3. Depan Indomaret

1777 Words
“Della?” “Mbak Della, Hallooow?” “Della, sadar woy!” “Ardella Ayuning Putri!” . “Eh iya? Apa? Ada apa?” Mataku langsung mengerjap dan menatap sekeliling begitu sadar kalau aku sudah melamun terlalu lama. Leni, Juni, Reno, juga Bang Gani, sedang mengerubungiku dengan tatapan yang hampir sama. “Apa? Aku kenapa?” Satu toyoran pelan ala Bang Gani meluncur di kepalaku. “Sayangku Ardella, kamu sehat?” Kali ini Reno dengan seenak jidat menyentuh keningku. “Ya sehat, lah. Kalian kenapa, sih?” “Mbak Della tuh, yang kenapa. Ngelamun terooos! Dipanggil-panggil enggak nyahut sama sekali.” Juni geleng-geleng kepala sambil menatapku heran. “Eee, maaf-maaf. Aku cuma lagi kepikiran deadline kerjaan.” Bohong. Iya, aku jelas lagi bohong. “Mikirin deadline kerjaan apa mikirin calon Pak Bos yang habis ngajak kenalan?” Leni memutar bola mata malas. “Iya, ngaku, Mbak! Ecie, yang habis diajak kenalan sama Pak Razan.”Juni malah ikut-ikutan. “Udah ah, bubar-bubar. Kerja.” Aku mengibaskan tangan agar Juni, Bang Gani, dan Reno kembali ke meja masing-masing. Kalau Leni sih memang dari tadi dia duduk di mejanya. “Yang penting jangan sampai kesambet aja kalau kebanyakan melamun,” seloroh Bang Gani sambil berlalu. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Tidak tahu kenapa, aku jadi tidak konsentrasi kerja gara-gara insiden kenalan mendadak yang membuat banyak karyawan langsung bisik-bisik ketika melihatku. “Dell,” Leni menyenggol lenganku pelan. “Apa?” “Kamu utang cerita loh, ya?" “Cerita apa?” “Ya Pak Razan, lah. Enggak mungkin Pak Razan tiba-tiba ngajak kenalan kamu kalau sebelumnya kalian belum pernah ketemu dan terjadi sesuatu.” “Sesuatu apa sih, Len? ‘Kan aku udah bilang kalau kami ketemu di indomaret dan aku enggak sengaja numpahin kopinya.” Mata Leni menyipit. “Masa itu doang? Enggak percaya, aku.” “Ya udah kalau nggak percaya. Enggak maksa.” “Della ih, gitu ya sekarang. Main rahasia-rahasian.” “Aku serius loh, Len.” Aku tidak mungkin bilang Leni kalau aku sama Razan- eh maksudku Pak Razan- pernah tidak sengaja ciuman terus tanganku reflek menamparnya. Bisa-bisa aku digorok sama dia. Secara, sejak hari ini Leni sudah meresmikan diri menjadi fans berat laki-laki itu. “Ya udah, awas aja kalau kamu nyembunyiin sesuatu. Lain waktu kalau sampai ketahuan, hukumannya kamu harus traktir aku makan siang tiap hari selama satu bulan.” “Ogah banget! Bangkrut, dong!” “Berarti bener kan, kamu nyembunyiin sesuatu? Kalau bilang sekarang aku enggak jadi minta ditraktir makan sebulan.” “Eee, ya enggak gitu juga.” “Ya udah, pokoknya itu tadi. Awas aja kalau bohong.” Kami diam. Leni kembali fokus pada laptop di depannya, sementara aku kembali fokus dengan rekapan laporan yang harus aku revisi secepatnya. Belum ada lima baris aku membaca isi laporan, bayangan Pak Razan tadi siang kembali memenuhi otakku. Itu laki-laki nekat betul mengajakku kenalan di saat ada banyak karyawan. Imbasnya, cuma aku yang kena. Tadi saja, ketika aku lewat lorong menuju kamar mandi, banyak karyawan bisik-bisik begitu melihatku. Terutama karyawan perempuan. Mata mereka seperti siap menghujaniku dengan pisau silet. Aku yakin sekali, mulai hari ini laki-laki itu akan punya banyak fans di kantor ini termasuk aku— eh ralat... termasuk Leni maksudku. “Kamu enggak ada lembur kan, Dell? Habis ini langsung pulang?” tanya Leni setelah mematikan laptopnya. Aku melirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima lebih beberapa menit. “Iya, aku habis ini langsung pulang.” “Ya udah, yuk!” Setelah membereskan meja kerja dan berpamitan pada Juni, Reno, dan Bang Gani yang masih sibuk dengan laptop mereka, aku dan Leni langsung melenggang keluar dari ruangan. “Kamu pulang naik apa, Dell?” “Motor. Dimas udah dibeliin motor baru sama Ayah, jadi aku bisa pakai motorku lagi.” “Bagus lah, daripada harus bermacet ria naik Trans jogja. Apalagi sore begini.” “Yes, betul. Rasanya udah pengen cepet sampai rumah terus mandi habis itu istirahat. Apalagi besok weekend, aku bisa bangun siang. Wuhuuu....” membayangkan saja sudah membuatku senang. Begitu kami sampai di halaman kantor, tiba-tiba Leni menahan tanganku agar berhenti. Aku melirik ke arahnya dan mengikuti arah tatapan matanya. Aku melihat Rere sedang berdiri di samping mobil merah menyala yang sudah sangat kuhafal siapa pemiliknya. Mataku memanas ketika pemilik mobil itu keluar dan menggandeng tangan Rere. Ya, dia Radit. Mantan pacarku satu-satunya. “Dell, kamu baik-baik aja?” Leni lagi-lagi bertanya. “Baik-baik aja, lah. Kenapa, emang? Dia udah bukan siapa-siapaku lagi.” Kali ini aku menarik tangan Leni untuk segera berjalan ke parkiran yang ada di samping gedung. “Della,” langkahku terhenti ketika mendengar suara itu, suara yang sudah hampir satu bulan ini tidak pernah kudengar lagi. “Eh iya, Dit, kamu manggil aku?” aku menjawab sok tegar. Padahal rasanya udah pengen nangis waktu lihat tangan Radit menggandeng tangan Rere. “Apa kabar?” Tepat ketika Radit menanyakan kabarku, aku melihat laki-laki itu— duh, maksudku Pak Razan—keluar kantor bersama Pak Romi. Mampus aku, jangan sampai Pak Razan tahu kalau laki-laki di depanku ini adalah mantanku yang ketahuan selingkuh. Ekor mataku masih memperhatikan Pak Razan yang sepertinya tak sadar dengan keberadaan kami berempat. Sana pergi, cepat, jangan nengok sini! “Della?” “Eh iya. Aku ba—“ “Heh kunyuk! Berani-beraninya ya lo, tanya kabar Della! Apa peduli lo? Urus aja tuh selingkuhan lo. Langgeng ya kalian! Yuk, Dell!” Leni serta merta menarik tanganku untuk menjauh. Karena suara Leni cukup keras, Pak Razan menoleh ke arah kami. Aku terseok-seok mengimbangi langkah Leni yang terlalu cepat. Tampaknya, daripada aku sendiri, Leni terlihat lebih geram dengan sejoli pengkhianat itu. “Mari, Pak...” sapa Leni sopan ketika kami melewati Pak Razan dan Pak Romi. Aku hanya menundukkan kepala tak berani menampakkan wajah. Satu air mataku lolos begitu saja setelah sampai parkiran. Leni yang menyadari itu langsung memelukku sejenak lalu menenangkan. “Nggak ada gunanya kamu nangisin Radit, Dell.” “Aku cuma masih nggak nyangka aja Radit bisa sekejam itu sampai berani bergandengan tangan dengan Rere di depanku. Dia jelas tahu aku dan Rere dulu sahabatan.” Air mataku semakin deras dan Leni harus merelakan sapu tangannya. Meski sudah satu bulan sejak pertama kali aku tahu kalau mereka selingkuh, tapi hatiku masih sakit jika mengingatnya. Aku bukannya masih mengharapkan Radit, sama sekali bukan. Aku hanya terlalu sakit hati melihat mantan pacar dan mantan sahabat terlihat bahagia di atas penderitaanku. Aku sangat marah sampai yang keluar justru air mata. Saat ini aku hanya sedang menahan diri untuk tidak mencakar wajah mereka berdua. Radit dan Rere memang sangat keterlaluan! *** “Hati-hati, Dell,” ucap Bulek Tiyas begitu aku menyalakan motor untuk segera pulang. “Iya, Bulek. Makasih buat kuenya.” “Sama-sama.” Setelah keluar dari pekarangan rumah Bulek Tiyas, aku mengendarai motor dengan kecepatan agak tinggi karena jalan sekitar rumah beliau selalu sepi dan tidak ada polisi tidur. Baru setelah mendekati jalan raya, aku mengurangi kecepatan karena kondisi jalan mulai ramai. Sebelum pulang, aku turun di indomaret point untuk membeli air mineral dan pembalut untuk persediaan. Sama sekalian aku mau duduk-duduk sambil wifian. Maklum, wifi di rumahku sedang error karena Dimas yang sok-sokan otak-atik kabel. “Makasih, Mbak.” Aku menerima uang kembalian lalu keluar mencari tempat duduk yang masih tersisa. Aku membuka air mineral yang aku beli lalu menegaknya sampai tersisa setengah. Aku menatap lurus ke depan menikmati lalu lalang kendaraan di jalan raya. Indomaret ini terletak dekat dengan salah satu universitas besar di Yogyakarta, jadi aku tak heran kalau tempatnya hampir selalu penuh. Baru saja aku hendak meneguk air minumku lagi, tiba-tiba seseorang meletakkan satu gelas kopi instan di meja yang ada di depanku. “Pak Razan?!” Mataku melebar tak percaya melihat siapa yang saat ini sedang menarik kursi lalu bergabung di mejaku. Aku reflek menoleh kanan kiri untuk memastikan apa hanya kursi di depanku yang tersisa sampai Anak Pak Bos satu ini mau-maunya duduk semeja denganku. Ternyata enggak, masih ada beberapa kursi yang kosong! “Kopi...” dia mendorong satu gelas kopi panas ke arahku. “Itu buat kamu, gratis.” “E-eh, iya, Pak. Terimakasih. Harusnya saya yang beliin Bapak kopi.” Aku meringis sambil menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. Sumpah, ini canggung banget! “Enggak suka kopi?” tanyanya ketika aku tak kunjung menyentuh kopi yang dia berikan. “Oh suka kok, Pak, suka.” Aku buru-buru meminumnya. “Ah panas, panas, panas!” Lidahku otomatis terjulur keluar karena tak siap dengan panasnya air kopi. “Ini minum.” Pak Razan membuka tutup botol air mineral miliknya lalu menyodorkannya padaku. “E-enggak usah, Pak, saya ada, kok.” Aku meraih air mineralku lalu meminumnya sampai habis. Sesekali aku mengipasi lidah karena panasnya tak kunjung hilang. Hening. “Oh iya pak, saya mau minta maaf soal tamparan saya malam itu. Maaf banget!” Aku menangkupkan kedua telapak tangan lalu menunduk dalam-dalam. “Jangan pecat saya, loh, Pak.” Tidak ada sahutan. Aku menegakkan badanku kembali. “Ya, Pak, ya? Saya reflek soalnya.” Kuberanikan menatap wajahnya. Benar kata Leni, wajahnya sungguh surgawi. “Nanti saya pikir-pikir dulu.” Dia menjawab santai tanpa menatapku. “Ya ampun, Pak, kan itu namanya reflek. Posisinya saya lagi kaget.” “Seumur-umur baru pertama kali saya ditampar perempuan.” “Seumur-umur baru pertama kali juga saya dicium laki-laki—” “Uhuk-uhuk!” Tiba-tiba Pak Razan tersedak. Dia buru-buru mengambil air mineral lalu meminumnya. Wajahnya seketika terlihat merah padam. Entah karena efek tersedak atau karena ucapanku barusan. “Saya pulang dulu.” Pak Razan tiba-tiba berdiri dan langsung meninggalkanku. “Pak, bentar, dong... Saya dimaafin enggak, ini?” Aku ikut berdiri lalu mengejarnya. Namun, karena dia balik badan lalu berhenti mendadak, aku tak sengaja menubruknya. Seketika itu, plastik belanjaan yang aku bawa langsung jatuh sehingga beberapa isinya keluar. Mataku membulat sempurna ketika benda kotak yang tadi aku beli menggelinding tepat di sebelah kakinya. “Jangan, Pak! Jangan diamb—il.” Telat, benda itu sudah ada di tangan Pak Razan. “Tiga puluh lima senti meter? Panjang juga, ya?” Wajahku seketika memanas. Bisa-bisanya benda pribadi seperti itu ada ditangan laki-laki? Terlebih lagi, laki-laki itu adalah Pak Razan? “Ini tidak kepanjangan di kamu?” tanyanya dengan wajah polos seperti benar-benar tidak tahu apa-apa. “Kepanjangan atau tidak itu bukan urusan Bapak, ya! Bawa sini!” Aku segera merebut benda itu lalu ngacir menuju motor kemudian pergi tanpa pamit. APA SELAIN INI ENGGAK ADA YANG LEBIH MEMALUKAN LAGI? “Ibu, aku pengen nendang laki-laki itu ke kutub selatan biar dia enggak bisa pulang. Aku enggak mau ketemu dia lagi!” Aku berteriak tertahan di sela-sela perjalanan pulang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD