9. Kehilangan Jejak

1818 Words
Sudah hampir lima belas menit berlalu, Irawan Masih berdiri terpaku di depan walk in closet di dalam kamar apartemennya. Pria itu nampak kebingungan saat sedang menimbang harus menggunakan pakaian yang manakah hari ini. Andai ponselnya tak berdering kencang, mungkin pria tampan itu masih saja setia dengan lamunannya. Meraih ponselnya dalam satu gerakan mantap, Irawan dibuat mengernyit dengan pesan singkat dari Andi yang mengingatkan tentang jadwalnya hari ini. Tak begitu sibuk sebenarnya hanya ada satu agenda dengan salah satu petinggi Bank swasta di Surabaya. Andi : Harap ingat kalau jam sembilan pas ada meeting sama Dirut Bank MLV di Gayungan, Bos. Jangan jadwal Ibu ke salon aja yang jadi prioritas setiap hari kamis! Ketikan Andi dalam pesan singkatnya membuat Irawan tersenyum tiga jari. Selain para direksi, memang cuma Andi yang bisa berkelakuan santai pada atasannya yang satu ini. Irawan : Oke. Gue langsung ke Gayungan kalau gitu. Kita langsung ketemu di sana setengah sembilan. Masih melengkungkan senyum, Irawan meletakkan asal ponselnya ke salah satu kursi di sudut ruangan. Suasana hatinya memang sedang cerah ceria lagi ini, jadi ia takkan mengomeli sekretarisnya seperti yang sudah-sudah. Salah satu yang menjadi alasan cerianya pria itu hari ini tentu saja karena ia akan menjadi supir sang mama lagi menuju Dimaya salon. Tempat yang belakangan menjadi destinasi favoritnya. Tak hanya sang mama, karena Hanami juga akan mengajak serta Yema nanti sore. Sudah dua kali Irawan bisa bertemu dengan Fawnia lagi sejak absennya ia mengantarkan sang mama beberapa waktu lalu. Meski hanya bisa saling melempar tatapan, atau sekedar bersapa saat mengantar dan menjemput Hanami, Irawan sudah merasa berbunga-bunga sekali. Namun berbeda dengan hari ini, karena nanti sore Irawan bertekad akan memberanikan diri untuk mengajak berbincang gadis itu, bahkan kalau bisa mulai mendekatinya. Ratusan menit berlalu, hingga mendekati pukul dua siang, Andi kembali dibuat geleng-geleng kepala karena sudah tak bisa menemukan sang atasan di ruang kerjanya. Padahal hanya Andi tinggal sebentar untuk merapikan berkas ke ruang data yang tak begitu jauh dari ruangan Irawan. Saat kembali ke mejanya, Andi hanya menemukan note kecil yang berisikan tulisan tangan Irawan yang begitu ia kenal. “Gue pulang, HP gue silent. Do not disturb!" titah Irawan dalam note yang tertempel di ujung layar monitor milik Andi. "Bos mah bebas ya, apalah gue yang hanya kacung cuma bisa ngikut." gerutu Andi pada diri sendiri. Di lain tempat, Irawan baru saja mendapatkan parkir di deretan depan ruko tempat Dimaya salon berada. Sore ini pengunjung cukup ramai, jadi tak heran jika Irawan sedikit kesusahan menemukan slot parkir yang kosong. "Mama turun dulu ya, kamu balik kantor aja nggak apa kalau emang gak dapet tempat parkir. Nanti Mama telpon kalau Mama udah selesai creambath dan ear candle." Hanami mengibaskan tmsatu tangannya saat baru saja turun dari mobil tepat di depan sepasang pintu kaca Dimaya salon. "No, aku tungguin aja, Ma. Kerjaanki di kantor udah kelar kok. Biar gak bolak-balik di jalan, macet juga, lebih hemat waktu kalau sekalian aku tungguin sampe selesai kan?" Memang hemat waktu sih tapi bukan itu alasan Irawan yang sebenarnya. Bukan tentang lelahnya bolak-balik di perjalanan yang membuang tenaga, namun ia akan kehilangan kesempatan untuk bersemuka dengan Fawnianya jika memutuskan untuk kembali ke kantor bukan? "Ya udah deh terserah, sana cari tempat parkir dulu." seru Hanami lantas berbalik badan. Seorang petugas security sudah sigap membukakan pintu kaca untuk perempuan paruh baya energik itu. Irawan mengulas senyum simpul saat dengan terpaksa harus menurunkan dulu sang Mama di depan salon, kemudian ia kembali memutar kemudi mobil untuk mengambil tempat parkir paling ujung. Senyum ramah dari tukang parkir ruko membuat Irawan tertular untuk tersenyum juga. Pun dekikian saat ia sudah ada di depan pintu salon yang langsung dibukakan oleh pegawai di sana. "Silakan Pak, nemenin ibu Sastro." seru seorang pemuda dengan seragam safari berwarna biru tua yang ternyata juga sudah sangat hafal dengan jadwal rutin sang mama yang datang satu atau dua minggu sekali ke tempat ini. Menunduk dan membalas senyumnya, Irawan lantas melangkah ke ruang tunggu luas yang sengaja di sediakan di bagian depan. Area yang dibuat begitu nyaman sehingga para 'penunggu' pengunjung salon tak merasa kebosanan. Pria itu menemukan sosok sang ibu tengah berada di bagian resepsionis. Menyelesaikan proses registrasi atau entahlah apa itu namanya saat beliau memilih jenis perawatan apa saja yang akan ia ambil hari ini. Sampai satu suara renyah dan anggun menyita indera pendengaran Irawan, hingga pria itu memasang atensi maksimal pada si pemilik suara tersebut. Fawnia ... Afsheen, yang sangat manis tanpa rasa asin. "Eeh, Bu Sastro udah datang." sambut perempuan dengan rambut sehitam jelaga tersebut. Hanami menoleh dan tersenyum lebar saat mendapati namanya disebut oleh pemilik salon. "Eeh, iya dong nak Fawfaw, selalu sesuai jadwal." balas Hanami. Fawnia yang sudah berjarak satu dua langkah di depan Hanami langsung membungkuk untuk mengecup punggung tangan Hanami dengan penuh takzim. Pemandangan santun yang beberapa Minggu ini menjadi candu tersendiri di mata Irawan. Andai bisa, pria itu pasti rela menukar apapun untuk menyaksikan adegan sederhana namun penuh makna itu setiap hari. "Sendirian aja Ibu?" tanya gadis manis bernama Fawnia itu. "Kali ini sama sepupu saya lagi, mungkin masih di jalan. Bentar lagi nyusul." "Bu Yema?" tebak Fawnia ternyata juga menghafal nama tante dari Irawan tersebut. "Iya betul, sekutu Ibu kemana-mana beliau itu, Nak Faw." imbuh Hanami lantas terkekeh. "Silakan langsung perawatan sama anak-anak ya, Bu. Ada Nanda juga yang akan handle nantinya." seru perempuan cantik yang sudah mengamit tas tangan berwarna hitamnya itu di lengan sebelah kiri. Seakan siap untuk pergi entah kemana. "Lho, Nak Fawfaw mau pergi ke mana emangnya?" tanya seolah mewakili rasa penasaran Irawan yang masih duduk terpekur kehilangan kata-kata karena terpana dengan pesona Fawnia. "Saya mau pulang dulu Bu, ada acara di rumah. Jadi di salon cuma bisa setengah hari gini." jawab Fawnia masih dengan lengkung senyumnya. Irawan yang semula menegakkan punggung dan memasang pendengaran sangat fokus tiba-tiba saja merasa kecewa karena kesempatannya untuk mendekati si pemilik salon akan berakhir sia-sia. Jadi sebelum Fawnia melangkah pergi, Irawan beranjak bangkit dari sofa tempatnya duduk untuk mendekatkan dua perempuan beda usia yang sedang berbincang itu. "Kenapa Ma?" tanya Amar membuat Hanami menoleh dan mengernyitkan keningnya tak paham dengan pertanyaan sang putra yang mendadak sudah berdiri di belakang punggungnya. "Eh, Mas Awan." Hanami mengerjap pelan. "Nggak apa-apa kok, ini lho cuma Nak Faw yang mau pamitan pulang. Padahal biasanya nemenin Mama sama tantemu perawatan sambil ngobrol ngalor ngidul." sambung Hanami melirik sekilas pada Fawnia yang mengangguk sekilas pada Irawan. “Iya,” entah kenapa hanya satu kosa kata singkat itu yang justru keluar dari mulut seorang Irawan Dwisastro. Fawnia hanya tersenyum ramah sambil mengangguk sekali sebagai jawaban. “Pulang?” lantas hanya ini kata kedua yang mampu Irawan suarakan di depan gadis cantik yang belakangan ini rajin sekali mengusik hatinya. “Iya pulang.” tegas Fawnia masih belum paham kenapa putra dari pelanggannya ini tiba-tiba mengajak bicara. “Permisi dulu kalau begitu ya, sepertinya sudah dijemput di depan.” pamit Fawnia selang beberapa detik setelahnya. “Mari Bu, Mas.” tatapan keduanya kembali bertemu untuk beberapa detik. Hitungan yang sangat singkat untuk efek luar biasa yang ditimbulkan dalam hati Irawan. “Dijemput? la- la- langitnya mendung.” tanpa sadar Irawan mengekor saja di belakang Fawnia begitu sang mama menuju ruang perawatan di balik tempat resepsionis. “Eh, Mas.” Fawnia menoleh dan mengerjap bingung. “Iya, dijemput kakak saya, semoga gak kena macet karena sudah gerimis gini.” lanjut Fawnia menengadahkan kepala menatap langit Surabaya yang mulai mendung gelap. “Sa- say- saya Awan, Irawan.” dengan gerakan kikuk yang sangat kentara Irawan mengulurkan tangan kanannya yang sedikit bergetar memalukan. Fawnia paham, lantas tersenyum saat menyambut uluran tangan dari lelaki jangkung yang sudah berdiri di sampingnya saat menunggu di depan salon. “Saya Fawnia.” jawabnya singkat. “BANG!! Di sini.” Fawnia mendadak berteriak sambil melambaikan satu tangannya ke arah mobil sedan yang hendak berbelok di tempat masuk ruko. “Maaf, saya duluan ya, Mas. Sudah dijemput.” pamit Fawnia lantas berjalan cepat menuju mobil berwarna hitam sambil menutupi puncak kepalanya dengan kedua telapak tangan. Menghalau rintik hujan yang mulai turun satu persatu. Irawan hanya bisa mendebas pelan. Merasa sedikit kecewa dan menyesal karena ternyata hanya beberapa kata diselilingi gagap memalukan yang bisa ia keluarkan saat berdiri dekat dengan gadis yang membuat ribut hatinya itu. Awalnya Irawan kira, minggu-minggu berikutnya ia bisa memperbaiki keadaan. Berkenalan dengan benar atau memulai pembicaraan lebih lama misalnya. Namun yang didapatkan lelaki tampan itu hanya kealpaan semata, Fawnia tak menampakkan batang hidungnya hampir tiga minggu ini. Membuat pertanyaan dan rasa penasaran Irawan semakin bertumpuk. “Katanya sih Nak Fawfaw cuti lama soalnya ada acara keluarga.” Begitu jawaban sang mama saat Irawan mulai memancing obrolan tentang kegiatan beliau di salon. Perempuan setengah baya itu tak menaruh curiga, tak pernah bertanya aneh-aneh juga tentang ketertarikan sang putra pada Dimaya salon ataupun pegawainya. Mungkin bosan juga, atau memang karena Hanami belakangan ini disibukkan dengan pembangunan panti asuhan di sekitar Tandes. Hampir satu bulan tak melihat ataupun mendengar kabar tentang Fawnia, ternyata mampu mengacaukan pikiran Irawan. Bahkan sekretarisnya sampai beberapa kali turun tangan karena ada saja pekerjaan bosnya yang kurang teliti. “Bos, kolom tanda tangannya di sini, bukan yang sebelah kanan ini. Ini mah kolom buat tanggal. Gimana sih? Harus ngeprint dan minta tanda tangan ulang dong ke Bu Salma.” gerutu Anda pada suatu siang. Pria itu langsung menerobos masuk saja ke dalam ruangan Irawan saat pria itu sedang fokus menatap layar ponsel, sedang mencari tau tentang Fawnia lewat social media milik Dimaya salon. “Ya udah print ulang, tanda tangan ulang juga ke Bu Salma. Nanti bawa lagi ke gue.” jawab Irawan malas, bahkan tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel yang ia genggam. “Ckk, Bos!” decak Andi melesakkan bokongnya duduk di depan Irawan, lantas memijit pelipisnya dengan satu tangan. “Hmm..” “Bu Salma tadi pagi udah terbang ke Malaysia loh.” “Ya udah, kejar. Malaysia doang, deket, Andi.” balas Irawan masih tampak tak terganggu. "Oke, gini aja.” Andi menghembuskan napas kasar lantas mengetukkan jemarinya ke atas meja untuk mendapatkan perhatian dari Irawan. ”Cerita ke gue ada apa? daripada kerjaan lo nggak ada yang beres. Gue sama anak-anak divisi lain jadinya yang kena, jadi ngulang-ngulang lagi pekerjaan yang sama karena elo nggak teliti. I'm talking as your friend, anyway." Andi memperjelas lagi kalimatnya. Menyadari kalau perkataannya yang menggebu-gebu barusan terlalu tak sopan jika dilontarkan oleh bawahan pada atasannya. Menatap tajam ke arah Andi, akhirnya Irawan menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Menyadari kalau pikirannya yang tertuju hanya pada Fawnia sudah menimbulkan beberapa kekacauan. “Cari tau tentang seseorang.” seru Irawan akhirnya menyerah setelah kehilangan jejak gadis incarannya. “Lagi?” “Ini orang yang dulu itu.” Irawan memutar kursinya sehingga membelakangi Andi. Lebih baik ia melemparkan tatapannya ke hamparan langit Surabaya dari pada raut wajahnya tertebak dengan mudah oleh sekretarisnya sendiri. “Langsung sebut nama aja, nggak usah kelamaan cincong.” balas Andi langsung mengeluarkan ponsel. “Fawnia. Fawnia Afsheen.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD