*Arkan*
Benar kata para pejuang LDR, kalau kata akan indah pada waktunya itu begitu menyesakan d**a bila di ingat. Aku tahu rasanya merindu seseorang yang jauh di sana, dan aku pernah merasakannya. Thalia, dia wanita yang aku cintai, aku terpaksa jauh darinya karena dia ingin mengejar cita-citanya. Kami berdua pejuang LDR yang terbilang gagal.
Memang suatu masalah pasti ada dalam menjalani sebuah hubungan, apalagi hubungan jarak jauh. Bukan dia yang ingin dan sengaja meninggalkan aku, atau aku yang sengaja berpaling darinya, mencari pengganti Thalia untuk mengisi hati yang sepi ini. Bukan, bukan karena itu. Kami harus berpisah karena suatu masalah, kami masih saling mencintai, tapi kami harus berpisah, bukan untuk sementara. Karena memang kami benar-benar sudah tidak bisa untuk bersama lagi.
Aku harus menerimanya dengan Ikhlas, meski ikhlas ini hanya di bibir saja. sungguh sakit jika mengingat semua itu. Aku masih sangat mencintainya, aku tak bisa mengganti posisi dia di hatiku. Hanya ada Thalia di hatiku hingga sekarang, meski ada sosok wanita yang baik hati di sisiku.
Dia, seorang wanita yang aku kenal saat aku sedang ingin melupakan Thalia, yang sangat aku cintai. Bertemu dengannya saat dia mengalamai kecelakaan. Aku menemukan dia tergeletak di jalan, di area jalan pegunungan. Dia korban tabrak lari, aku menolongnya, dan hingga sekarang aku akrab denganya. Dia adalah Frischa.
Meski semua keluargaku mendukung aku dan Frischa untuk memiliki hubungan khusus, aku menolaknya, aku tidak bisa untuk memulai hubungan dengannya. Karena selamanya aku mencintai Thalia, bukan dia atau wanita lain. Meskipun aku tahu, Frischa memiliki rasa denganku.
Dia wanita yang baik, sabar, dan mungkin sangat menyayangi dan mencintai aku. Dia juga tak kalah cantik dengan Thalia, dia lucu, dan satu yang membuat aku selalu tertawa saat dengannya, yaitu sifat jahilnya yang kebangetan. Dia yang membuat aku tahu, kalau memang cinta tak harus memiliki, meski cinta tak pernah berganti. Tak pernah berganti dan tak akan terganti, tetap Thalia yang aku cintai.
“Nak, kamu hari ini tidak ke bengkel?” tanya Bunda.
“Bunda, Arkan mau ke kampus, mau menemui dosen,” jawabku.
Aku memang sudah mengajukan skripsi, dan sebentar lagi aku akan lulus kuliah. Tapi, rasanya percuma aku lulus kuliah, aku mengembangkan usahaku, tapi wanita yang aku perjuangkan tidak bisa aku miliki. Ya, Thalia, dia sudah menjadi milik orang.
“Kamu ke kampus dengan Frischa?” tanya Abah.
“Iya, dia juga sudah mulai mengurus skripsi,” jawabku.
“Dia itu adik tingkatmu, kan?” tanya Abah lagi.
“Iya, abah sepertinya tidak tahu, kalau dia calon wisuda termuda,” jawabku.
“Kamu suka dengan dia?”
“Abah, aku sama Frischa berteman saja, sudah Arkan mau berangkat.”
“Jangan seperti itu, mau sampai kapan kamu seperti ini. Cinta memang tidak harus memiliki, Nak. Kamu jangan menyiksa hati kamu sendiri,” ujar Abah.
“Benar kata abahmu, Arkan,” imbuh bunda.
“Sudah, Arkan mau fokus sama skripsi dulu, masalah hati, Arkan bisa menepikannya dulu,” ucapku.
Abah dan bunda hanya mengankat bahunya saja dan saling menatap. Aku mencium bunda dan abah, lalu ke kampus. Dan, seperti biasa, aku menjemput cewek jahil dulu di rumahnya. Frischa, dia memang jahil, sama-sama suka motor dengan nuansa retro.
^^^^^
*Thalia*
Berpisah dengan Kekasih, merupakan hal yang berat. Mungkin aku tidak pernah menyangka akan seperti ini. Aku selalu yakin, bahwa hubunganku dengan Arkan baik-baik saja setelah aku ke Berlin. Tapi, tidak pada kenyataannya. Aku harus merelakan dia, aku harus rela melepaskan dia, demi seseorang yang tidak aku cintai.
Aku harus bersama orang yang katanya lebih membutuhkan aku daripada Arkan. Cinta memang tidak harus memiliki, tapi cinta untuk Arkan masih ku simpan dalam hatiku. Cinta ini tak akan terganti, sampai kapanpun, meski di sisiku sudah ada seseorang yang mungkin bisa aku katakan dia adalah suamiku.
Janji yang aku ucapkan pada Arkan untuk setia kepadanya, kini pupus sudah. Bukan aku tidak bisa menjaga janji itu, itu semua karena keadaan. Aku dan Arkan memutuskan semua dengan cara baik-baik. Kami berpisah juga di hadapan keluarga kami dan keluarga suamiku. Kami berpisah dengan cara yang baik, meski hati ini sangat tidak rela untuk berpisah.
“Lia, hari ini kamu ke kampus?” tanya Danish.
Danish adalah suamiku, aku menikah dengannya dua tahun setelah aku kuliah di Berlin. Aku menikah dengannya karena suatu keadaan. Aku tidak mencintanya, aku hanya mencintai satu lelaki, yaitu Arkan. Sudah hampir lima bulan aku menikah dengannya.
“Aku tidak ke kampus, aku mengajukan cuti kuliah,” jawabku.
Aku memang tidak fokus kuliah semenjak menikah dengan Danish. Pikiranku kacau, tidak bisa memikirkan masa depanku lagi. Untuk apa aku kuliah, tujuanku ke Berlin telah sia-sia karena pernikahan bodoh ini. Tujuanku ke Berlin, untuk melanjutkan pendidikanku, dan mengejar cita-citaku. Bukan untuk menikah, tapi semuanya sirna, aku tidak bisa mewujudkan cita-citaku, tidak bisa meraih mimpiku, dan tidak bisa mempertahankan hubunganku dengan Arkan. Aku sudah menyakitinya, meski Arkan juga tahu, pernikahan ini murni karena suatu sebab.