5. Sekretaris Ceriwis

1827 Words
Sudah dua hari ini pekerjaan Irawan sudah mulai normal lagi. Normal karena sudah tak ada lagi jadwal-jadwal pertemuan yang alot dengan rekan bisnis atau meeting berjam-jam di luar kantor atau bahkan luar kota. Beberapa hari ini Irawan hanya berkutat di kantor seharian dengan berkas-berkas yang perlu ia tandatangani, lalu pulang tepat waktu ke apartemen setelahnya. Baru saja merenggangkan kedua lengan ke atas kepala sambil menatap pemandangan menjelang sore kota Surabaya dari ketinggian. Ketenangan Irawan sedikit terusik dengan suara ketukan pelan dari balik pintu ruangan yang yang sengaja tak ia kunci. “Masuk." ucap Irawan mempersilahkan siapapun yang ada di balik pintu untuk menghadapnya. "Permisi Pak Irawan, saya Dimitri, Lead Project Architect di teamnya pak Yanuar." ucap pria tegap yang baru saja masuk ruangan Irawan. Di tangannya membawa tumpukan berkas juga tablet yang sebagian besar pegawai Galeea memang memilikinya untuk kepentingan pekerjaan. Irawan mengangguk lantas berkata. "Aaaah, Pak Dimitri yang ketemu di internal meeting minggu lalu kan?" "Iya Pak, dua minggu sebelumnya saya bertugas untuk memeriksa pembangunan pabrik di Bogor, jadi baru bisa ketemu minggu lalu." Pria yang memperkenalkan diri bernama Dimitri itu tersenyum ramah. "Silakan duduk dulu, Pak Dim. Silakan." seru Irawan langsung diangguki pegawainya. "Sudah oke semua laporan yang saya minta?" Irawan mengulurkan tangan saat Dimitri mengambil map kuning paling atas dan menyerahkannya pada sang atasan. “Sudah Pak, ini desain akhir yang sudah disetujui Bu Reni. Sedangkan yang di halaman kedua ada anggaran yang sudah dirancang Pak Yanuar." Dimitri memberi penjelasan. Irawan hanya menanggapinya dengan deheman singkat. Lalu sepasang matanya kembali fokus pada berkas yang sedang ia periksa. Galeea construction memang sedang bekerja sama dengan salah satu perusahaan farmasi ternama di tanah air. Semua pembangunan pabrik yang terletak di Bogor tendernya dimenangkan oleh Galeea. "Oke kalau gitu, terima kasih ya. Ini ditinggal di sini aja, sambil saya periksa. Nanti biar Andi yang antar ke ruangan Pak Yanuar." Titah Irawan lagi-lagi mendapat anggukan Dimitri. "Baik pak, saya permisi dulu kalau begitu." Pamit Dimitri saat bangkit berdiri. "Hmmm, silakan Pak Dim." Baru saja menggeser mundur kursi yang didudukinya, suara Irawan terdengar lagi. Membuat Dimitri menoleh pada Irawan yang sedang mengarahkan jari telunjuk ke map lain yang sedang Dimitri bawa. "Itu yang di dalam map orange, bukannya berkas dari PT. Esail juga?" tanya Irawan sembari mengerutkan kening. Dimitri menunduk sekilas untuk memeriksa berkas yang ia bawa. Khawatir kalau ada pekerjaan yang tertinggal untuk diserahkan pada orang nomor satu di Galeea construction itu. Namun, selang satu detik setelahnya, Dimitri patut merasa lega, karena map orange yang ditunjuk oleh Irawan bukanlah berkas yang dimaksud oleh sang boss. Melainkan berkas pengajuan cuti yang akan ia serahkan ke pihak HRD Galeea. "Ooh, yang ini bukan pak." jawab Dimitri mengangkat sekilas map berwarna orange ke udara. "Ini pengajuan cuti yang mau saya serahkan ke Mbak Rieke HRD. Kebetulan aja mapnya sama kayak berkas Esail. Tapi berkas dari Esail yang bapak minta sudah saya serahkan ke Mas Andi." sambungnya lagi lebih detail. "Ooh oke ... oke, nanti saya confirm lagi ke Andi. By the way, Pak Dim mau cuti ada kepentingan apa?" Menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, Dimitri mendadak kikuk saat ditanya oleh atasan barunya ini. Meskipun sepertinya usia mereka berdua tak terpaut jauh, mungkin Irawan hanya beberapa tahun di atasnya. Tapi tetap saja aura anak kedua dari Pak Sastro itu bisa membuatnya salah tingkah. "Hmmm, mau ijin menikah pak. Jadi sekalian ambil cuti tahunan yang belum pernah saya ambil sebelumnya." jawab Dimitri lantas meringis kaku. "Woow, congrats kalau begitu ya Pak. Selamat menempuh hidup baru." "Terima kasih banyak atas ucapannya, Pak. Masih dua bulan lagi rencananya, tapi mbak Rieke minta saya siapkan sekarang agar pekerjaan luar kota bisa oper ke yang lain." Irawan hanya manggut-manggut saja, masalah jatah ijin pegawai memang sudah ada bagian sendiri. Ia tak perlu ambil pusing tentang pekerjaan ini itu yang ditinggalkan pegawainya saat mengajukan hak nya tersebut. "Hmmm, oke. Silakan lanjutnya pekerjaan yang lain kalau begitu." pungkas Irawan dengan satu tangan terulur mempersilahkan Dimitri untuk keluar dari ruangannya. Setelah Dimitri menghilang dari balik pintu, Irawan kembali berkutat dengan berkas-berkas yang baru saja ia terima. Sedikit merasa kagum karena ternyata salah satu lead project yang Galeea miliki punya kemampuan yang tak perlu diragukan lagi di bidang konstruksi. Tak membutuhkan waktu lama, Irawan sudah selesai memeriksa desain akhir yang diajukan Dimitri. Melirik ke arah jam dinding di sebelah lemari berkas, masih menunjukkan pukul empat sore. Masih satu jam lagi menuju jam pulang sebenarnya, namun entah kenapa Irawan sudah merasa bosan berada di kantor hari ini. Menekan intercom yang terhubung ke meja kerja Andi, Irawan memutuskan untuk berpamitan saja pada sekretarisnya itu. “Ndi, cepet ke ruangan gue deh.” “Ckk, gue lag— hmm, baik pak.” jawab Andi dari seberang sana. Tak sampai lima belas menit, Andi sudah menghadap atasan rasa sahabatnya itu. “Iya, Pak.” “Ini berkas dari Pak Dimitri tadi sudah saya periksa dan tanda tangani. Habis ini antarkan ke ruangan Pak Yanuar.” titah Irawan lantas menumpuk map terakhir di tumpukan paling atas. “Berkas yang lain nanti diambil kepala divisi ke meja kamu.” pungkas Irawan lagi lantas bangkit berdiri dan memasang kancing jasnya. “Baik, laksanakan Pak.” angguk Andi lagi patuh. “Hari ini nggak ada telepon dari Mama, Ndi?” Irawan akhirnya menanyakan hal yang sedari tadi mengganggu benaknya. “Seingat saya tidak ada telepon dari Ibu, Pak.” “Ckk, tumben Mama nggak rewel minta anter ke salon lagi ya?” gumam Irawan seolah berbicara pada dirinya sendiri. Namun ternyata suara lirih gumaman sang boss tetap bisa terjaring telinga Andi. “Sekarang masih hari Rabu, Bos. Ibu biasanya menelpon minta anter ke salon antara hari Kamis atau Jumat.” sahut Andi cekatan sambil menggeser jemarinya di atas layar tablet yang selalu ia bawa setiap kali beredar di dekat Irawan. Masih ingat kan kalau Irawan pernah bilang, meskipun usia Andi di bawahnya. Kerjanya yang cekatan serta daya ingatnya yang luar biasa selalu membuat Irawan enggan untuk mempekerjaan orang lain menjadi sekretarisnya. Bahkan Rossie, sekertaris kepercayaan sang ayah, tak bisa menarik simpati Irawan dengan hasil kerjanya. Sehingga kini Rossie ia tempatkan di kantor cabang Galeea yang ada di Malang. Memimpin cabang yang baru satu tahun terakhir ini didirikan di kota tersebut. “Aah, iya bener juga.” Irawan menyugar rambut hitamnya. Mengerutkan kening samar, Andi lantas mengemukakan rasa penasarannya lagi. “Hmm … maaf, tumbenan malah nunggu digangguin Ibu Sastro, Bos? Bukannya … biasanya Pak Awan malah mengeluh kalau Ibu menelpon hanya untuk meminta diantar jalan-jalan.” “Kalo minta anter ke salon yang kapan hari itu, gue nggak akan ngeluh lagi, Ndi,” jawab Irawan lantas sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Badan tegapnya berbalik, lagi-lagi menatap lepas ke arah langit Surabaya yang menampakkan semburat jingga yang begitu indah sore ini. “Eh, maksudnya gimana ya Bos?” kejar Andi mulai merasa ada yang berbeda dengan nada bicara Irawan. Atasannya yang biasanya kaku dan cenderung pendiam ini, malah mendadak tersenyum hingga menunduk beberapa saat yang lalu. “Kalau Mama minta anter ke salon itu lagi, gue pasti mau. Nggak akan nolak. Kalau perlu, kamu harus atur pengingat tersendiri, biar kalau mama lupa, kamu bisa cepet-cepet ingatkan beliau dengan jadwal perawatannya.” titah Irawan saat berbalik lagi. Mengambil ponsel dan kunci mobil di atas meja, pria jangkung itu mengambil langkah untuk meninggalkan ruangannya. “Pak boss mau ikut Ibu perawatan di salon gitu maksudnya? luluran? maskeran? totok wajah? ear candle? atau manicure pedicure? Astaga Pak Bos, saya baru tau ini kalau Pak Boss selama suka ikut Ibu perawatan kayak gitu.” runut Andi membuat Irawan menghentikan langkah dan menatap tajam padanya seketika. “Ndi.” ujar Irawan dengan suara tegas dan sangat mengintimidasi. Sebenarnya tak terlalu ada yang salah dengan ucapan Andi. Irawan pun tak pernah luput memperhatikan penampilannya selama ini. Melakukan perawatan wajah juga. Tapi tak sampai pergi ke salon atau klinik kecantikan. Karena sang mama selalu menyediakan banyak stok masker wajah, pembersih wajah hingga pelembab wajah khusus laki-laki di kamar apartemennya. Andi yang sadar kalau ia telah salah bicara, langsung mengatupkan bibir. Menahan senyum samar sambil mundur beberapa langkah guna memberi jalan pada atasannya yang akan lewat. “Maaf Pak, ampun.” jawab Andi masih susah payah menahan kekehannya. Melangkahkan kaki ke arah pintu, lagi-lagi langkah Irawan terhenti dan berbalik menatap sekretarisnya. “Ahh, gue jadi ingat satu hal, Ndi.” “Iya Pak? hal apa?” “Tolong cari tau tentang seseorang.” Irawan berjalan mendekat lagi pada Andi. “Siap Pak Boss. Tinggal sebutkan saja siapa namanya, jadi saya bisa langsung gerak cepat.” komentar Andi penuh keyakinan. Pemuda itu begitu percaya diri karena memang selama ini dirinya tak pernah salah dalam mencari tahu akan sesuatu yang di tugaskan langsung oleh Irawan. Irawan menarik kursi di depan meja kerjanya, lantas kembali duduk di sana setelah mengambil benda pipih dari saku celana. “Gue mau minta tolong elo, buat cari tau tentang seseorang yang pernah gue lihat.” “Siap, cari tau tentang siapa saja saya siap, Pak. Rekan bisnis Pak Bos? atau saingan Galeea?” Irawan menggeleng pelan seraya tersenyum sangat tipis. “Bukan.” “Lalu pak?” “I met someone, that stole something from me.” sambung Irawan masih sangat tenang. Di layar gawainya, ia sengaja membuka laman social media milik salah satu salon yang dikunjungi sang ibu beberapa waktu lalu. “Apa Boss!?” pekik Andi membuat Irawan memutar bola matanya jengah. Meski pintar dan cekatan, sekretarisnya ini memang punya satu kekurangan yang kadang membuat Irawan sebal. Apalagi kalau bukan sifat berlebihan Andi dalam menanggapi sesuatu. “Pak Bos kecolongan apa? bagaimana bisa? duuh! gimana sih kerjanya Ghidan, kok bisa nggak becus banget jadi pengawal bayangan. Sampe Boss sendiri bisa kecolongan sesuatu. Kecolongan apa Pak Boss?” Andi belum juga berhenti mewawancarai Irawan yang kini nampak pening hingga memijit pelipisnya pelan. “Astaga..!! Kadang gue lupa kalo elo kadang bisa lebay gini, Ndi.” sela Irawan menggeleng pasrah. “Maaf Pak Boss, saya hanya gak habis pikir saja, seorang Pak Irawan Dwisastro bisa kecolongan sesuatu. Padahal setiap kemana-mana selalu ada Ghidan yang menjadi pengawal meski dari radius beberapa meter.” Andai tak berada di kantor dan melepaskan semua sikap formalnya, pasti Irawan sudah habis menjitak kepala sekretarisnya yang selalu menyela kalimatnya. “Bukan mencuri barang atau apa maksud gue Ndi.” desah Irawan hampir membatalkan niat memberi tugas khusus pada Andi. “Terus apa Pak Boss? Pak Boss yang jelas kalau kasih clue.” “Elonya juga yang nyela terus dari tadi, oon.” Mengatupkan bibir dan menutupnya dengan satu tangan, Andi kembali bungkam dan meringis. “Eh, iya maaf, tadi cuma refleks. Monggo lanjut, Pak.” Menghela napas panjang, akhirnya Irawan melanjutkan kalimatnya. “Dia nyuri perhatian gue, sejak pertama kali bertemu, Ndi. Namanya Fa—” “Jangan bilang kalau Pak Boss jatuh hati sama pegawai salon langganann Bu Sastro.” gunting Andi tak sabaran seraya mengacungkan jari telunjuknya ke udara. “Astaga!! Elo pengen cepet-cepet dipecat atau gimana sih!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD