalah akibat pengeroyokan yang dialami, Chen mendekati kebersamaan Bubu dan Nanay.  Bubu tak kuasa menjawab. Ia menghela napas sambil menggeleng tak habis pikir. “Kalau bukan Mumu, terus, kenapa kalian nangisnya kayak ada orang dekat yang meninggal?” tanya Chen lagi yang benar-benar penasaran. “Oh, iya, Nay. Ini berkas-berkas mengenai kerja sama hotel kita dengan perusahaan Rean. Baru kelar, selanjutnya, kamu yang urus, ya. Sama Rean, harusnya ini jadi proyek besar yang sakinah mawadah warohmah kayak hubungan kalian.” Chen meletakan berkas-berkas yang dimaksud, di tengah-tengah meja kerja Nanay. Tak hanya Nanay yang seketika terdiam, sebab Bubu yang mengetahui apa yang terjadi antara Nanay dan Rean juga menjadi merasa sangat gamang. “Kamu saja yang urus kerja sama itu!” titah Bubu sambil menatap Chen. Chen langsung mengangkat kedua tangannya. “Aku ya enggak ikut campur, Mas. Itu kan proyek Nanay sama Rean! Lagian, kenapa juga harus aku yang urus, sedangkan sebelumnya, Nanay sama Rean semangat paripurna urus semuanya?” Setelah sempat terdiam, Chen mendadak berpikir, alasan Bubu melempar proyek Nanay dan Rean kepadanya, berkaitan dengan kesedihan yang tengah berlangsung. “Jangan-jangan ... kalian ... kamu sama Rean ...? Putus, Nay?” tebak Chen tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia memelotot tak sabar menunggu tanggapan Nanay yang justru semakin menunduk. Di mana yang ada, berkas-berkas yang belum lama ia taruh di tengah-tengah meja kerja Nanay justru melayang, menghantam kepalanya, dan itu karena Bubu. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD