3. Tetangga yang Tak Diharapkan

1984 Words
Selama dua minggu penuh aku mempelajari pekerjaan kantor dengan Papa, selama itu pula aku sering ikut beliau ke mana-mana. Hari-hariku menjadi sibuk, tetapi aku merasa excited di saat yang sama. Meski jelas terlihat tak mudah, tetapi ternyata tak semenakutkan yang kukira. Pergantian pimpinan masih belum resmi. Akhir bulan ini aku baru akan diperkenalkan ke seluruh karyawan perusahaan. Acara khusus akan diselenggarakan demi menyambutku. Untuk yang satu ini, aku ikut saja. Sebelum pergantian pimpinan, aku mengajukan satu permintaan pada Papa. Permintaan itu adalah tinggal sendiri. Papa setuju. Bahkan menurut beliau, ini adalah ide yang bagus. Namun, meski menyetujui, Papa tak mengizinkanku membeli rumah. Beliau menyarankan agar aku tinggal di apartemen saja. Selain tentang keamanan, Papa juga melihat kedepan. Jika sudah tiba waktunya aku menikah, besar kemungkinan suamiku nanti akan menyediakan rumah untuk tinggal berdua. Bagi Papa, membeli rumah tidak efisien untukku. Baiklah, aku setuju. Aku akan tinggal di salah satu apartemen yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah beliau. Bahkan beliau sendiri yang merekomendasikan apartemen itu untuk kutinggali. Sejujurnya, alasan aku ingin tinggal sendiri adalah belajar hidup mandiri. Dalam arti, aku tidak ingin ketergantungan dengan kedua orang tuaku lagi. Rasa-rasanya, kalau aku masih tinggal dengan mereka, aku merasa seperti anak kecil yang masih dalam pantauan. Itu akan memengaruhiku dalam mengambil keputusan. Sejak lahir sampai detik ini, aku selalu hidup bersama orang tua. Sekalipun saat kuliah aku pernah ngekos, tetapi aku hanya menempatinya sesekali. Kebetulan jarak rumahku ke kampus memang nanggung. Terlalu dekat untuk ngekos, tetapi terlalu jauh untuk pulang pergi setiap hari. Alhasil, kos hanya kutempati saat kuliah sedang full saja. “Ini udah Papa bayar setahun. Gunakan dengan baik, Vin,” ucap Papa begitu beliau dan Mama mengantarku ke apartemen baru. Aku membawa dua koper besar dan satu tas jinjing berukuran sedang. “Siap, Pa.” “Ini salah satu apartemen terbaik di Jakarta. Harusnya kamu enggak komplain.” “Pasti enggak, Pa. Orang bagus gini.” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru apartemen. “Ini udah lebih dari cukup buat aku.” “Ya udah. Ayo kita makan bareng dulu, nanti kamu pulang ke sini sendiri.” “Oke.” Papa dan Mama keluar lebih dulu, sementara aku menaruh barang-barangku di sudut kamar agar tidak terlalu berserakan. Setelah selesai, aku buru-buru keluar. “Sepi banget.” Aku menggumam sambil mengedarkan pandangan lagi. Ngomong-ngomong, unit apartemenku berada di sudut dan berhadapan dengan sebuah unit yang berlawanan. Namun, unit itu justru memiliki balkon yang satu garis dengan balkonku karena posisi unit kami berbeda dengan unit lain. Unit itu sudah terisi karena Papa bilang lantai ini penuh. Yang kosong tinggal lantai bawah, itu pun hanya beberapa. Semoga aku dan penghuni unit itu bisa menjadi tetangga yang baik. Setibanya di loby, ternyata Papa dan Mama sedang bicara dengan seorang laki-laki di halaman. Aku diam menunggu sampai laki-laki itu pergi karena tampaknya dia mau masuk mobil. Itu terlihat dari pintu bagian kanan yang sudah dibuka. Begitu laki-laki itu pergi, aku baru menyusul keluar. Papa dan Mama bergegas masuk mobil mereka dan aku juga ikut masuk di belakang. Selain sedang malas mengendarai mobil sendiri, mobilku juga sudah terparkir rapi di basement. Nanti aku akan pulang naik gocar. “Barusan ngobrol sama siapa, Pa?” tanyaku setelah mobil dinyalakan. “Anak teman Papa.” “Pasti dekat, ya, Pa, sampai kenal anaknya?” “Lumayan. Papa kenal anaknya karena pernah ketemu sebelumnya.” “Oh, gitu. Tinggal di sini, dia?” “Iya. Papa juga baru tahu barusan.” Aku manggut-manggut. “Papa tahu kontak apartemen ini juga dari Ayahnya, Vin.” “Pantesan.” “Mau makan apa, Vin?” tanya Mama kemudian. “Mau steak, Ma.” “Oke.” Sebelum keluar dari halaman, aku menatap lagi gedung apartemen yang akan menjadi rumahku mulai hari ini. Melihat suasananya saja sudah sangat menyenangkan. Aku yakin akan betah. *** “Oke, selesai.” Aku menghempaskan badan di ranjang setelah menata barang-barangku di tempat yang seharusnya. Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan lega. Akhirnya, pindahan selesai juga. Tiga hari lagi aku akan resmi dikenalkan dan di hari yang sama pula aku akan langsung bekerja. Papa bilang, kabar pergantian beliau denganku sudah menyebar seantero perusahaan sekalipun belum resmi diumumkan. Biasalah, di kantor memang begitu. Kabar apa pun mudah sekali menyebar. “Oke, saatnya mandi lalu pesan makanan.” Aku kembali bangun, lalu bergegas menuju kamar mandi. Aku ingin berendam lebih dulu agar badan lelahku berkurang. Di tengah-tengah berendam, ponsel yang kuletakkan di samping bathub bergetar panjang. Ada telepon dari Sisil. “Hallo, Sil?” sapaku pelan. “Hallo, Vin. Jadi pindah hari ini?” “Jadi, ini udah di apart. Tapi kamu jangan ke sini malam ini, ya. Bukan enggak boleh, tapi hari ini aku capek banget. Besok, deh.” “Siapa juga yang mau ke situ.” Aku terkekeh. “Ya siapa tahu.” “Aku lagi di rumah, Vin. Lagi ambi cuti. Aku kangen sama Bapak dan Ibu. Besok pagi baru ke Jakarta lagi. Ikut penerbangan siang.” “Oke. See you!” “Yuhuuu. Jangan lupa kirim nomor unit. Kapan-kapan aku main.” “Iya, nanti aku kirim.” Panggilan selesai dengan singkat, jadi aku kembali merebah. Rasanya benar-benar nyaman. Bicara Sisil, dia adalah temanku sejak kuliah. Dia asli Jawa Timur, tepatnya orang Gresik perbatasan Surabaya. Kami satu jurusan dan sering sekelas sejak semester satu. Karena rumah Sisil jauh, dulu aku sering mengajaknya pulang ke rumahku. Terkadang, dia liburan di kos karena tidak ada ongkos untuk pulang. Sisil berasal dari keluarga yang ekonominya biasa-biasa saja. Dia kerja di kantor Papa atas rekomendasiku. Namun, aku tidak semena-mena merekomendasikannya. Dia tetap ikut tes seleksi dan lain-lain. Dia memang kompeten. Akademik dan non akademiknya imbang. Sisil itu generasi sandwich, yang mana uang gajinya tidak hanya dia pakai untuk dirinya sendiri. Uangnya juga dikirim ke rumah karena orang tuanya hidup pas-pasan, bahkan nyaris kurang. Dia memiliki dua adik dan setahuku dialah yang membiayai sekolah keduanya. Orang tuanya memang membantu, tetapi tak seberapa. Sisil ini benar-benar kuat secara mental. Dia sudah ditempa kerasnya hidup sejak masih kecil. Dia juga kuliah mengandalkan beasiswa semata. Kiriman dari orang tuanya kadang tak datang sama sekali. Dengan kondisinya yang seperti itu, percayalah, dia hampir tidak pernah mengeluh. Terkadang itu membuatku malu. Aku yang serba berkecukupan malah lebih sering mengeluh daripada dia. Perbedaan kami inilah yang pada akhirnya justru membuat kami semakin dekat. Dia tahu aku anak orang berada, tetapi sekalipun dia tidak pernah terkesan minta-minta. Bahkan saat dia gajian dari kerja part time, dia masih sempat mentraktirku. Katanya, itu untuk membalas kebaikanku sekali-kali. Aku tidak bermaksud mengatakan aku baik, tetapi dulu aku sering membayarinya makan karena aku tahu Sisil pernah hanya makan roti satu bungkus untuk sehari. Dia menolak jika kuberi uang, jadi aku hanya bisa mengajaknya makan agar perutnya tetap isi dan dia bisa berhemat. Sejak kerja, kondisi ekonomi Sisil membaik. Dia bisa lebih sering makan enak, beli baju bagus, dan lain sebagainya. Jujur, aku ikut senang. “Cukup sudah.” Setelah selesai mandi, aku langsung ganti baju dan keluar menuju balkon. Tadi aku hanya sempat ke sana sebentar. “Wah ... pemandangan dari sini luar biasa. Pantesan lebih mahal.“ Memang, ada perbedaan harga sewa antara unit yang letaknya di sudut dengan unit yang lain. Itu karena balkonnya sedikit lebih luas dan bagus. Kalau tidak salah, ada perbedaan tiga ratus ribu per bulannya. Aku menatap balkon samping, kosong, tidak ada orang. Aku harap penghuninya ramah. Sekalipun besar kemungkinan kami akan hidup individualis, tetapi tetap saja kami akan bertetangga. Bisa jadi kami akan sering lihat satu sama lain. Setelah puas menatap pemandangan dari balkon, aku kembali masuk. Aku lapar, setelah ini aku harus pesan makanan. *** “Udah, Mas. Aku udah pindahan hari ini.” Malam ini Mas Danish tiba-tiba meneleponku. Barangkali dia diberi tahu Papa atau Mama soal permintaanku dan perlu memastikan. Pasalnya, aku memang belum memberi tahunya soal ini sama sekali. “Aku ikut lega kamu tinggalnya di apartemen. Maksudku, lebih aman aja penjagaannya.” “Iya, Mas. Salah satu alasan Papa enggak ngizinin aku beli rumah juga karena itu.” “Lagian rumah Mama sama Papa kan ada, Vin. Sayang banget kalau beli lagi. Belum kalau nanti kamu menikah. Aku harus mastiin calon suamimu nyiapin rumah.” “Tumben perhatian.” Aku terkekeh. “Kapan aku enggak perhatian? Gimanapun juga, kamu adikku satu-satunya.” “Iya, Mas, iya.” “Kalau ada kesulitan, bilang Papa sama Mama. Kalau enggak enak, bilang aku enggak papa. Siapa tahu aku bisa kasih solusi.” “Siap, Mas.” Sekalipun Mas Danish tidak pernah benar-benar menjabat sebagai pimpinan, tetapi dia pernah mewakili Papa dalam pertemuan penting. Entah ketika Papa sakit atau apa pun itu. “Sorry, ya, Vin. Malah jadi kamu yang nanggung semua. Aku sulit buat ninggalin Jogja.” “Enggak papa, Mas. Tenang aja. Toh udah dibahas tuntas dan semua baik-baik aja. Jangan diungkit lagi.” “Oke.” “Ya udah, ya, Mas. Aku mau makan. Pesenanku barusan banget datang.” “Ya.” Akhirnya, panggilan dari Mas Danish selesai. Benar katanya tadi, bagaimanapun juga, aku adiknya satu-satunya dan dia pun kakakku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Sudah sepantasnya kami saling memeperhatikan satu sama lain. Aku bisa paham betul kenapa Mas Danish sangat sulit meninggalkan Jogja. Di sana dia mengalami banyak hal. Atau bisa dibilang, fluktuatifnya kehidupan. Di Jogja, Mas Danish tumbuh dewasa. Di Jogja pula, dia bertemu jodoh. Ya, meski dengan cara yang sangat ekstrem. Untungnya, baik Mas Danis dan istrinya —Mbak Dea— sama-sama menerima takdir dengan lapang d**a. Malahan sekarang mereka sangat bersyukur atas jalan itu. Memang benar, rencana Tuhan selalu luar biasa. “Aduh, lapar banget, gila!” aku berlari ke balkon membawa makan malam yang baru saja datang. Aku ingin makan di sana sembari menikmati pemandangan malam Kota Jakarta. Aku membeli nasi ayam pedas level tiga, minuman bersoda, dan kentang goreng. Aku tahu, ini tidak sehat. Tapi harusnya baik-baik saja kalau hanya sesekali. “Wah, enak bener rasanya.” Olahan ayam memang tidak pernah salah. Bagiku, ayam adalah makanan paling aman jika sedang bingung memilih menu. Setidaknya rasanya tak akan zonk. Ini mengenyampingkan fakor X yang tidak umum. “Oh iya, Pak, iya. Saya baru saja pulang. Nanti file-nya saya kirim sebelum jam sepuluh. Baik.” Aku langsung menoleh ketika mendengar suara itu. Ternyata itu suara tetanggaku. Dia laki-laki, cuy! Dia tampak mengenakan celana pendek hitam dan kaos yang juga berwarna hitam. Rambutnya tampak basah dan ada handuk melingkar di lehernya. Posisinya menghadap depan, tetapi sedikit menyerong memunggungi. Aku lanjut makan ayam karena masih lapar. Percayalah, aku membeli dua porsi nasi dengan empat potong ayam. Aku lapar sekali setelah beres-beres. Ditambah lagi, tadi siang aku hanya makan steak yang tak seberapa besar. Jelas tidak kenyang. Aku masih diam dan sibuk makan ayam sementara laki-laki itu juga sibuk dengan ponselnya. Aku belum bisa melihat wajahnya karena rambut basahnya turun mutupi sebagian wajah. Melihat dia terus sibuk dengan ponselnya, akhirnya aku berdiri dan mendekat ke sudut balkon. Tangan kananku masih membawa ayam. “Ehm!” Aku berdehem agak keras. “Hallo! Saya penghuni baru unit ini.” Laki-laki itu menoleh. Begitu melihatku, dia terdiam sesaat, lalu mendekat. Rambut basahnya tak kunjung dia naikkan. Itu terlihat jelek, jujur saja. “Saya hanya menyapa tetangga, jangan salah paham.” Aku nyengir. “Tidak ada maksud apa pun.” Laki laki itu menaikkan rambutnya dan menyisir sesaat dengan jari tangan. Begitu wajahnya tampak jelas dan tidak tertutup rambut lagi, aku refleks mundur satu langkah. Ayam yang kupegang juga langsung jatuh ke lantai karena saking kagetnya. Aku mendadak blank, berharap apa yang kulihat saat ini adalah salah. Tidak, harusnya tidak boleh begini. “Rupanya kamu memang seingin itu saya jadikan buron. Iya?” Mataku mengerjap. Kepalaku mendadak pening. Aku buru-buru mengambil ayam yang jatuh, memasukkannya ke dalam palstik sampah, lalu buru-buru masuk. Begitu menutup pintu, badanku langsung melorot ke lantai. “Yang bener aja, ini? Dari sekian juta masyarakat Jakarta, kenapa tetanggaku harus manusia arogan itu?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD