Maya membuka mata. Seluruh tubuhnya terasa sakit.
"Aku dimana?" Maya bergumam pelan.
"Alhamdulillah, Non Maia sudah sadar."
Maya menolehkan kepala. Meski terasa sakit, tapi ia paksakan.
"Ibu siapa?" Maya bertanya dengan suara lirih pada wanita tua yang berdiri di sisi tempat tidurnya.
"Non tidak ingat saya?" Tatapan wanita itu tertuju ke wajah Maya.
"Saya tidak tahu Ibu siapa."
"Saya Bik Isti. Pengasuh Non dari kecil."
"Pengasuh?"
"Ya Allah. Non benar-benar lupa."
Wanita tua itu berjalan cepat menuju pintu.
"Pak! Pak!"
Maya mendengar wanita itu memanggil seseorang. Seorang pria tua masuk bersama wanita itu.
"Non Maia tidak mengenali aku, Pak!"
"Non ingat nama Non?" Pria tua itu bertanya pada Mata.
"Aku siapa?" Maya balik bertanya.
"Ya Allah, Pak. Benar kata Dokter, Non Maia asemnia!"
"Amnesia, Bu."
"Iya, itu."
"Non benar-benar lupa?"
"Aku siapa?" Maya mengulang pertanyaannya. Maya ingin tahu apakah dua orang ini mengenalnya, atau tidak.
"Nama Non Maia Puspita."
"Apa!?"
Maya sangat terkejut, karena namanya Maya Hartati.
"Itu bukan nama saya."
Maya meringis merasakan sakit di kepalanya.
"Non. Kami berdua ini kenal Non dari Non masih bayi. Ibu Non, Nyonya Maida Mawarni yang memberi nama Non Maia Puspita." Pria tua itu menjelaskan.
"Itu tidak benar!"
"Non baru saja mengalami kecelakaan bersama seorang perempuan. Perempuan itu berusaha menyelamatkan Non, begitu kata saksi mata. Perempuan yang tidak diketahui identitasnya itu meninggal, Non dan baru dikebumikan siang ini. Kata dokter ada kemungkinan Non amnesia, karena benturan di kepala. Makanya Non lupa semuanya." Pria tua itu menjelaskan.
"Apa!? Kepala saya sakit sekali. Biarkan saya istirahat. Tinggalkan saya sendiri."
"Baik, Non."
Suami istri itu ke luar dari ruang perawatan Maya.
"Perempuan itu berusaha menyelamatkan Non. Perempuan yang tidak diketahui indentitasnya itu meninggal dan baru dikebumikan siang ini."
Maya teringat kejadian sebelum ia terbangun di rumah sakit ini. Ia berusaha menyelamatkan seorang wanita yang sama seperti dirinya, ingin bunuh diri.
"Apakah ...." Maya mencari dengan matanya. Sebuah ponsel ia temukan di atas meja, di samping tempat tidur. Maya menjangkau ponsel itu. Maya mencari fitur kamera. Tangan Maya gemetar. Tapi ia harus membuktikan kecurigaannya. Meski itu mustahil terjadi. Tapi kenyataan yang ia hadapi kini mengarah ke hal yang mustahil itu.
Maya tercenung saat melihat dirinya di layar ponsel. Itu bukan wajahnya. Itu bukan dirinya. Maya meletakkan ponsel dengan tangan gemetar.
'Ini tubuh wanita muda yang aku selamatkan. Jadi tubuhku sudah dikuburkan, itu artinya jiwa wanita ini sudah mati. Ya Tuhan. Apa yang membuat wanita ini ingin bunuh diri? Dia cantik, pasti kaya raya. Lalu apa masalahnya? Sangat berbeda dengan aku. Aku baru saja diperkosa. Aku merasa kotor. Aku ....'
Maya merasakan sakit menghantam kepalanya. Maya berbaring. Dua bulir bening mengalir di sudut matanya. Maya teringat akan nasibnya yang sangat tidak beruntung. Pernikahan yang hancur karena ia tak bisa hamil setelah lima belas tahun menikah. Satu tahun lalu, Yanuar, suaminya menikah lagi dan membawa istri mudanya ke rumah. Mereka bertengkar hebat dan akhirnya ke luar kata talak dari suaminya di hadapan beberapa orang. Ada kedua mertua Maya yang mendukung sepenuhnya pernikahan putranya dengan sang istri muda. Ada Pak RT dan Pak RW yang berusaha membantu mendamaikan mereka.
Setelah ditalak, Maya pergi dari rumah hanya dengan membawa pakaiannya yang tak seberapa banyak. Untungnya Maya memiliki sedikit tabungan dari hasil membantu tetangga yang membutuhkan tenaganya untuk memasak saat ada acara. Pergi dari rumah Maya bekerja di warung tetangga kampungnya. Tapi statusnya sebagai janda cantik tak membuat hidupnya tenang. Mantan suami kembali datang mengganggu. Istri baru suaminya menghembuskan gosip buruk tentang dirinya. Akhirnya Maya memilih meninggalkan kampung halaman dan merantau ke Jakarta. Menyusul temannya yang sudah lama tinggal di Jakarta.
Namun malang bagi Maya. Baru tiba di Jakarta ia sudah harus menderita. Ia dirampok dan diperkosa oleh tukang ojek yang ia minta mengantarkannya ke tempat tujuan. Saat itulah ia berjalan tanpa tujuan dan berniat mengakhiri hidupnya. Saat merenung di tepi jalan itulah, Maya melihat seorang wanita muda sengaja menyeberang jalan asal saja, seakan sengaja melakukannya. Maya berusaha menyelamatkan wanita itu dari terjangan sebuah mobil yang melaju kencang. Dan saat membuka mata, Maya harus menerima kenyataan. Jiwanya berada di dalam tubuh wanita muda yang berusaha ia selamatkan. Sementara tubuhnya sendiri dikuburkan tanpa ada yang tahu indentitasnya.
Maya mengusap wajah. Berusaha menerima kenyataan yang terjadi. Kepalanya terasa berdenyut hebat setelah berusaha mengingat tentang dirinya dan tentang si wanita muda bernama Maia yang saat ini menampung jiwanya.
*
Maya kembali terbangun. Sepasang suami istri yang tadi bersamanya duduk di sofa. Maya berusaha bangun dan duduk.
"Non!"
Kedua orang itu mendekati tempat tidur.
"Bapak dan ibu ini siapa?" Maya ingin mencari informasi lebih banyak tentang pemilik tubuh tempat jiwanya terjebak.
"Saya Isman, supir Non. Ini isti, istri saya. Dia yang merawat Non dari bayi."
"Orang tua saya mana?" Tanya Maya.
"Kedua orang tua Non sudah meninggal." Bik Isti yang menjawab.
"Saudara?"
"Non anak tunggal." Kembali Bik Isti yang menjawab.
"Jadi aku hanya tinggal bertiga dengan kalian?" Tanya Maya.
"Tidak. Non punya suami. Kalian baru menikah delapan bulan yang lalu, sebelum ibu Non meninggal." Kali ini Pak Isman yang menjawab pertanyaan Maya.
"Suami? Mana dia?"
Suami istri itu saling tatap.
"Tuan Baskara sedang ada di luar kota. Ada perjalanan bisnis. Kami sudah mengabari. Dia belum bisa pulang."
"Tuan Baskara?" Kening Maya berkerut dalam. Nama itu terasa tidak asing baginya.
"Dia kemana, Bik?"
"Ke Bali."
"Oh. Kenapa dia tidak pulang setelah tahu kalau istrinya kecelakaan?" Tanya Maya merasa heran. Dulu, Yanuar sangat perhatian, sebelum infansi dari mertuanya yang sangat ingin memiliki cucu. Maya tidak menyalahkan mertuanya untuk keinginan memiliki cucu, tapi Maya tidak suka cara yang diambil oleh mertuanya. Mertuanya berusaha memfitnah dirinya di depan banyak orang.
Maya menatap Bik Isti dan Pak Isman yang saling tatap. Maya yakin ada yang tidak beres dalam hubungan Maia dan suaminya.
"Ada apa, Bik? Apa ada sesuatu yang tidak beres diantara Maia dan suaminya. Maksudku diantara aku dan suamiku? Ehm, siapa namanya?"
"Tuan Baskara, Non."
"Apa ada yang tidak beres? Aku tidak ingat apa-apa. Aku harus tahu semuanya, agar aku tidak salah dalam bersikap, atau bicara."
Sekali lagi suami istri itu saling tatap.
"Tolong beritahu aku." Maya memohon.
"Ceritakan saja, Bu."
Bik Isti menghela nafas.
"Seperti apa Baskara itu, Bik?"
"Non dan Tuan Baskara menikah atas permintaan almarhumah ibu Non. Pak Basuki, ayah Tuan Baskara itu tangan kanan ayah Non. Pak Basuki dan Tuan Baskara yang selama ini mengelola semua bisnis keluarga Non."
"Dia sudah tua, atau masih muda?"
"Tuan Baskara usianya sudah tiga puluh lima tahun."
"Usiaku berapa?"
"Usia Non baru dua puluh tahun."
"Oh. Bagaimana hubunganku dengan suamiku."
"Kalian menikah, tapi tidur terpisah. Tidak ada rumah tangga dalam pernikahan Non dan Tuan Baskara. Kalian seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap."
"Oh ...."
'Ya Tuhan, kenapa aku harus dihadapkan pada masalah yang sama, meski dalam situasi berbeda, dan sudah berada dalam tubuh yang berbeda juga. Drama rumah tangga apa lagi yang harus aku hadapi. Serumit apa sampai Maia ingin bunuh diri?'
*